Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Melawan Arogansi, Menantang Kejujuran

*) Merespon Tudingan "Relawan Jokowi"

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Jumat, 29 Januari 2016, 08:37 WIB
Melawan Arogansi, Menantang Kejujuran
Derek Manangka
KAMIS 28 Januari kemarin merupakan hari yang cukup melelahkan. Semua energi seakan terkuras habis oleh empat pertemuan yang berbeda. Dua di daerah Segitiga Emas, Kawasan Kuningan dan dua lagi di kawasan Senayan. Semuanya hanya untuk 'isi baterei' ataupun 'belanja gagasan'.

'Belanja ide' itu penting dilakukan, untuk penyegaran agar tidak imun terhadap berbagai persoalan. Sebab perkembangan Indonesia, khususnya di bidang politik dan informasi, sangat dinamis.

Temanya berkisar pada soal kepedulian dan masa depan bangsa. Semua berharap, situasi perekonomian dan politik Indonesia menjadi kondusif. Jika itu terwujud, segala-galanya bisa bergerak.

Perbincangan sering diganggu oleh pertanyaan: mengapa dan mengapa?

Sebab secara statistik, situasi ekonomi Indonesia dinyatakan cukup baik. Pertumbuhan tidak besar-besar amat. Tapi tetap lebih baik dibanding dengan negara lain yang pertumbuhannya justru berkontraksi. Di bawah nol.

Tapi mengapa situasi yang baik ini tetap membuat pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla seperti tidak punya modal untuk bekerja? Mengapa Jokowi-JK terpaksa atau dipaksa memperbanyak hutang luar negeri RI?

Politik, ada gangguan. Tetapi gangguan itu sebetulnya tak cukup membuat rezim Jokowi-JK bisa terguling seperti di sebuah pemerintah di negara yang menganut sistem parlementer.

Sistem sekarang, mengakomodasi bahwa Presiden hanya boleh memegang masa jabatan paling lama dua periode. Dan sistem itu merupakan kompensasi agar seorang presiden tidak mudah dilengeserkan.

Artinya kedudukan Presiden dan Wakil Presiden, dengan sistem paling lama dua periode, secara politik sudah dipagar oleh konstitusi.

Maksudnya rezim Jokowi cukup kondusif untuk fokus bekerja tanpa harus ada kekhawatiran diganggu.

Lantas mengapa yang dilakukan Jokowi terkesan terlalu khawatir dengan kemungkinan terjadinya "impeachment"? Sehingga untuk itu, Jokowi harus berbaik-baik dengan pentolan Koalisi Merah Putih?

Kami peduli, karena di dalam pemerintahan terdapat sejumlah teman yang kami kenal pribadi. Termasuk Presiden Jokowi.

Tapi pertemanan kami mendadak terputus. Kualitas pertemanan kami diubah oleh peraturan protokoler dan kepadatan agenda. Kapabilitas mereka juga ada yang termakan oleh rutinitas.

Sudah begitu dari jauh kami mencurigai sudah hadir sejumlah wajah baru yang kemudian menjadi pembisik.

Di mata kami kekuatan Jokowi sebagai Presiden, terletak pada kesederhanaan dan apa adanya.

Juga sebagai pejabat tertinggi di negara ini, dalam dirinya mengalir darah merah putih. Di dalam darah itu tidak ada virus dan bakteri korupsi.

Dia juga bukan seorang pemimpin yang sombong dan mudah tersinggung.

Begitu lelahnya menjalani 'belanja ide' kemarin, sehingga dalam perjalanan pulang ke rumah selama kurang lebih 2,5 jam, saya biarkan tubuh tertidur dan terlelap secara alami.

Kepada pengemudi, saya hanya minta agar dia membesarkan volume suara radio Sonora, manakala radio dari grup Kompas itu menyiarkan selingan berita.

Saya mau tetap ter-update atas perkembangan terakhir. Sementara handphone dalam posisi "diam" (silent).

Tiba di rumah sekitar pukul 19:00 WIB. Sekalipun hampir dua jam tidur di dalam mobil, tapi keletihan yang diakibatkan oleh banyak bicara dan banyak berpikir selama 'belanja ide', tak hilang dengan sendirinya.

Saking lelahnya, saya hanya sempat bercengkrama selama kurang lebih 5 menit dengan D'Amour. Padahal sejatinya si bungsu ini ingin sekali dimanja dengan waktu yang lebih lama.

D'Amour lalu menyodorkan anjing kesayangannya bertrah Maltis untuk saya gendong. Sebagai tanda dia kecewa kurang mendapatkan perhatian.

Sebelum mandi, saya ingin melihat berbagai komentar atas Catatan Tengah. Tapi saya tak memiliki energi untuk membacanya.

Tanpa makan malam, saya langsung tidur. Menjelang tengah malam, Lusy, membangunkanku untuk mencicipi makanan kecil, buah segar dan obat herbal.

Pada saat yang sama, mantan pacar ini membacakan reaksi terhadap Catatan Tengah-ku.

Tidak hanya dimuat di akun pribadi facebook, tapi juga oleh Rakyat Merdeka Online dan beberapa media di luar Jakarta yang secara pribadi minta izin lisan untuk men-share.

Rupanya sejak Rabu 27 Januari dan hingga kemarin sore, tulisan yang berjudul JOKOWI DAN RINI TERSANDUNG "LOVE AFFAIR", mendapat reaksi yang relatif cukup banyak.

Yang paling menarik perhatiannya, soal keputusan Relawan Jokowi. Kelompok ini membuat keterangan pers yang isinya akan mengadukan saya ke Bareskrim, Mabes Polri.

Tadinya saya tak peduli. Sebab Rabu sore sebelumnya, salah seorang Relawan Jokowi, Michael Umbas sudah mengirim pesan lewat WA.

Mantan koresponden "Sinar Harapan" di Los Angeles Amerika Serikat ini, hanya memberi signal bahwa ada beberapa sahabatnya di Relawan Jokowi yang tidak suka dengan tulisan yang ada kata "Love Affair".

Tapi karena dia mengenal saya sebagai pribadi dan tahu makna sebuah tanda petik, dia tidak mengganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang serius. Dia bahkan minta agar pekan depan kami berdua bisa bertemu.

Sembari berbaring, Lusy membacakan semua komentar atau tanggapan. Saya lihat, di raut wajahnya ada garis-garis kekhawatiran. Sekalipun dia berusaha menyembunyikan kekhawatiran, tetapi yang saya tangkap dia khawatir apabila saya berhadapan dengan para penegak hukum.

Selama ini sebagai ibu rumah tangga, selalu menjadi pembaca terakhir dari semua tulisan saya sebelum diposting. Sehingga diapun cukup terkejut ketika Catatan Tengah edisi Rabu itu ditafsirkan secara berbeda oleh Relawan Jokowi.

Tidak jarang kalimat atau kata yang terkesan kurang tepat dia minta diganti atau dibuang.

Kepeduliannya kali ini bukan lagi sebagai editor. Tapi sebagai isteri yang tidak rela kalau sang suami menjadi korban penegakan hukum yang didasarkan pada kepentingan politik.

Dia punya pemikiran ke arah itu sebab Relawan Jokowi sama dengan politisi. Mereka identik dengan orang yang sedang berkuasa atau dekat dengan kekusaan. Orang berkuasa bisa menjadi koruptor kekuasaan. Power Tends To Corrupt.

Orang yang berada di dalam kekuasan sangat laten terjangkit penyakit "tak pernah bersalah".

Selain itu wanita Batak ini masih bertanya apakah Relawan Jokowi ini ada yang saya kenal atau semuanya pendatang baru?

Sikapnya baru agak berubah setelah dia menemukan dua buah tulisan. Dua-duanya terkesan kuat membela. Tulisan itu dari Despen Ompusunggu, politisi Partai Nasdem dan Budhius Ma'aruf (Kanjeng Budhius Gusti), mantan wartawan RCTI yang kini menggeluti bisnis valuta asing lewat "on-line".

Saya berikan tanggapan, bahwa apa yang dikatakan dan mau dilakukan oleh Relawan Jokowi, merupakan bagian dari hak azasi. Hak mereka itu harus dihormati.

Sikap mereka itu sebagai pewujudan dari hak jawab, hak berdemokrasi dan hak mencari pembenaran.

Tapi sang isteri nampak belum puas karena yang dia perhitungkan kalau terjadi politisasi atas tulisan tersebut.

Jika politisasi itu terjadi, arahnya sulit ditebak. Tetapi yang paling buruk jika setelah terkena sanksi, saya tak akan bisa menulis opini, analisa bahkan menyelesaikan penulisan beberapa buah buku.

Kalau tidak dapat menulis (buku terutama), berarti secara profesional, kami kehilangan pendapatan.

Namun bukan di soal kehilangan pendapatan itu semata yang dirasakan sebagai sebuah ancaman.

Menulis bagi saya, sudah menjadi seperti menu sehari-hari. Menulis merupakan therapy untuk mencegah kepikunan. Menulis merupakan bagian dari olahraga otak.

Ujung-ujungnya, menulis apalagi menulis yang sehat, akan menghasilkan sebuah kesehatan yang alami. Menulis adalah segala-galanya.

Saya tidak melanjutkan pengecekan atas reaksi terhadap Catatan Tengah. Saya langsung ke ruang kerja. Respon saya kepada Relawan Jokowi:

Sekalipun gugatan itu sudah dilakukan, tetapi saya masih ingin bertemu sekaligus berkenalan. Mungkin sekalian memanfaatkan janji bertemu dengan Michael Umbas, anggota Relawan Jokowi yang sudah menjadi Komisaris di salah satu BUMN.

Saya berharap pertemuan kelak dapat menyamakan persepsi atau menghilangkan mispersepsi. Jauh dari usaha menggembosi apalagi ingin melakukan negosiasi yang bersifat transaksional.

Bahkan saya berharap pertemuan bisa dihadiri oleh Presiden Jokowi.

Bukan menganggap remeh pengaruh dan wibawa yang melaporkan saya ke Polri. Tetapi saya belum begitu yakin jika tulisan dengan judul JOKOWI DAN RINI TERSANDUNG "LOVE AFFAIR", bisa menimbulkan persepsi negatif tentang Presiden.

Keyakinan ini didasarkan sifat Pak Jokowi sehari-hari pada pertemuan beberapa tahun lalu di kediaman dinasnya di Solo.

Walikota Solo, Pak Jokowi menjamu makan malam, rombongan Pak Taufiq Kiemas sebagai politisi senior PDIP dan kebetulan menjabat Ketua MPR-RI.

Saya salah satu anggota rombongan yang secara khusus diperkenalkan oleh Pak Taufiq kepada Pak Jokowi. Selain berkenalan, kami sempat berbincang cukup lama.

Bagaimana isi detil perbincangan itu tak penting diceriterakan di sini.

Saya hanya ingin kemukakan, saya bisa hadir karena diajak oleh almarhum Taufiq Kiemas. Pak TK mau mengajak, terutama karena faktor kepercayaan. Terutama atas rekam jejak saya sebagai wartawan dan penulis (buku).

Almarhum termasuk satu-satunya politisi nasional yang bisa mengikuti perjalanan karir saya sebagai wartawan yang dimulai tahun 1974.

Demikian besarnya kepercayaan almarhum kepada saya, sampai-sampai bukunya yang saya tulis di tahun 2009, dia terima apa adanya. Tidak ada sensor dari dia apalagi orang suruhan.

Padahal sejatinya buku berjudul "Manuver Taufiq Kiemas, Memang Lidah Tak Bertulang", yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, berisi cukup banyak sindiran atau kritikan terhadap dirinya dan PDIP.

Buku yang ditulis 2009 itu bukan karena mendapat bayaran dari almarhum. Biaya penulisan diberikan oleh Gramedia Pustaka Utama dengan catatan semua isi menjadi tanggung jawab saya. Jika terjadi tuntutan hukum, saya sendiri yang harus menghadapi di persidangan.

Menulis buku itu jauh lebih rumit dibanding dengan Catatan Tengah-ku edisi 27 Januari 2016.

Mengapa Pak Taufiq Kiemas percaya atas integritas saya?

Karena dia memandang produk-produk profesional saya berupa buku, opini, analisa, laporan berbagai isu serta wawancara dengan tokoh seperti Megawati, SBY dan Presiden Libya, Moammar Khadafy, sudah cukup menjadi ukuran.

Paradigma yang digunakannya untuk mengukur bukan karena subyektifitas pribadi. Tapi subyektifitas seorang negarawan. Seorang negarawan, tidak akan berpura-pura benar tapi juga tidak mau dipura-purakan benar.

Sekalipun dia sendiri tidak pernah mau disebut sebagai negarawan, tetapi cara-caranya dalam menyelesaikan setiap perbedaan selalu dimulai dengan pendekatan kekerabatan dan dialog.

Dalam konteks dan semangat kenegarawanan itulah kepada Relawan Jokowi saya mengajak bertemu dan berdialog.

Kita memang bukan levelnya Pak Taufiq Kiemas. Tetapi saya ingin kita bisa mewarisi aura kenegarawanan itu, walaupun prosentasinya kecil sekali. Penggunaan nama almarhum bukan untuk gertakan dan provokasi. Juga bukan karena ada agenda tersembunyi.

Lebih dari itu jauh dari muatan arogansi, tapi penuh dengan beban kejujuran.[***]

Penulis adalah jurnalis senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA