Tiga istilah di dunia maya ini diangkat sebagai bahan evaluasi. Antara lain karena saya termasuk netizen yang dituding melakukan fitnah.
Tudingan itu terjadi setelah postingan 'Jokowi & Rini Tersandung "Love Affair" ?' di Catatan Tengah edisi Rabu 27 Januari 2016.
Yang menuding, bukan hanya para netizen yang tidak saya kenal. Tetapi termasuk mereka yang juga sudah lama mengenal saya sebagai wartawan.
Terhadap mereka yang tidak mengenal, saya tidak terlalu pedulikan.
Namun yang saya anggap serius jika tudingan itu justru berasal dari mereka yang mengenal saya. Kenal baik secara pribadi maupun sebagai wartawan profesional.
Saya rasa penting menangkis fitnah tersebut. Sebab jika tidak bisa muncul anggapan bahwa benar lewat
Catatan Tengah saya telah memfitnah. Saya wartawan tukang fitnah.
Dan dampak seterusnya, bisa-bisa, apapun yang saya tulis akan dianggap sebagai sebuah fitnah. Jika ini terjadi, bukan hanya kredibilitas yang hancur tetapi nama baik keluarga.
Bagi saya nama baik jauh lebih penting. Berusaha menjadi orang baik, sampai kapan pun harus terus menerus dilakukan.
Secara eksplisit memang tidak disebut bahwa konten
Catatan Tengah itu telah memfitnah Menteri BUMN Rini Soemarno dan Presiden Joko Widodo. Namun secara implisit, demikian.
Untuk itu selama akhir pekan atau tiga hari belakangan ini saya melakukan introspeksi. Termasuk melakukan 'flashback' , penelusuran ke belakang atas apa saja yang kira-kira sudah saya soroti melalui artikel, opini dan analisa.
Saya coba hitung kira-kira sudah berapa banyak yang saya produksi sejak menjadi wartawan tahun 1974. Tujuannya bukan untuk menyombongkan diri karena paling senior otomatis paling benar. Tetapi agar argumentasi yang saya sampaikan punya pijakan yang kokoh.
Hitungan kasar meunjukkan, selama berkarir sebagai wartawan saya sudah menulis tidak kurang dari 1.500 artikel, opini dan analisa.
Artikel ini beda dengan tulisan berupa berita yang penulisannya hanya mengutip nara sumber thok.
Yang paling produktif terjadi tahun 2007 - 2014, ketika menjadi bagian dari tim redaksi di portal berita: www.inilah.com. Di era informasi, dimana infrastruktur cukup menunjang, ternyata menghasilka produktifitas yang tinggi.
Di portal berita tersebut dalam seminggu saya bisa menulis minimal dua artikel. Sehingga dalam setahun bisa mencapai 100 buah.
Kalau jumlah ini dikalikan dengan tujuh tahun masa kerja, setidaknya sudah ada 700 artikel yang saya produksi.
Angka ini akan berlipat jika ditambah karya-karya saya yang tersebar di harian "Sinar Harapan" baik edisi sebelum maupun setelah dibreidel. Total masa kerja saya di harian tersebut tidak kurang dari 12 tahun. Penggemblengan menjadi penulis produktif, terjadi di "Sinar Harapan".
Selama di media itu, ada semacam kewajiban agar setiap wartawan berani menulis. Kalaupun saya hanya menulis dua kali dalam sebulan, untuk waktu 12 tahun itu, produksi opini, analisa dan artikel dengan "by line", bisa mencapai 200 buah. Relatif cukup banyak.
Saya juga pernah mengisi rubrik mingguan tentang "Golf", di harian "Suara Karya".
Di harian milik Partai Golkar itu, saya diminta memproduksi mingguan berita ikhwal olahraga golf sebanyak 4 halaman setiap kali terbit. Yang meminta politisi Bambang Soesatyo, Pemimpin Redaksi.
Bambang sebelumnya Sekretaris Redaksi saya sewaktu saya jadi pimpinan Majalah "Vista" tahun 1988. Dia juga reporter harian "Prioritas" ketika saya menjadi Redaktur Pelaksana Operasional suratkabar milik Surya Paloh tersebut.
Belum lagi ditambah masa kerja gabungan 13 tahun di group Surya Persindo : "Bali News", "Mimbar Umum", "Sumatera Express", "Lampung Post", "Gala", "Yogya Post", "Dinamika Berita", "Cahaya Siang", "Media Indonesia" dan majalah "Vista".
Sebagian besar waktu menulis itu terjadi di era represif. Rekor menulis tidak akan ada makna profesionalnya jika terjadi di era sekarang.
Di era represif itu, kreatifitas termasuk menulis, sangat mahal. Selain itu setiap tulisan bukan hanya bisa dipertanggung jawabkan ke luar. Melainkan yang lebih penting, ke internal perusahaan.
Kebiasaan menulis dengan penuh kehati-hatian dengan prinsip zero-error, akhirnya menjadi sebuah budaya.
Tidak berarti saya menjadi penulis yang sempurna. Akan tetapi kasadaran menulis yang selalu menghindari kesalahan fatal, membuat pemilihan kata, kalimat dan konteks tak jarang dilakukan berulang-ulang.
Dari rentang waktu yang cukup panjang itu, mudah-mudahan tidak keliru, hanya satu liputan, bukan artikel yang berakhir di Pengadilan.
Yaitu laporan tentang Love Affair antara Ir. Rio Tambunan dan Emilia Contessa, penyanyi diva Indonesia di tahun 1970-an.
Laporan tahun 1975 itu dimuat di majalah "Junior" salah satu anak perusahaan grup majalah "Selecta".
Rio Tambunan yang saat itu menjabat Kepala Dinas Tata Kota DKI Jaya, di bawah Gubernur Ali Sadikin membantah laporan (investigasi) itu. Ia kemudian mengundang sekaligus meneror saya ke Sasana Garuda Jaya di Pancoran Tebet, Jakarta Selatan.
Tak diduga, di tempat Rio menampung dan melatih puluhan petinju tersebut, saya dikeroyok oleh tidak kurang dari tiga petinju profesional.
Di sana, saya bersama wartawan senior dari "Selecta", Arbani Supeno mereka buat babak belur. Dijadikan seperti bantal latihan para petinju. Beberapa gigi saya bagian atas rontok.
Dan atas peristiwa yang terjadi 5 Desember 1975 itu, PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) turun tangan.
Kasusnya berakhir di pengadilan Jakarta Barat. Rio Tambunan dijatuhi hukuman percobaan selama dua bulan.
Peristiwa 40 tahun lalu itu termasuk hal yang menjadi momok dalam setiap kali saya mau menulis artikel.
Sebab kenyataanya sekalipun apa yang dilaporkan BENAR bahwa Rio Tambunan dan Emilia Contess punya love affair, BANTAHAN keras tetap ada.
Dan ironisnya bantahan itu dilakukan bersamaan dengan tindakan main hakim sendiri.
Atas dasar itu pula saya sering menandai, setiap laporan yang dibantah dengan sangat keras, biasanya justru mengandung kebenaran yang hakiki.
Bayangkan tanda luka, memar pada tubuh saya, belum sembuh total, ludah yang menyebut bantahan 'belum kering', Rio dan Emil sudah menikah di gereja Matraman, Jakara Timur.
Pernikahan mana melahirkan seorang puteri yang diberi nama Denada.
Beberapa tahun sebelum Rio Tambunan meninggal dunia, meminta saya agar kami ke gereja GPIB Paulus, di Taman Suropati, Jakarta Pusat.
"Kamu maafkan saya dan saya meminta maaf kepada kamu, disaksikan pendeta," ujar Rio Tambunan.
Saya tidak bisa langsung memenuhi permintaannya, karena sakit yang saya rasakan, bukan hanya karena harus menggunakan gigi palsu.
Tapi sakit hati atas trauma mendengar ceriteranya, bagaimana mereka (Rio dan Emil) berbulan madu di Bandung, sementara saya sebagai wartawan junior di Jakarta jadi obyek ledekan oleh para wartawan lebih senior.
Dan ketika dia mau minta maaf saya dengar, rumah tangganya dengan Emilia sudah mulai retak.
Tapi sejujurnya saya menyesal tidak memberinya maaf. Keinginan mengikut tawarannya bermaafan di gereja sudah muncul, tapi terlambat. Rio sudah lebih dulu dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Selain menulis artikel, tidak kurang sembilan buah buku sudah saya tulis. Empat diantaranya diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.
Ini membuktikan, untuk bulan Januari 2016 ini, posisi saya bukanlah penulis yang sedang belajar.
Sekilas pembeberan atas karya-karya ini sebagai cermin sebuah kesombongan. Tidak apa.
Karena dari kontempelasi yang dilakukan tiga hari belakangan ini, saya berkesimpulan, ada saatnya harus memperlihatkan kesombongan - asalkan terukur. Kita tidak boleh terus-terusan diam, bila kita sudah diam tapi masih terus diserang.
Prihal isi
Catatan Tengah edisi 27 Januari 2016. Terhadap mereka yang menilai tulisan itu negatif, itu sebetulnya terjadi karena:
1). Mereka "gagal paham". Sudah dijelaskan di paragraf bagian akhir bahwa "lover affair" ini tidak seperti perselingkuhan antara Presiden AS Bill Clinton dan Monika Lewinsky. Tapi paragraf ini boleh jadi tidak dibaca atau karena yang membaca tidak punya pemahaman apa yang di terjadi di Gedung Putih hampir 20 tahun lalu. Maka terjadilah apa yang disebut gagal paham.
2). Mereka membaca hanya judulnya, kemudian menengok beberapa paragraf lalu lekas-lekas membuat kesimpulan sendiri. Ini yang sama namakan "sumbu pendek". Orang yang tidak suka membaca tapi seolah seorang yang memiliki kebiasaan membaca,
Secara keseluruhan data yang saya gunakan dalam artikel itu, tidak ada yang baru. Semuanya sudah terekpose terlebih dahulu secara diaspora di semua media: sosial maupun mainstream.
Saya hanya menjadi "juru masak" dan kalau persoalan tersebut ibarat sebuah makanan, materi itu tadinya masih berbentuk bahan atau inggridients.
Yang menjadi persoalan, ada yang cocok dengan hasil masakan itu, tapi ada yang merasa kepedesan.
Lainnya, tulisan itu teranjur dibaca lebih dulu di media sosial yang antara lain melakukan "framing". Seperti laporan "Posmetro" yang menyebutkan saya sebagai wartawan senior mengatakan Jokowi jatuh cinta kepada Rini, wanita yang tidak bersuami.
Edan pikir saya, tapi mau bilang apa?
[***]
Penulis adalah jurnalis senior