Usai berwudhu, sambil menahan dingin suhu Yerusalem yang sekitar 20 derajat Celcius, saya berjinjit menyeberangi setengah lapangan belakang al-Aqsha. Sejumlah petugas masjid pagi itu tampak membersihkan karpet teras belakang dengan vacum cleaner.
Begitu memasuki bagian dalam masjid, saya merasa amat bersyukur dengan yang saya lihat. Inilah interior kiblat pertama ummat Islam. Tiba-tiba terdengar beberapa petugas masjid meminta jangan duduk sebelum melaksanakan shalat menghormati (tahiyyat) masjid. "
Shalluu, shalluu rak’ataen tahiyyatal masjid," ujarnya mengingatkan.
Usai shalat, sejenak saya melihat-lihat setiap sudut masjid ini. Karena baru sekitar pukul 07.30 pagi, suasana masjid memang kosong dari jamaah. Hanya beberapa petugas masjid saja yang tampak membersihkan bagian dalam masjid ini.
Di pojok kanan belakang masjid, tampak sekelompok perempuan Palestina berkumpul. Sebagian ada yang sedang membaca al-Qur’an, ada pula yang sedang shalat. Mereka ini adalah Murabithat (kaum prianya disebut dengan Murabithun), atau bisa diartikan kaum perempuan Muslimah yang sedang berjaga.
Mereka merupakan gerakan Islam yang didukung oleh Gerakan Islam Wilayah Utara Israel. Kelompok ini menyelenggarakan pembelajaran membaca dan menulis al-Qur’an. Di saat yang sama, mereka juga turut mengawasi orang-orang Yahudi atau orang-orang Kristen yang memasuki kawasan al-Haram asy-Syarif agar mereka tidak berdoa, karena bisa dianggap penodaan tempat suci ummat Islam.
Memahami konflik Muslim Palestina dan penguasa Israel saat ini, sebenarnya bisa dengan melihat pengertian Masjid al-Aqsha pada peristiwa Isra' Mi'raj dalam al-Qur'an, karena meliputi seluruh kawasan al-Haram asy-Syarif.
Secara harfiah al-Aqsha berarti ‘masjid terjauh’ (maksudnya dari Makkah, Saudi Arabia kini), merujuk kepada surah al-Isra' (ke-17) ayat 1 dari Kitab Suci al-Qur’an. Selama berabad-abad yang dimaksud Masjid al-Aqsha sesungguhnya tidak hanya bangunan masjid saja, melainkan juga area di sekitar bangunan itu, yang dianggap sebagai suatu tempat suci, menurut sebagian pandangan merujuk pada ayat di atas. Yakni pada kalimat "...Masjid al-Aqsha, yang Kami berkahi di sekitarnya."
Perubahan penyebutan ini terjadi pada masa pemerintahan Kesultanan Utsmaniyah (kira-kira abad ke-16 sampai awal 1918), dimana area kompleks di sekitar masjid disebut sebagai al-Haram Asy-Syarif (tempat suci yang mulia), sedangkan bangunan masjid yang didirikan oleh Umar bin Khattab disebut sebagai Jami' Al-Aqsha atau Masjid Al-Aqsha.
Tak heran, ummat Islam baik yang berada di Palestina maupun Israel selalu memprotes keras, ketika ada sejumlah ummat Yahudi terutama yang ingin berdoa, meski hanya sekedar di halaman belakang Masjid al-Aqsha ini, yang jelas-jelas secara fisik di luar bangunan masjid.
Saya menyusuri hamparan karpet merah masjid ini dari belakang hingga ke depan. Bagian dalam masjid sepanjang 83 meter dan lebar 56 meter ini, bisa menampung sekitar 5.000 jamaah, sementara di bagian luarnya mampu menampung hingga 400.000 jamaah. Bagian mihrab (tempat imam) saat itu sedang direnovasi, sehingga posisi imam dimundurkan ke bagian tengah masjid.
Di bagian dalam area yang sedang direnovasi inilah terdapat sebuah mimbar lumayan tinggi. Ketika terjadi pembakaran Masjid Al-Aqsa pada 21 Agustus 1969 oleh pengikut fanatik Kristen dan Yahudi di Yerusalem, mimbar kuno Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi (penakluk Yerusalem 1138-1193), terbakar habis. Dinasti Bani Hasyim, penguasa Kerajaan Yordania menggantinya dengan mimbar baru yang dikerjakan di Yordania. Namun ada yang menyatakan, mimbar itu sebenarnya buatan Jepara.
Peristiwa ini dianggap amat serius bagi dunia Islam. Karena peristiwa inilah akhirnya terbentuk Organisasi Kerja Sama Islam (sebelumnya bernama Organisasi Konferensi Islam), di Rabat, Maroko pada 12 Rajab 1389 H (25 September 1969). Organisasi internasional dengan 57 negara anggota ini memiliki seorang perwakilan tetap di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Secara fisik, masjid ini memang tercatat beberapa kali hancur. Gempa pada tahun 746 misalnya, membuat masjid ini hancur seluruhnya. Lalu dibangun kembali oleh Khalifah Abbasiyah al-Mansur pada tahun 754.
Gempa berikutnya pada tahun 1033, menghancurkan sebagian besar Al-Aqsha, namun dua tahun kemudian Khalifah Fatimiyyah; Ali Azh-Zhahir membangun kembali masjid, yang berdiri hingga kini.
Dalam berbagai renovasi berkala, berbagai dinasti kekhalifahan Islam melakukan penambahan terhadap masjid dan kawasan sekitarnya, antara lain bagian kubah, eksterior, mimbar, menara, dan interior bangunan.
Ketika Tentara Salib menaklukkan Yerusalem pada tahun 1099, mereka menggunakan masjid ini sebagai istana dan gereja, namun fungsi masjid dikembalikan setelah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi merebut kembali kota itu pada tahun 1187. Renovasi, perbaikan, dan penambahan lebih lanjut dilakukan pada abad-abad kemudian oleh para penguasa Ayyubiyah, Mamluk, Utsmaniyah, Majelis Tinggi Islam, dan Yordania.
Bersambung...
BERITA TERKAIT: