Penilaian itu didasarkan pada fakta: dicabutnya SK atas pengakuan Golkar versi Agung Laksono pada 31 Desember 2015 oleh Menteri Hukum dan HAM. Sementara Golkar versi Munas Riau yang dikesankan sebagai pimpinan Aburizal Bakrie secara politik, keabsahan hasil Munasnya berakhir pada waktu yang sama 31 Desember 2015 juga.
Jadi secara juridis, dua kubu di Golkar tak bisa lagi mengklaim sebagai pengurus. Mau tak mau Golkar harus menggelar Munas untuk memilih pengurus baru. Kisah kepengurusan kembar ini sebetulnya bukan sebuah ceritera baru. Kisah ini seakan sebuah budaya politik Indonesia.
Di era rezim Orde Baru, di mana kejayaan Golkar termanifestasikan, ada dua parpol yang dikesankan sebagai oposisi. Yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia.
Oleh kebutuhan, situasi dan dinamika politik, dua partai ini dipecah atau terpecah. Sehingga kepengurusannya menjadi kembar. Mirip dengan yang sekarang dialami Golkar. PPP Kembar terdiri atas pimpinan Dr.John Naro SH, yang berseberangan dengan Mintaredja SH.
Lalu PDI Kembar, ketika belum ada kata "Perjuangan". Yang satu dipimpin oleh Sanusi Hardjadinata sementara satunya lagi oleh MH Isnaeni. Pengurus Kembar ini sempat dipersatukan oleh pemerintah. Melalui Laksamana Sudomo yang ketika itu menjabat Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban atau Kopkamtib.
Di atas kertas bersatu. Tetapi realitas di lapangan, terutama begitu keluar dari Jakarta kepengurusan kembar, terus tumbuh. Pendek kata kepengurusan kembar sebetulnya bukan hal baru dalam sejarah politik Indonesia.
Yang baru adalah pertarungan Agung - Aburizal. Sebab sebelum berseberangan, keduanya merupakan politisi yang bersahabat kental. Dulunya mereka bahu membahu membangun bisnis televisi. Keduanya pendiri dan pemegang saham di stasiun televisi AnTV. Yang relatif baru adalah perseteruan mereka untuk sementara semakin membenarkan bahwa politik itu tidak jauh dari aroma busuk.
Politisi berkualitas, setiap saat bisa menjadi politisi busuk. Dan politisi itu tak mengenal kawan abadi. Politisi, kalau sudah berkarakter haus kekuasaan, tak akan pernah kenyang. Namun yang tak kalah menarik dicermati, di luar gelanggang pertarungan Agung - ARB, yaitu ceritera dan manuver politik seorang pentolan Golkar.
Di tengah kepengurusan kembar karir politik Setya Novanto melesat.
Setya Novanto adalah sosok politisi yang tak pernah kedengaran membuat gaduh. Tiba-tiba di saat semua politisi sibuk berbicara soal lemahnya kinerja pemerintahan, Novanto diam-diam melakukan deal dengan mengait-ngaitkan posisi dan peran kepala pemerintahan.
Dampaknya aksi Novanto menghebohkan Indonesia. Itu terjadi karena wilayah yang dimasukinya memiliki skala bisnis raksasa.
Yang dijajaki Novanto adalah bagaimana merubah peta kepemilikan saham PT Freeport Indonesia. Perusahaan milik Amerika yang sudah beroperasi sekitar 50 tahun di Pulau Papua itu, sejauh ini nyaris tak bisa diobok-obok Indonesia.
Kini Setya Novanto muncul dengan gagasan bagaimana secara umum, perusahaan asing itu dikuasai oleh elit politisi dan penguasa tertentu. Novanto, tadinya hanya sebagai pengusaha yang mencari ladang lewat politik. Namun tiba-tiba ia menjadi Ketua DPR-RI atau "penguasa Senayan".
Novanto oleh konstituennya di Dapil NTT, dikenal sebagai seorang pemeluk Katolik. Namun menjelang subuh 2 Oktober 2014, Novanto sudah berubah menjadi seorang mualaf. Pemuka agama Katolik di NTT hanya bisa menyindir dan tidak bisa memprotes, ketika Novanto berpindah agama yang dicurigai lebih didorong oleh motif berpolitik.
Berhubung perpindahan agama menyangkut masalah hak azasi dan persoalannya salah-salah menjadi persoalan SARA, warga NTT pun kelihatannya lebih suka memilih diam. Yang pasti dengan perubahan itu pula proses Novanto menjadi Ketua DPR-RI periode 2014 - 2019, berjalan tanpa protes.
Lepas dari pro kontra, pertemuannya dengan Donald Trump, Oktober 2014 lalu di New York, Amerika Serikat, perlu diakui sebagai sebuah pertemuan yang memiliki magnitude bisnis dan politik yang sangat kuat. Keberhasilannya menembus Markas Trump, menunjukkan bahwa dia memiliki kemampuan yang tak dimiliki oleh mereka yang pernah menjadi Ketua DPR-RI.
Benar bahwa Donald Trump masih merupakan bakal calon Presiden Amerika Serikat. Namun dengan pertemuan itu Novanto, melalui status sebagai Ketua DPR RI, telah berhasil memperbesar jaringannya.
Sesuai hasil jajak pendapat terakhir, popularitas Trump mencapai 39 persen. Unggul jauh dengan semua lawannya baik di Republik maupun di Demokrat. Lawannya paling banter 11 persen.
Sehingga jika manuver Novanto dikaitkan dengan keberhasilan Donald Trump, posisi dan status sosial politiknya kemungkinan akan berubah (positif). Terutama jika Trump lolos dalam pertarungan kandidat Presiden Amerika.
Dari catatan di atas itu saja, Novanto sudah bisa disebut sebagai politisi cerdik. Itupun belum cukup. Perlu ditambah menjadi politisi, licin bahkan licik atau "Politisi Cerdik, Licin dan Licik". Tapi konotasi semuanya tetap dalam pengertian positif.
Pencapaiannya itu semua, sudah cukup menjadi alasan kuat untuk sebuah kesimpulan sementara bahwa Novanto telah berhasil mencatat legacy. Tidak semua politisi Golkar punya legacy walaupun mereka sudah lama berkiprah di sana.
Sejauh ini yang sering disebut sebagai politisi yang punya legacy di Golkar, baru terbatas pada Akbar Tanjung. Ia juga tergolong "Politisi CLL". Diakui atas kehebatannya bermanuver.
Akbar diibaratkan dengan ikan belut yang kulitnya sangat licin sehingga sangat sulit ditangkap atau dipegang manusia. Kulit belut makin bertambah licin karena ia berenang di air berisi cairan yang 90 persen volumenya terdiri atas minyak pelumas atau oli. Predikat itu sekedar memperkuat pengakuan atas kemampuan mengelak, kepiawaian menyelamatkan diri dari situasi yang sangat sulit.
Novanto dianggap lebih piawai ketimbang Akbar Tanjung, karena dari segi latar belakang dan jam terbang di dunia politik, rentang karir Novanto tidak sepanjang Akbar Tanjung. Kendati demikian, dengan modal yang lebih kecil, Novanto tokh mampu mengungguli Akbar.
Akbar sejak mahasiswa sudah aktif berpolitik. Sementara Novanto baru berpolitik setelah dewasa.
Akbar pernah menjadi Ketua Umum PB HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Sementara Novanto mungkin tak pernah menjadi anggota PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia).
Di tengah perjalanan karir sebagai anggota DPR/MPR-RI mewakili Golkar, Akbar pernah dipercaya menjadi Menteri. Dia juga pernah menjadi Ketua Umum DPP Golkar dan Ketua DPR-RI.
Novanto tidak pernah masuk ke kekuasaan. Yang terjadi, ia pernah bekerja paruh waktu pada keluarga Mas Isman, politisi dekat kekuasaan yang merupakan ayah Hayono Isman, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga.
Dalam berbagai ulasan politik, Akbar Tanjung disebut politisi yang bisa hidup dengan berbeda rezim. Kartu politiknya bisa mengakses 5 dari 7 kekuasaan. Mulai dari pemerintahan Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahmawan Wahid, Megawati Soekarnoputri sampai Susilo Bambang Yudhoyono. Novanto tak sehebat itu.
Sementara di era Joko Widodo, di sinilah karir politik Novanto berrevolusi. Seperti gigi mesin, bereskalasi cepat dan tak ada yang bisa menghentikannya.
Pada eranya, Akbar Tajung memiliki jaringan yang sangat luas. Ketika menjadi Ketua Umum DPP Golkar, Akbar disebut-sebut satu-satunya politisi yang pernah tidur di sebagian besar kota DPC. Jumlahnya hampir mencapai 600 kota. Dan itulah yang menjadi jaringan sekaligus sebagai salah satu kekuatan Akbar Tanjung.
Berbeda dengan Novanto. Yang bahkan mungkin sangat jarang mengunjungi Daerah Pemilihannya. Ia yang nota bene hanya mengandalkan dukungan Aburizal Bakrie atau ARB. Atau kalau mau ditambah, paling banter hanya Prabowo Subianto, Pendiri sekaligus Ketua Umum Partai Gerindera.
Namun sekalipun hanya dengan dukungan dua Ketua Umum parpol, Novanto sudah bisa mendesepsi semua orang Indonesia. Terutama rakyat Indonesia yang berpikir bahwa Ketua DPR-RI periode 2014 - 2019 itu melanggar etik.
Menariknya lagi, ARB dan Prabowo Subianto (PS) terkenal sebagai sosok yang mampu mendikte anak buah mereka. Tapi dalam kasus Setya Novanto, justru terbalik. ARB dan PS-lah yang terkesan didikte oleh Novanto, politisi berwajah 'baby face' tersebut.
Mari kita cermati. Ketika opini publik terkesan sudah memvonis Setya Novanto melakukan pelanggaran etik sebagai Ketua DPR-RI, di saat itulah ARB dan PS membela Novanto.
Ketika kasus Novanto sedang gaduh - bakal dibawa ke Mahkamah Kehormatan Dewan, DPR-RI, ARB dan PS, mendahului pembelaan terhadap Novanto. Pernyataan ARB dan PS mampu mempengaruhi jalannya peridangan MKD serta mengubah situasi dan status politik Setya Novanto.
Keputusan Mahkamah atas Novanto yang tidak membuat keputusan, akhirnya memindahkan kegaduhan. MKD lah yang tidak becus. Sementara Novanto dianggap cukup berhasil sebagai Poltisi CLL. Dia berhasil memainkan kartunya di Mahkamah Kehormatan.
Menjelang tahun baru 2016 sudah ada gejala, kasus "Papa Minta Saham" bakal segera dilupakan atau terlupakan. Sementara 2016 diawali dengan kasus berakhirnya kepengurusan kembar di Partai Golkar.
Dengan munculnya persoalan kepengurusan kembar di Golkar, hampir bisa dipastikan pergeseran perhatian akan beralih. Siapakah yang akan memimpin Golkar. Bukan lagi pada apakah politisi Golkar, Setya Novanto pantas disalahkan melanggar kepatutan dan kode etik. Jika ini terjadi, Novanto selain berhasil memainkan manuver, dia berhasil menciptakan waktu, momentum yang menyelamatkannya.
Waktu dan situasi akhirnya membawa Novanto sebagai politisi yang mampu menciptakan
legacy. Soal apakah
legacy-nya berkualitas atau tidak, hal itu menjadi normatif sifatya. Yang pasti dari segi kosa kata, Novanto berhasil mengalahkan legacy Akbar Tanjung.
Politik Indonesia sering disebut melahirkan banyak kejutan. Novanto sudah membuat sejumlah kejutan. Oleh sebab itu jangan terkejut kalau akhirnya Setya Novanto kembali membuat kejutan.
Kejutan itu bisa berupa dia menjadi Ketua Umum DPP Golkar dalam Munas berikutnya. Atau kembali menjadi Ketua DPR-RI, maupun jabatan penting lainnya yang ada dalam nomenklatur Indonesia
.[***]
*Penulis merupakan jurnalis senior