Masih Pantaskah Zulkifli Hasan Duduk di Kursi Ketua MPR

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/yayan-sopyani-al-hadi-5'>YAYAN SOPYANI AL HADI</a>
OLEH: YAYAN SOPYANI AL HADI
  • Jumat, 04 September 2015, 02:45 WIB
<i>Masih Pantaskah Zulkifli Hasan Duduk di Kursi Ketua MPR</i>
zulkifli hasan/net
rmol news logo . Saat Pilpres 2014, dua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden, Prabowo-Hatta maupun Jokowi-Jusuf Kalla, sama-sama didukung oleh ragam identitas kultural yang sama. Tidak ada satu pasangan capres yang didukung oleh suku, agama, ras, atau kelompok identitas primordial lainnya. Dalam kata lain, orang-orang dalam suku, agama, ras, kelompok identitas ada di kubu Prabowo-Hatta, maupun Jokowi-Jusuf Kalla.

Dengan realitas sosio-politik semacam ini demokrasi selamat. Tak ada kerusuhan di tengah pesta.

Namun di sisi lain, ada fakta lain lagi yang menarik. Kehadiran dua pasangan calon ternyata sempat meregangkan hubungan sosial, di semua level identitas primordial itu. Sempat muncul dikotomi masyarakat dalam bentuk klasifikasi baru, yang bahkan tidak ditemukan dalam analisa sosiologis sebelumnya; Kelompok Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Dikotomi ini muncul bukan semata di kalangan elit, namun juga berdampak hingga ke kalangan bawah.

Namun demikian juga, waktu akhirnya menggugurkan dan mengikis dikotomi yang didasari momentum politik tersebut. Kecuali sebagian kecil, rakyat banyak akhirnya menerima realitas politik. Semua kembali dalam identitas utama, sebagai bangsa Indonesia, bukan lagi KMP dan KIH. Disadari, demokrasi harus ditata bersama, dan disadari juga KMP maupun KIH bukanlah identitas politik yang beku, melainkan menjadi klasifikasi yang menghidupkan demokrasi dalam proses yang disebut dengan checks and balances. Lebih-lebih dipahami, keduanya, KMP maupun KIH, masih dalam satu wadah yang sama, masih dalam cita-cita  yang sama, dalam kehendak yang sama; menjaga dan merawat Indonesia dan keindonesiaan.

Di tingkat elit, identitas KMP dan KIH lebih sering digunakan untuk drama atau pemanis di atas panggung, bahwa KMP dan KIH tetap maujud. Di panggung publik, ke-ada-an KMP dan KIH tetap relavan, selain untuk menjaga konstituen masing-masing, juga untuk mengingatkan bahwa memang tak boleh ada monopoli kuasa. Kekuasaan harus dibagi. Monopoli kuasa yang berada di satu tangan kelompok tertentu, membahayakan demokrasi itu sendiri.

Dan ternyata, realitas di balik panggung lebih manis lagi dan lebih menggembirakan. KMP, yang berkuasa di DPR, justru banyak mendukung rencana pemerintah. Salah satu indikasinya, RAPBN berjalan mulus tanpa hambatan berarti. Tidak ada jegal-menjegal, juga tak ada sabotase UU. Malah bahkan, orang-orang KIH di senayan "lebih galak" kepada para menteri, ketimbang orang-orang KMP sendiri. Suasana begitu cair. Elit, dan juga banyak publik, sudah melupakan identitas KMP dan KIH, dan terus menatap tantangan bersama bangsa untuk dihadapi secara gotong royong.

Hingga akhirnya, suasana ini kembali rusak. Adalah manuver politik Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan yang membuat gaduh dan keadaan menjadi riuh. Zul bisa saja beralasan bahwa langkahnya untuk membantu pemerintah mengatasi persoalan ekonomi yang kian berat.

Namun sebenarnya, langkah Zul ini justru membuka "luka lama" yang sudah mulai dilupakan. "Tembok Berlin" yang telah runtuh, justru kembali dipagari kawat berduri karena sikap Zul yang mau memindahkan rumah. Padahal selama ini, Zul juga sudah bolak-balik melintasi tembok itu tanpa halangan, tanpa kegaduhan. Apalagi kursi empuknya begitu terhormat, yang seharusnya berada di atas atau melampaui wilayah dikotomi ataupun klasifikasi sosial apapun; Ketua MPR.

Luka lama itu kini terlanjur terbuka, dan kembali terasa. Dikotomi KMP dan KIH kembali menjadi wacana yang mengkristal kembali. Zul, sang Ketua MPR itu, mengukuhkan lagi riak-riak konflik, meski dalam batas terendah keributan di media sosial. Sementara realitas politik di tingkat elit, menjadi menghangat, dengan kencenderungan suhu yang kian meningkat.

Kini, masing-masing kelompok kembali memasang kuda-kuda pertarungan. Gelanggang yang sudah ditutup kembali dibuka. Komunikasi yang sudah dibingkai dalam figura kepentingan kebangsaan, mulai retak dan benih-benih kecurigaan kembali muncul di benak masing-masing: siapa lagi yang akan pindah? Siapa lagi yang akan diajak? Mari rapatkan barisan lagi, bangun kembali soliditas! Ternyata ada makar di antara kita… dan kecurigaan-kecurigaan yang lain.

Sementara komunikasi pasca manuver itu, seakrab dan seromantis apapun dipertontonkan, akan dibaca sebagai basa-basi belaka. Publik pun menjadi terbelah lagi dalam peta lama. Zul sejatinya tidak sedang merekatkan tapi sedang meretakkan; memisahkan bukan menghubungkan, memecah-membelah bukan mempersatukan.

Di tingkat analisa dan kajian akademik, adagium bahwa tak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik kembali menyeruak. Ternyata, di balik semua manuver itu hanya kepentingan dan ego masing-masing yang diutamakan. Dalam hal ini, dengan 1001 argumen yang dijejali ke telinga dengan terus menerus selama dua hari penuh, akan dimentahkan oleh satu dua kalimat yang menonjok: pragmatis-oportunis.

Dan bila ini yang menjadi keyakinan publik, Zul, yang lagi-lagi Ketua MPR, yang merupakan salah satu puncak karir di dunia politik, justru sedang membunuh politik itu sendiri. Zul sedang mengajarkan publik, bahwa urusan politik tak selalu harus disertai dengan etik. Paling tidak etika komitmen dan loyalitas.

Tentu saja bila publik benci dengan politik, maka legitimasi demokrasi melalui partisipasi yang rendah sedang diberi jalan yang mulus. Inilah anomali kedua Zul, baik sebagai Ketua MPR maupun sebagai Ketua Umum partai politik.

Kini bisik-bisik di tingkat elit, dan juga perbincangan-perbincangan di publik mulai mengemuka; masih pantaskah Zul duduk di kursi Ketua MPR. [***]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA