Jatah APBN Untuk Jakarta Oper Saja Ke Luar Jawa Ya...

Anggaran Besar Tapi Penyerapan Sangat Rendah

Selasa, 01 Desember 2015, 09:20 WIB
Jatah APBN Untuk Jakarta Oper Saja Ke Luar Jawa Ya...
ilustrasi:net
rmol news logo Persoalan rendahnya penyerapan anggaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 2015 disikapi pro dan kontra neti­zen. Banyak netizen mengaitkannya dengan ketidakmampuan Gubernur DKI Jakarta mengelola anggaran. Tetapi tak sedikit netizen mendukung Gubernur Basuki Tjahaja Purnama.
 
Daya serap anggaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 2015 sama rendahnya dengan serapan anggaran provinsi baru Kalimantan Utara (Kaltara). Minimnya penyera­pan anggaran merupakan salah satu indikasi buruknya kinerja birokrasi Pemprov DKI Jakarta yang dipimpin Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Meskipun, kinerja birokrasi tidak bisa diukur semata-mata berdasar­kan anggaran yang dibelanjakan.

Sejak 2013, DKI Jakarta tercatat sebagai provinsi dengan serapan ang­garan rendah. Di tahun 2015, serapan anggaran DKI berada di urutan 5 terbawah bersama provinsi pemeka­ran Kalimantan Utara. Kalimantan Utara ada di urutan ketiga terendah se-Indonesia.

Sementara itu, penyerapan ang­garan DKI Jakarta kurang dari 40 persen total APBD DKI Rp 63 triliun. Penyerapan yang rendah ini salah satunya karena pengesahan anggaran yang terlambat. Akhirnya, pengeluaran paling besar untuk ba­yar gaji pegawai.

"Kita capek-capek bayar pajak tapi habis buat belanja pegawai. Sedangkan untuk kesehatan dan pendidikan masih rendah," ucap Direktur Advokasi dan Investigasi LSM FITRA, Apung Widadi.

Sepertinya penyerapan anggaran DKI Jakarta pada tahun 2016 kem­bali rendah. Pasalnya, sambung Apung, terjadi keterlambatan penge­sahan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta 2016.

"Memalukan, DKI Jakarta pusat­nya Indonesia daya serap anggaran­nya sama rendahnya dengan provinsi baru hasil pemekaran Kalimantan Utara," kata Apung. Dia berharap Gubernur DKI Jakarta, Kementerian Dalam Negeri dan DPRD DKI Jakarta introspeksi diri.

Masalah ini juga menjadi perha­tian netizen. Pada umumnya netizen menilai kepemimpinan Ahok seba­gai penyebab penyerapan anggaran minimal.

Di antaranya, akun @MasnurMarzuki mempertanyakan kemam­puan Ahok memimpin Ibu Kota. "Penyerapan anggaran DKI sama rendahnya dengan Kalimantan Utara yang baru jadi provinsi. Ahok juga baru jadi Gubernur ya?" sindirnya.

Akun @ferizandra heran dengan sikap sebagian orang yang terkesan masih terus-terusan membela bekas Bupati Belitung Timur itu. Padahal, menurut dia, Ahok terbukti tidak mak­simal memimpin Jakarta. "Serapan anggaran Pemprov DKI rendah, bus TransJakarta sering terbakar, macet dan banjir semakin parah. Eh, masih ada aja ya yang nyembah Ahok...," ujarnya.

Pemilik akun @kaschner70 men­gaku warga DKI Jakarta yang taat membayar pajak, menilai Ahok tidak mampu mengelola anggaran. Demikian rendahnya penyerapan anggaran Pemprov DKI pada tahun ini, menunjukkan uang APBD hanya digunakan untuk bayar gaji pegawai atau belanja rutin saja.

"Capek-capek orang bayar pajak. Tahu-tahunya tuh anggaran hanya buat belanja pegawai. Padahal di sektor-sektor yang penting minim perbaikan," sesalnya.

Netizen @akun123456789 men­gusulkan jumlah APBD untuk DKI Jakarta dikurangi pada tahun 2016, terutama anggaran yang bersumber dari APBN. "Ada baiknya anggaran APBN jangan kasih ke Jakarta lagi. Alihkan saja ke luar DKI atau luar Pulau Jawa, supaya pembangunan lebih seimbang," katanya.

Netizen lain mengaitkan masalah ini dengan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2017. Akun @BrataRobinto menyarankan masyarakat yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) DKI Jakarta untuk tidak memil­ih Ahok pada Pilkada tahun 2017 men­datang. "Sebaiknya tidak usah pilih dia lagi," cuitnya.

Serangan netizen terhadap Ahok terkait rendahnya penyerapan angga­ran DKI Jakarta mendapat tanggapan akun @temanAhok, yang diketahui dikelola relawan pendukung Ahok. Relawan ini ingin Ahok kembali mencalonkan diri pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 melalui jalur Independen.

Di antara argumentasi pembelaan akun itu mengatakan, meskipun serapan anggaran rendah, namun seluruh ang­garan yang digunakan tidak bermasalah. "Sayangnya nggak ada yang catat, berapa anggaran yang bisa 'diselamat­kan'," klaim akun @temanahok.

Netizen lain juga menyampaikan hal senada. Bagi netizen ini, menyelamat­kan anggaran yang berisiko dikorupsi, lebih baik ketimbang membiarkan ang­garan dibelanjakan dan potensial jadi bancakan. "Serapan anggaran Pemprov DKI Jakarta harus diakui sangat rendah, tapi menyelamatkan anggaran yang dikorupsi justru jauh lebih penting," cuitnya akun @TolakBigotRI.

Akun @Jopiesays menolak pe­nilaian kinerja Pemerintah berdasar­kan besaran penyerapan anggaran. Menurut dia, penilaian kinerja sehar­usnya dilihat dari hasil atau capaian yang telah diraih oleh pemerintah daerah. "Kenapa penilaian hanya dari serapan anggaran? E-Catalouge ng­gak dibahas? Dengan serapan yang rendah tapi output-nya tidak diba­has?" kicaunya.

Akun @manalu_o menguatkan pendapat akun @Jopiesays. Kata dia, hasil penggunaan anggaran itu yang seharusnya menjadi perhatian publik untuk menilai kinerja pemer­intah. "Bukan jumlah serapan yang penting, tapi hasil serapan anggaran yang penting...," katanya.

Akun @dharmasetyabudi malah khawatir apabila serapan anggaran mencapai 100 persen. "Patokan serapan bukan prestasi, kalau yang "siluman" juga besar buat apa? Duit hasil kita bayar pajak dimain-mainin," tegasnya.

"Jadi intinya bukan serapan ang­garan DKI rendah, TETAPI banyak anggaran siluman yang tidak diek­sekusi," sambung pengguna akun @ hudattamini.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok juga menyampaikan tanggapan. Dia me­nyatakan, pelayanan publik tetap berlangsung meskipun anggaran yang terserap rendah. "Saya mau tanya sama warga Jakarta, Jakarta sekarang jalannya lebih hitam enggak? Sungai lebih bersih enggak? Anak-anak da­pat KJP (Kartu Jakarta Pintar) lebih banyak enggak? Kamu urus izin surat lebih gampang enggak? Ada pungli enggak? Taman-taman lebih hijau enggak," kata Ahok di Balai Kota, kemarin.

Menurut dia, hal itu berarti rendah atau tingginya serapan anggaran tidak berpengaruh terhadap kinerja. Ahok ber­pendapat lebih baik dia "mengunci" 50 persen anggaran, dibanding membiar­kan terserap hingga 100persen. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA