Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ini Lima Poin Usul Komnas HAM Kalau UU Terorisme Direvisi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/zulhidayat-siregar-1'>ZULHIDAYAT SIREGAR</a>
LAPORAN: ZULHIDAYAT SIREGAR
  • Selasa, 19 Januari 2016, 20:38 WIB
Ini Lima Poin Usul Komnas HAM Kalau UU Terorisme Direvisi
Maneger Nasution
rmol news logo Dorongan agar UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme direvisi mengemuka pascaserangan bom di kawasan Sarinah, Jalan Thamrin Jakarta Pusat pada Kamis lalu (14/1).

Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution, mengusulkan lima poin kalau memang pada akhirnya UU tersebut direvisi.

Pertama, aparat kemanan atau penegak hukum diberikan keleluasaan terukur untuk melakukan tindakan penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Sehingga operasi di lapangan betul-betul terukur dan publik pun diberi ruang untuk bisa menilai independensi dan profesionalitas aparat Kepolisian.
 
Kedua, ketika aparat penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme melakukan salah sasaran penindakan, diperlukan rehabilitasi. Aparat penegak hukum berkewajiban meminta maaf kepada keluarga korban salah sasaran penindakan dan kepada publik serta dibarengi dengan melakukan rehabilitasi secara terbuka.

"Caranya, negara memberikan ganti untung yang laik terhadap korban salah sasaran penindakan penegak hukum," ungkap Maneger dalam pesan singkatnya malam ini (Selasa, 19/1).

Ketiga, memberikan kewenangan terukur terhadap pihak Kepolisian untuk dapat menangkap atau menahan terhadap terduga teroris atau kombatan yang berasal dari sejumlah daerah konflik. Indikasinya, untuk kombatan luar negeri misalnya, bisa dilihat dari rekam jejak perjalanan orang tersebut di Kementerian Luar Negeri.

"Orang tersebut bisa dimintai keterangan terlebih dahulu. Jika dianggap sudah clear baru bisa dilepas. Langkah ini dipandang sebagai upaya pencegahan adanya penyebaran ideologi radikal dan kemungkinan perekrutan anggota baru. Langkah ini sudah diterapkan di sejumlah negara-negara maju," bebernya.

Keempat, penegasan terkait kerja dan wewenang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Selama ini, kerja BNPT dinilai campur aduk antara pengambil kebijakan, supervisi, dan operasional. Kendati begitu, pemerintah harus menegaskan klasifikasi ancaman keamanan nasional dan pihak-pihak yang melakukan tindakan atas ancaman tersebut.

"Harus ditegaskan mana-mana yang masuk dalam kategori ancaman yang mengganggu keamanan nasional, sehingga nanti bisa ditentukan pihak mana yang melakukan penindakan. Namun, semangat dari revisi UU ini harus tetap mengedepakan upaya law enforcement dan penghormatan terhadap HAM. Artinya leading sector-nya adalah pihak kepolisian," urai Maneger.

Kelima, pengaturan anggaran melalui APBN. Artinya pembiayaan personil dan operasi penanganan terorisme oleh BNPT dan Polri-Densus 88 hanya oleh APBN. Sehingga rakyat melalui DPR dan lembaga negara pengawas lainnya memiliki ruang untuk mengawasi independensi dan profesionalitas BNPT dan Polri-Densus 88 dalam penanganan terorisme. Dengan demikian kinerja BNPT dan Polri-Densus 88 itu terkontrol. Ini untuk kepentingan kedaulatan hukum Indonesia.

"Hal-hal seperti di atas yang perlu diatur dengan rumusan yang lebih detil dan jelas sekira ada revisi," tandas Maneger Nasution.

Wacana revisi UU Terorisme ini yang disampaikan Kepala BIN Sutiyoso itu sebelumnya memang langsung menuai polemik bahkan di kalangan pemerintah sendiri. Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan misalnya, setuju dengan usul tersebut. Sementara Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai UU yang ada saat ini masih relevan, tinggal bagaimana efektifitas pelaksanaannya.

Maneger sendiri meminta pemerintah sebaiknya menyediakan cukup ruang dan waktu untuk mendengar dan menyerap aspirasi publik sebelum revisi dilakukan.  [zul]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA