Terhambatnya penerapan konsep smart city di ibukota, salah satu penyebabnya adalah akibat masih tingginya pengguÂnaan kawasan yang menyalahi tata ruang, seperti pembangunan rumah dan bangunan liar di kaÂwasan bantaran kali dan waduk.
Salah satu unsur kota dengan konsep ini adalah, memiliki masyarakat yang tertib dan disiÂplin. Menurut pengamat tata kota Nirwono Yoga, terdapat tiga hal yang seharusnya dipenuhi. Yakni efisiensi dalam penggunaan energi, ramah lingkungan, dan penerapan teknologi tepat guna.
Saat ini saja, katanya, pemÂprov masih sulit mewujudkan ruÂang terbuka hijau (RTH) sampai 30 persen. Masih ada pekerjaan yang belum diselesaikan jika melihat RTH sekarang yang baru mencapai 9,8 persen.
Yang tidak kalah penting, lanjut Nirwono, adalah penataan kota yang baik. Selain bertujuan agar Jakarta bebas banjir dan polutan, menurutnya masyarakat harus tangÂgap terhadap bencana. Dengan cara bersedia direlokasi ke tempat yang lebih layak dan tidak berpotensi terkena bencana alam tersebut.
"Sekarang saja di beberapa titik Jakarta, baru hujan sebenÂtar langsung banjir dan macet. Bayangkan kalau hujannya seharian," katanya.
Untuk itu Nirwono menilai, saat ini kesiapan Jakarta dalam mengÂhadapi masalah perkotaan masih harus perlu usaha yang lebih keras. Perlu peningkatan SDM, perangkat teknologi, serta pelakÂsanaan program yang konsisten dan berkelanjutan, agar tujuan penerapan konsep smart city guna memperkuat identitas Jakarta seÂbagai kota modern bisa optimal. "Yang ada, keluhan banyak, tapi di lapangan masih minim tindakan dan respon," tudingnya.
Meski begitu, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengaku optimistis sistem smart city Jakarta akan terus berkembang dan menjawab kebutuhan warga ibukota. BahÂkan ia mengklaim, sistem kota pintar mendapat apresiasi dari konsultan internasional. KonsulÂtan kenamaan dunia, Mike Tensi, kata Ahok, tertarik mempelajari aplikasi pintar DKI yang diniÂlainya lebih canggih dan mendetil dibanding sistem smart city di banyak negara lain.
Ahok menjelaskan, dengan menggunakan sistem smart city di DKI Jakarta yang dapat memantau gerak-gerik pegawai pemda yang terekam
closed-circuit television (CCTV) hanya melalui telepon seluler. Tak banyak pegawai DKI yang tahu kalau aktivitasnya dimonitor.
Menurutnya, seluruh jaringan pada setiap kelurahan di ibu kota sudah terhubung dengan fiber optic, sehingga hampir tidak ada jeda koneksi jika terjadi percakaÂpan melalui
video call. Ahok mengatakan, untuk mengembangkan konsep yang terintegrasi, butuh anggaran dan sumber daya manusia yang tak sedikit. "Karena kita mau membentuk tim analis dan menÂdesain ruangan agar bagus. Saya yakin akan banyak orang yang datang untuk belajar," jawabnya optimis.
Kepala Dinas Komunikasi Informatika dan Kehumasan (Diskominfomas) DKI Jakarta, Iie Karunia menambahkan, saat ini, laporan yang masuk ke aplikasi Cepat Respon Opini Publik (CROP) milik pemprov yang dikirim warga dari aplikasi Qlue, sejauh ini masih didomiÂnasi keluhan-keluhan bersifat provokatif. "Ke depan laporan yang masuk dalam aplikasi Qlue bersifat pembangunan dan kegiatan positif," ucapnya.
Ogah Dibandingin Dengan Kota-kota Lain Soal penerapan konsep smart city, Pemprov DKI enggan dibandingkan dengan kota lain. Menurut Kepala Unit PelakÂsana Teknis (UPT) Smart City Pemprov DKI Jakarta Alberto Ali, setiap kota yang menerapÂkan sistem smart city memiliki karakter masing-masing. Pola dan tingkat keberhasilan pun relatif.
"Tingkat keberhasilan kota cerdas dinilai di enam sektor, yakni pemerintahan, lingkungan, gedung, ekonomi, komunitas, dan rumah," terangnya.
Mungkin kalau Jakarta masih berhasil di tiga sektor, lanjut Alberto, kota lain ada yang dua atau satu. Ia menegaskan, visi kota cerdas Pemprov DKI Jakarta bukanlah untuk mengeÂjar penilaian tersebut. Jakarta, kata dia lagi, bisa disebut kota cerdas bila warganya merasakan pelayanan publik terbaik.
"Selain itu, kalau sudah terÂsambung serat optik ke seluruh rumah dan warga juga mengguÂnakannya dengan cerdas, sistem ini sudah tercapai," ujarnya.
Untuk di Jakarta, sejak dilunÂcurkan pertengahan Desember tahun lalu, laporan dan keluÂhan dari warga Jakarta yang masuk ke aplikasi smart city sudah mencapai ribuan. TerÂdiri dari 159 keluhan banjir, 21 keluhan kebakaran, 1.059 keluhan kemacetan, 1.160 keÂluhan sampah, 1.052 keluhan pelanggaran, 921 keluhan jalan rusak, 117 keluhan pengemis, 844 keluhan pedagang kaki lima (PKL), 44 keluhan kriminalitas, 430 keluhan penerangan jalan umum (PJU) yang rusak, 180 keluhan pohon tumbang, dan 591 keluhan fasilitas umum.
Hingga Mei 2015 ini, jumlah laporan yang diterima aparat Pemprov DKI dari aplikasi Qlue mencapai puluhan ribu. Laporan itu sebagian besar berisi keluhan masyarakat terhadap kondisi ibukota.
Ia mengatakan, sementara ini personel yang diwajibkan menÂgunduh aplikasi Cepat Respon Opini Publik (CROP) terdiri dari petugas Satuan Polisi PaÂmong Praja (Satpol PP), Dinas Perhubungan dan Transportasi (Dishubtrans) DKI, lurah, dan para camat. Ke depan, para pekerja harian lepas (PHL) di masing-masing dinas diharapÂkan bisa ikut pula mengunduh aplikasi tersebut.
Ke depan, katanya, PHL juga mengunduh aplikasi CROP. Karena yang bekerja di lapangan itu sebenarnya adalah mereka, bukan lurah dan camat. Tapi hal ini berproses, karena para PHL harus memiliki smart phone terÂlebih dahulu. "Saat ini, aparatur di lapangan yang sudah mengunÂduh aplikasi CROP ada sekitar 500 orang," katanya.
Aplikasi pengaduan seperti Qlue, memang mulai digunakan Pemprov DKI sejak Desember tahun lalu dan digunakan untuk sarana pelaporan warga, mulai dari masalah tumpukan sampah, kemacetan, fasilitas publik, dan lain-lain. Sementara Crop adalah aplikasi yang juga mirip Qlue. ***
BERITA TERKAIT: