Bisa Rusak Negara Bila PDI Perjuangan Cuma Jadi Stempel Pemerintah

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/yayan-sopyani-al-hadi-1'>YAYAN SOPYANI AL HADI</a>
LAPORAN: YAYAN SOPYANI AL HADI
  • Rabu, 23 Desember 2015, 19:23 WIB
Bisa Rusak Negara Bila PDI Perjuangan Cuma Jadi Stempel Pemerintah
sukur nababan/net
rmol news logo . Ada opini yang berkembang bahwa tak seharusnya PDI Perjuangan menekan pemerintah terlalu keras untuk melaksanakan rekomendasi DPR terkait hasil kerja Pansus Pelindo II DPR RI.



Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Sukur Nababan, pun mengkritisi opini yang dibangun tersebut. Menurut Sukur, PDI Perjuangan selalu mengusung dan mempercayai Presiden Jokowi, sejak masih walikota sampai presiden, dengan berbasis keyakinan ideologis. Namun mendukung Jokowi, bukan berarti PDI Perjuangan hanya sebagai partai tukang stempel pemerintahan.



"Tugas kita menjaga ideologi dan Trisakti, sekaligus menjaga seluruh kader agar selalu berada di garis ideologi dan melaksanakan peraturan perundang-undangan. Bayangkan kalau PDIP hanya sekedar tukang stempel, bagaimana rakyat mempercayai kita? Tentu partai harus mengingatkan ketika UU dan ideologi tak dilaksanakan," kata Sukur beberapa saat lalu (Rabu, 23/12).



Karenanya, Sukur menilai salah bila PDIP diopinikan hendak menyerang Jokowi-JK ketika mendesakkan pelaksanaan rekomendasi Pansus Pelindo II DPR RI. Bukan juga karena dendam tertentu kepada sosok Menteri BUMN Rini Soemarno, yang dalam rekomendasi, diberhentikan dari jabatannya.



"Rini itu terlalu kecil. Urusan kita kebangsaan dan Undang-undang. Jangan disamakan kelasnya Rini dengan partai ini. Justru kami menunjukkan bahwa kami bukan partai tukang stempel. Janganlah kebijakan salah tetap didukung, bisa hancur negara ini. Kebijakan yang benar pasti kita back up. Tetapi yang salah harus dikoreksi benar dan diingatkan," tegasnya.



Dia juga menekankan, rekomendasi sesuai hasil kerja Pansus Pelindo II DPR RI itu wajib dilaksanakan oleh Pemerintahan Jokowi-JK. Termasuk apabila salah satu konsekuensinya adalah reshuffle kabinet terkait Rini Soemarno yang dinilai telah melanggar aturan perundang-undangan. Diingatkannya, rekomendasi DPR RI adalah Konstitusional karena dilaksanakan berdasar UU, yakni UU MD3. Di UU itu, ada aturan penggiunaan hak angket, yakni menyelidiki indikasi pelanggaran aturan perundang-undangan dalam sebuah permasalahan.



Pansus Pelindo II kemudian bekerja untuk melihat kebenaran dugaan awal, dimana hasilnya melahirkan rekomendasi. Sesuai aturan, rekomendasi itu adalah salah satu alat Parlemen melakukan pengawasan terhadap pemerintahan.



"Maka kalau hasil penyelidikan Pansus tak didengarkan, tentu akan bisa meningkat ke Hak DPR lainnya. Itu jelas di UU MD3. Kalau tak didengarkan pemerintah, maka DPR bisa masuk ke Hak Menyatakan Pendapat yang berkonsekuensi ke pemakzulan," kata Sukur Nababan.



"Tentu kalau temuan Pansus adalah menteri melanggar UU, menjadi tanggung jawab presiden memberhentikan menteri yang melanggar. Itu politiknya. Secara hukum, ada penegak hukum yang bisa bekerja menelusuri dugaan pelanggaran aturan," jelasnya.



Sukur menekankan bahwa ketika Pemerintah hanya menganggap rekomendasi Pansus Pelindo sebagai sekedar 'saran politik," maka sama saja menafikan UU. "Itu blunder," tegas Sukur.



Rekomendasi DPR RI itu diantaranya Pemerintah menghentikan kontrak perpanjangan Terminal Peti Kemas Jakarta (JICT), pengembalian status karyawan yang dipecat, hingga soal penggunaan hak prerogatif presiden memecat Menteri BUMN Rini Soemarno. [ysa]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA