Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menikmati Intervensi Asing

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/ichsanuddin-noorsy-5'>ICHSANUDDIN NOORSY</a>
OLEH: ICHSANUDDIN NOORSY
  • Senin, 19 Januari 2015, 16:23 WIB
Menikmati Intervensi Asing
ichsanuddin noorsy/net
AKHIR TAHUN 2014 lalu saya menulis di berbagai media tentang perang harga minyak yang berkaitan dengan upaya AS memulihkan perekonomian domestiknya sambil memukul perekonomian Rusia, Venezuela, dan Iran.

AS juga memberi pelajaran pada RRC agar tunduk pada ketentuan hak cipta intelektual, hak asasi manusia, demokrasi, dan kampanye perubahan iklim global. Hasil sementaranya adalah, AS menjadi penentu pertumbuhan ekonomi dunia.

Sebagai akumulasi perang ekonomi, perang harga minyak ini memberi pelajaran menarik dan penting: dunia yang tanpabatas, perekonomian yang serbaterbuka (liberal), dan hubungan internasional yang multipolar menyajikan peluang sekaligus ancaman, serta menjanjikan keuntungan atau penghisapan lalu berbuah ketimpangan.

Di awal tahun 2015 ini peristiwa eksekusi mati 6 terpidana narkoba juga menceritakan hal itu. Campur tangan kepala negara karena warganya dieksekusi mati memberi pesan seolah hak hidup seseorang adalah segala-galanya walau orang itutelah mengakibatkan kematian 40 orang setiap harinya.

Mereka yang berteriak hak hidup dilarang dicabut begitu saja seakan tidak melihat bahwa peperangan ekonomi dan perang militer, untuk kepentingan ekonomi dan perebutan sumber daya ekonomi, bahkan telah mengakibatkan kematian puluhan ribu orang tidak bersalah.

Dalam dunia yang terbuka dengan prinsip liberalnya, survival of the fittest danthe winner takes all adalah hukumnya. Pembenaran dicari, justifikasi bisa diberikan, dan pembentukan opini sesuai kepentingan dapat dilakukan untuk dan atas nama kemenangan perang menyeluruh dan terpadu.

Di sanalah lahir pembenaran campur tangan suatu negara terhadap negara lain. Tidak peduli negara itu kecil atau besar, mempunyai kekuatan atau biasa saja. Yang terpenting adalah campur tangan untuk dan atas nama kedaulatan negara, kehormatan dan perlindungan warga negaranya.

Campur tangan bahkan dibenarkan jika atas nama demokrasi liberal (menurut paham Barat), hak asasi manusia, dan pembangunan (dalam cara pandang Barat). Sebuah negara boleh diintervensi jika tidak menegakkan salah satu prinsip-prinsip itu. Barat juga boleh melakukan penekanan kalau media massa suatu negara dipandang tidak bebas disebabkan regulasi dan kebijakan negara berdaulat, sebagaimana mereka menekan RRC.

Di balik semua itu adalah soal pilihan sistem nilai suatu negara. Barat dengan segala "keunggulannya" menyatakan bahwa sistem nilainya adalah yang terbaik dan teruji mampu menjalankan tugas-tugas kemanusiaan. Kawasan Asia Timur, terserak walau nampak utuh, memberi jawaban alternatif: ekonomi boleh liberal, tapi politik harus teratur.

Belahan Amerika Latin, seperti Brazil, Venezuela, dan Bolivia berpandangan pentingnya mereka kembali kenilai-nilai yang mereka miliki sendiri tanpa harus menjiplak dan mengekor Barat atau AS.

Sementara Timur Tengah terus menerus konflik karena politik pecah belah dan adu domba. Di kawasan Asia Tenggara, intervensi AS tak terhindarkan sebagaimana media massa di AS sendiri memberitakan dengan alasan-alasan seperti di atas.

Khusus untuk Indonesia dengan latar belakang keterjajahannya, intervensi asing demikian akrabnya. Saking akrabnya, penjajahan dengan segala wajahnya tidak terasa lagi sebagai penjajahan. Inilah yang saya sebut sebagai symbolic torture, kekerasan simbolik dan stockholm syndrome, sindrom Stockholm.

Dengan kekerasan simbolik, orang tidak merasa keberatan bahwa sistem nilai dan cita-citanya telah diubah karena keberhasilan brain wash melalui pendidikan formal atau melalui media apa saja. Dengan keberhasilan itu, walau dirinya menjadi korban, dia tidak merasakan penderitaan.

Lihatlah Indonesia yang kaya secara potensial tapi miskin secara nyata. Bahkan demoralisasi berlangsung di setiap dimensi kehidupan.

Lihatlah AS yang mampu menjadi penentu dunia namun mengidap berbagai penyakit sosial ekonomi yang kronis dan mengakar. Atas nama kebebasan di berbagai dimensi kehidupan, keluarga sebagai atom sosial ternyata tidak lagi mempunyai ketentraman.

Materi telah menyihir kehidupan sehingga tahta dan harta adalah pusat perburuan segenap lapisan masyarakat. Untuk hal ini pula manusia membenarkan pembunuhan jiwa melalui transaksi ekonomi atau politik yang legal atau illegal. Nah, berkat desakan materialism itu manusia berbangga dengan pertahanan diri berbasis suitability standard: yang penting enak dan nyaman untuk dirinya sementara untuk orang lain, never mind.

Kini pilihan sistem itu telah sebagian diadopsi dan diadaptasi melalui amandemen konstitusi, regulasi dan kebijakan pemerintah. Maka, sadarkah kita bahwa hal itu telah bersifat a-historis, bertentangan dengan semangat perjuangan dan kejuangan bangsa, dan konstitusi1945 ?Jika tidak, itu adalah sikap menikmati intervensi dan menjadi wajar dan layak dimengerti kenapa elit politik dan elit ekonomi Indonesia menikmati demokrasi korporasi yang saya tulis 10 tahun lalu. [ysa]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA