Terbukti, beberapa kader neoliberalisme masuk, atau sengaja dimasukkan, ke dalam Kabinet Kerja. Mereka selamat dari perhatian dan kritik publik karena menutupi mukanya dengan kedok profesionalisme.
Di saat yang sama, publik sudah terlanjur kesal, atau sengaja dicipatakan untuk kesal, kepada tokoh-tokoh partai politik. Maka logika sesat over-generalisasi diam-diam merasuk ke pikiran banyak orang, lalu menyimpulkan: semua politisi itu busuk, cacat, tak profesional dan sarat kepentingan.
Padahal faktanya, tak sedikit politisi yang profesional dan punya kapasitas. Dan banyak juga, manusia-manusia berkedok profesionalisme itu sejatinya adalah kader-kader yang dididik untuk menghamba pada kepentingan asing, dan penuh dengan ragam kepentingan. Bahkan kepentingan itu adalah untuk melindas tujuan Kemerdekaan Republik.
Sehingga, dari sisi ini, bisa dibaca dengan jelas, dikotomi profesional dan kader partai, hanyalah senjata ampuh sementara kaum neoliberal untuk menghabisi politisi ideologis yang punya komitmen kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi. Di saat yang sama, mereka menawarkan orang-orang yang dinilai profesional, yang terlanjur dipercaya hebat dan mumpuni itu, untuk mengeruk dan menghisap habis semua sumber kekayaan alam Indonesia.
Belakangan, ada beberapa sosok menteri yang disebut-sebut sebagai aktivis anti-korupsi dan bebas dari pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Banyak orang terbius, lalu melupakan jejak langkah di masa lalunya.
Padahal perlu juga dicatat, selain kata sakti profesionalisme, kaum neoliberal dan kapitalisme global juga sering menggunakan isu korupsi dan pelanggaran HAM untuk menyudutkan dan menghabisi kekuatan lama di satu negara, terutama di negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang itu, yang sudah terlanjur terlalu lama hidup dalam otoriterianisme dan diktatorisme, memang selalu terlilit dengan persoalan korupsi dan pelanggaran HAM.
Di tengah sistem yang otoriter, atau di saat masa-masa transisi demokrasi, dua persoalan ini, yang bahkan sudah jadi jeratan sistem, juga belum bisa dipotong habis oleh kelompok nasionalis atau para politisi yang selama ini dibungkam. Bahkan, dengan sistem buruk itu, tak mustahil memang para politisi yang punya komitmen menegakkan kamandirian dan kedaulatan bangsa itu juga "kecipratan" dua persoalan ini.
Dengan kondisi ini, masuklah kader-kader kelompok neolib internasional, yang terlihat memakai jubah putih tanpa noda korupsi dan pelanggaran HAM. Mereka lalu menghancurkan kubu nasionalis, di tengah publik yang tidak lagi terlalu peduli dengan ancaman besar yang sedang merongrong, karena memang penjajahan bukan lagi penguasaan tanah sebagaimana imperialisme di masa purba atau kolonialisme di abad yang lalu. Neolib berubah bentuk jadi mafioso-mafioso yang sangat samar dan seakan tak nyata.
Padahal bila dilihat secara lebih dekat, justru para mafia neolib inilah yang korup dan melanggar HAM. Namun sekali lagi, korupsi mereka bukan menjarah satu dua tiga miliar rupiah, melainkan korupsi dalam bentuk kebijakan sehingga negara harus "ikhlas" kehilangan ratusan bahkan ribuan triliun dalam sekian tahun. Kisah korupsi kebijakan ini, tanpa berita atau drama di KPK.
Mafia neolib ini memang tidak membunuh satu dua orang, tapi secara tak langsung, dengan kebijakan juga, membunuh jutaan orang yang kelaparan atau tersingkir mati setelah lama jadi pengemis dan pengangguran. Kisah kematian ini, tanpa berita atau panggung di corong-corong HAM internasional.
Siapakah menteri-menteri neolib itu? Jejak rekam dan lingkungan-jaringan mereka di masa silam atau kebijakan mereka di masa mendatang, suatu saat, tak lagi bisa menutupi kedok profesionalisme, anti-korupsi maupun bebas pelanggaran HAM.
[ysa]
BERITA TERKAIT: