Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

CATATAN TENGAH

De Facto, Tarif Listrik Tiap Bulan Naik

Monopoli PLN Harus Diakhiri

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Sabtu, 31 Oktober 2015, 11:38 WIB
De Facto, Tarif Listrik Tiap Bulan Naik
DPR-RI dan pemerintah akhir pekan ini mengesahkan RAPBN menjadi APBN 2016 sebesar Rp. 2095 Triliun. Pemberlakuannya per 1 Januari tahun depan.

Salah satu elemen yang cukup penting dalam APBN ini adalah soal pengurangan subsidi untuk listrik. Artinya tarif listrik per 1 Januari 2016 mengalami kenaikan.

Memang, kenaikan tarif listrik itu tidak berlaku bagi semua "kelas". Hanya "kelas" bawah saja yang terkena. Yaitu mereka, para konsumen yang hanya menggunakan listrik antara 400 - 900 watt.

Namun justru disitu letak permasalahannya. Sebab konsumen di "kelas" itu tergolong masyarakat yang pas-pasan. Artinya kehidupan ekonomi mereka masih komat-kamit, senin-kemis atau masih harus berpacu dengan kesulitan.

Sehingga di sini terlihat jelas pemerintah yang menyusun RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) kemudian meninta persetujuan dari DPR-RI, tidak jujur dan tidak peka terhadap kehidupan rakyat yang masih jauh dari tingkat kesejahteraan.

Mengapa dinilai tidak jujur dan tidak peka ? Masih ingat desakan sejumlah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) belum lama ini. Yaitu mereka mendesak agar harga BBM (Bahan Bakar Minyak) segera diturunkan. Karena pemerintah membeli bahan baku BBM - melalui impor,. tidak lagi dengan harga dalam kisaran USD 100,- per barel. Dalam satu tahun terakhir ini, harga minyak mentah sudah turun secara drastis.

Pekan ini di sekitar USD 45,- per barel. Tetapi sebelumnya sempat menyentuh USD 39,- per barel. Paling tidak penghematan lebih dari 50%.

Kaitan harga minyak mentah di pasaran dunia dengan tarif listrik adalah sejumlah atau sebagian besar pembangkit listrik yang dioperasikan oleh PLN (Perusahaan Listrik negara), menggunakan BBM. Dan BBM hasil sulingan itu menggunakan minyak mentah impor dengan harga di atas.

Oleh sebab itu tuntutan LSM beberapa waktu lalu, setelah harga jual BBM diturunkan, harus diikuti oleh penurunan tarif listrik.

Pemerintah akhirnya menurunkan harga BBM bagi minyak diesel, sekalipun tarif listrik tidak sama sekali.

Kini permintaan pernurunan tarif listrik itu bahkan dijawab dengan kenaikan atau pengurangan subsidi.

Inilah yang menyebabkan kesimpulan di atas bahwa pemerintah tidak jujur.

Sebagai pengusul RAPBN,. pemerintah seolah-olah tidak pernah tahu dengan penurunan harga minyak impor dan seakan tidak mendengar tuntutan penurunan tarif listrik.

Sementara itu, DPR, khususnya komisi yang menjadi mitra pemerintah dalam pembahasan RAPBN 2016 sepertinya tidak punya kepekaan. Entah karena mereka rata-rata baru setahun duduk di Senayan, maka pengetahuan mereka tentang masalah bangsa, masih sangat terbatas.

Sebetulnya pihak pemerintah, khususnya para teknokrat yang dipercaya menyusun RAPBN ini, perlu di-fit and proper test. Sejauh mana kemampuan mereka dalam menyusun RAPBN. Kalau melihat asumsi-asumsi yang digunakan dalam penyusunan RABPN, hal itu tidak berbeda jauh dengan apa yang dilakukan oleh teknokrat terdahulu.

Sehinga boleh jadI para teknokrat ini bukan yang berstatus pakar. Atau kepakaran mereka tergolong KW Satu atau KW Dua.

Sebab pekerjaan yang mereka lakukan bukanlah sebuah proyek yang menyita waktu yang begitu besar.

Pasalnya penyusunan RAPBN tidak berbeda banyak dengan pola yang dilakukan teknorat 30 bahkan 40 tahun lalu. Sudah ada kolom-kolom kosong yang tinggal diisi angka dan asumsinya.

Jadi mereka sekedar melakukan copy paste atas konsep yang dibuat oleh teknokrat kaliber Ali Wardhana (almarhum), Widjojo Nitisastro (almarhum), Sumitro Djojohadikusumo (almarhum), Radius Prawiro (almarhum), Saleh Afiff (almarhum) atau Sumarlin dan Mari'e Muhammad.

Singkatnya dalam penyusunan RAPBN tidak ada pekerjaan berat yang membutuhkan kepintarean kaliber Einstein. Juga tidak ada terobosan.

Para teknokrat hanya perlu menghitung angka yang harus dimasukkan di setiap kolom - sebuah formulir yang sudah bertahun-tahun digunakan.

Oleh karena itu, dengan kenaikan tarif listrik mulai tahun depan, cara kerja para teknokrat ini patut disesalkan - sebab mereka tidak mau memutar otak barang sedikit. Kalau mereka mau berlelah dan menguji kecerdasan mereka, seharusnya yang mereka ajukan adalah RAPBN yang ada penunrunan tarif listrik.

Kasarnya, kalau pekerjaan teknokrat hanya untuk menaikkan tarif listrik lantas dimana kehebatan dan kepintaran mereka.

Para penyusun RAPBN tidak pernah berpikir bagaimana mengurangi kesulitan dan beban rakyat. Melainkan bagaimana meringankan pekerjaan pemerintah.

Dari data penurunan harga minyak mentah dunia - yang dibeli Indonesia selama satu tahun terakhir ini, jelas pemerintah apakah Kementerian Keuangan dan PLN, berhasil melakukan penghematan. Artinya banyak dana yang tersedia dan dengan dana itu, pemerintah sebetulnya tidak perlu mengurangi subsidi.

Lagi pula terlihat cukup jelas bahwa konsep pemerintah tentang peran BUMN - termasuk PLN tentunya, cenderung mengikuti konsep ekonomi liberal. Tidak ada sedikitpun terbersit bahwa BUMN ditugaskan dan berperan seperti koperasi ataupun syariah.

Setiap BUMN harus mencari keuntungan sebesar-besarnya dan keuntungan ini menjadi poin penting bagi direksi BUMN.

Atau kalau ada BUMN yang memiliki kemampuan keuangan yang baik, BUMN itu "dijual" atau dijadikan sebagai penjamin untuk berhutang. Seperti yang dilakukan Menteri BUMN dalam proyek kereta apa super cepat Bandung- Jakarta. Proyek bernilai Rp. 70 triliun itu memanfaatkan tiga bank BUMN.

Ke-liberal-an BUMN khususnya PLN, semakin kuat dengan dipermanenkannya PLN sebagai satu-satunya perusahaan penyedia listrik.

PLN menjadi pemain monopoli. Tanpa saingan. Akibatnya PLN seenaknya memberlakulamn tarif dan menetapkan apa yang menjadi kemauannya.

Apa yang dilakukan oleh PLN terhadap konsumen mengingatkan prilaku manajemen Garuda di era Wiweko. Di mana pelayanan ala kadarnya dan pemerintah tidak membolehkan perusahaan penerbangn swasta menerbangi jalur gemuk.

Manajemen PLN juga mengingatkan cara-cara PT Telkom di era monopoli. Ketika itu sebagai BUMN, PT Telkom belum ada saingan. Untuk permintaan sambungan telepon, bisa sampai 5 tahun baru terpenuhi. Pegawai Telkom sempat dikenal sebagai PNS yang arogan kepada konsumen.

Telkom baru berubah gayanya setelah tidak memonopoli telekomunikasi. Setelah muncul perusahaan swasta seperti XL, Three, Friend dan sebagainya, bukan konsumen lagi yang mencari, antri di loket telkom.

Pemerintah perlu diingatkan, dalam kasus tertentu, PLN sudah sangat keterlaluan menzolimi konsumen.

Harus ada penyelidikan terhadap beberapa tindakan PLN yang merugikan konsumen.

Misalnya secara de facto pelanggan atau kosumen untuk kelas tertentu, tidak pernah membayar tarif yang sama dan tetap setiap bulan. Selalu ada kenaikan.

Dan ketika mengadu ke konter PLN, pengaduan selalu dilayani dengan baik dan sopan. Tetapi argumentasi pelanggan tetap saja kalah satu dikalahkan. Sementara sebelum mengadu, kita wajib membayar dulu apa yang ditetapkan oleh mesin penghitung PLN.

Tidak pernah terjadi, konsumen boleh tidak membayar dulu, sebelum terjadi kesamaan paham dalam soal tarif yang harus dibayar.

Jika ditanya mengapa pembayaran bulan ini mengalami kenaikan, akan dijawab misalnya, boleh jadi karena cara penggunaan AC yang tidak tepat.

Bulan berikutnya kalau mengadu ada kenaikan, jawabannya berubah misalnya boleh jadi karena pompa airnya hidup terus. Bulan berikutnya kalau keberatan lagi, jawabannya pasti selalu mengalahkan posisi konsumen. Demikian seterusnya.

Sementara kalau konsumen bertanya mengapa dalam sebulan bisa terjadi pemadaman listrik berkali-kali, PLN berkilah ada gardu yang sedang diperbaiki.

PLN tidah pernah memberi kompensasi kepada konsumen atas kerugian yang disebabkan oleh pemadaman listrik berkali-kali.

Padahal pemadaman listrik secara tiba-tiba merupakan penyebab utama kerusakan atas alat rumah tangga seperti kulkas, mesin ac, pesawat tv dan lain-lainnya.

Dengan latar belakang ini, pantas kalau kenaikan tarif listrik per 1 Januari 2016 itu perlu dikritisi, digugat dan dipermasalahkan. Dan yang paling mendesak, monopoli PLN harus segera diakhiri.

Semua BUMN bisa dibilang sudah mengalami reformasi, kecuali PLN. Ini sesuatu yang aneh, tak masuk akal dan tak bermartabat. [***]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA