Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

CATATAN AKHIR TAHUN

Ekonomi Indonesia Tetap Terjajah

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/ichsanuddin-noorsy-5'>ICHSANUDDIN NOORSY</a>
OLEH: ICHSANUDDIN NOORSY
  • Selasa, 30 Desember 2014, 14:41 WIB
<i>Ekonomi Indonesia Tetap Terjajah</i>
Ichsanuddin Noorsy/net
PADA 14 Januari 2014, di hadapan para bankir menengah atas, saya memprediksi bahwa nilai tukar rupiah akan jatuh ke level Rp 12.000 per dolar AS. Mitra bicara saya dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) terdiam seakan tak percaya, sementara kalangan bankir bertanya apa penyebabnya dan bagaimana dampaknya.

Saya menjawab, AS sedang berjuang keras memenangkan perang ekonomi. Hal ini pernah saya tulis pada tahun 2008 dan 2012. Rujukan saya adalah keras dan tegasnya pernyataan-pernyataan petinggi AS terhadap RRC, Rusia, Brazil, Iran, Venezuela, dan Bolivia. Sedangkan sikap Indonesia justru tetap setia pada arahan kebijakan Bank Dunia, WTO, ADB, Usaid, OECD dan JBIC.

Saya mengerti kenapa Indonesia bersikap begini. Hal ini saya pahami dari sikap Prof. Dr. Boediono saat dikritik oleh pemenang nobel ekonomi Joseph E Stiglitz di Jakarta  saat Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) mengundangnya sekitar 12 tahun lalu. Kritiknya antara lain, pragmatisme ekonomi sebagai saudara kandung mekanisme pasar bebas gagal mencapai tujuan kesejahteraan.

Kritik ini sebenarnya sudah pernah dikemukakan oleh Moh Hatta, Bung Karno dan pendiri republik lainnya yang memilih sikap bahwa Indonesia mengambil jalan tengah. Maksudnya, Indonesia tidak mengikuti jejak kapitalisme Barat atau Sosialisme RRC atau Rusia.

Bahkan pendiri republik menolak Indonesia sepenuhnya menjadi negara agama. Para pejuang republik itu bersikap, Indonesia mengakui teokrasi bersinerji dengan demokrasi model Indonesia (pemilihan langsung dan tidak langsung).

Betapa cerdas dan bijaksananya mereka. Materialisme dipadu dengan spiritualisme tanpa kehilangan kemampuan merasakan penderitaan batin rakyat pada umumnya. Mereka bertekad bulat membangun Indonesia bermartabat tanpa harus mengekor pemikiran Barat. Sikap bebas aktif dan damai adalah pilihan outward looking dengan menjadikan anak bangsa di segenap lapisan memiliki harkat berdaulat sebagai inward looking.

Kini tekad dan semangat membaja itu cair seiring dengan kampanye globalisme sebagai kata ganti internasionalisme. Dalam sejarah pergumulan pemikiran Indonesia sejak Sarikat Dagang Islam bersatu di pasar Klewer Solo pada 1905 hingga hari ini, hal itu menggambarkan konflik berkepanjangan antara kaum internasionalis yang rata-rata memperoleh pendidikan dengan kurikulum Barat berhadapan dengan kaum nasionalis yang terpecah dua: nasionalis pragmatis dan nasionalis muslim.

Peta sosial ekonomi politik seperti ini memberi pesan kepada Barat: Indonesia bisa kembali dijajah melalui dunia pendidikan yang berkiblat ke Barat,  kebebasan beroperasi perusahaan asing dan investasi asing serta terkooptasinya kaum elit. Pesan ini diterima baik oleh Barat seperti terbukti pada dokumen-dokumen hibah, utang luar negeri dan perjanjian-perjanjian ekonomi politik bilateral dan multilateral.

Maka adalah ironi saat menyaksikan pemimpin Indonesia menebar kosmetik nasionalisme tapi bertindak ahistoris, tidak sesuai dengan semangat kejuangan dan perjuangan pendiri republik serta menjadikan konstitusi 1945 sebagai retorika politik. Sesekali bahkan dikatakan sebagai kuno.

Situasi dan kondisilah yang mengajarkan para elit politik Indonesia era modern bagaimana harus beretorika dan bersikap. Hal utama dan pertama adalah berkuasa. Kaum intelektual Barat, RRC bahkan Jepang dan Korea Selatan menakar kaum elit ini tak lebih sebagai kalangan pragmatis oportunis.

Dalam situasi panggung globalisme sarat dengan peperangan ekonomi politik, saya diminta berbagai institusi keuangan dan perbankan menyampaikan outlook ekonomi 2015.

Menurut saya, keakuratan membaca medan peperangan ekokomi global dan mengetahui situasi aktual serta memahami ke mana arah "perdamaian" semu peperangan ekonomi-politik ini adalah modal dasar melangkah ke depan.

Tapi kondisi sosial politik internal yang zero sum game, saling mendelegitimasi dan transaksional membuat modal dasar sosial bangsa luluh lantak. Posisi ini mengakibatkan basis pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap berpijak pada kekuatan konsumsi swasta dan rumah tangga.

Keinginan Pemerintah mengubah orientasi kebijakan dari demand side (rejim perijinan) menjadi kebijakan pemasok kebutuhan masyarakat (supply side) seperti yang diungkap Jokowi pada saat menaikkan harga BBM, tidak sama dengan upaya Indonesia membangun kembali fundamental ekonomi Indonesia yang rapuh disebabkan liberalisasi era SBY.

Namun menyalahkan SBY pun sama dengan konsep dan pemikiran kampanye yang ditawarkan pada Pilpres 2014 kemarin sebagai gincu politik dan berstandar ganda: bagus karena kebijakan pemerintah sekarang, jelek akibat pemerintahan sebelumnya. Bukan hanya tidak mau menanggung risiko, sikap itupun menunjukkan panggung politik yang miskin kreativitas dan miskin kearifan.

Melihat situasi seperti itu saya mengorek potensi investasi, produksi dan konsumsi yang ada. Berpijak pada struktur ekonomi politik Indonesia seperti di atas, saya memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,4 persen dengan plus-minus 0,2 persen. Potensi ini tetap dihantui oleh ketimpangan ekonomi yang stagnan 0,43 dengan kecenderungan meningkat.

Masalah utamanya tidak bergeser seperti kritik Bung Karno pada 1955, 1956, 1958 dan 1965 yang berbuah dijatuhkannya yang bersangkutan: situasi dan kondisi ekonomi politik yang didominasi asing.

Saya kira dengan berbekal pengetahuan dan pengalaman saya yang minim, Jokowi-JK tidak mengubahnya secara fundamental. Ekonomi Indonesia tetap terjajah dan kemerdekaan ekonomi belumlah menjadi milik semua lapisan masyarakat. [***]

Dr Ichsanuddin Noorsy adalah pengamat ekonomi-politik dan kebijakan publik

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA