Dituntut 4 Tahun, Eks Bos Surveyor Pelototin Jaksa

Kasus Pemetaan Pendidikan Rugikan Negara Rp 116 Miliar

Jumat, 19 September 2014, 08:30 WIB
Dituntut 4 Tahun, Eks Bos Surveyor Pelototin Jaksa
ilustrasi
rmol news logo Jaksa menuntut hukuman empat tahun penjara untuk Fahmi Sadiq, terdakwa kasus korupsi proyek penelitian, pengembangan,  pemetaan, dan pendataan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Bekas Direktur Utama PT Sur­veyor Indonesia (SI) Fahmi Sadiq terus memelototin jaksa penuntut umum (JPU). Dia tampak amat serius mencermati tuntutan hu­ku­man yang dibacakan jaksa di Pe­nga­dian Tipikor Jakarta, kemarin.

Dalam berkas tuntutan yang di­bacakan jaksa secara bergantian, disebutkan, pimpinan PT SI itu ber­tanggung jawab atas pe­lak­sa­naan proyek penelitian, peme­ta­an, dan pendataan di Ke­men­dik­bud Tahun Anggaran 2011-2012 yang menelan anggaran Rp 135 miliar.

“Berdasarkan bukti-bukti dan keterangan saksi-saksi, terdakwa Fahmi Sadiq terbukti secara ber­sama-sama dengan terdakwa lainn­ya, melakukan tindakan me­­la­wan hukum,” kata jaksa Elly Supaini.

Fahmi melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 Undang Undang (UU) No­mor 20 Tahun 2001 tentang Tin­dak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, juncto Pasal 64 KUHP.

Atas pelanggaran pasal-pasal tersebut, Elly memohon agar ma­jelis hakim mengabulkan tun­tu­tan hukuman empat tahun pen­ja­ra dan denda Rp 500 ribu. Tun­tu­tan hukuman tersebut lebih ren­dah dibandingkan tuntutan untuk empat terdakwa lainnya.

Empat terdakwa lainnya adalah Suhenda selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dituntut huku­man enam tahun penjara, Effendy Hutagalung selaku Panitia Pe­me­riksa dan Penerima Barang di­tun­tut lima tahun penjara, Yogi Par­yana selaku Manager Proyek PT SI dituntut tujuh tahun penjara, dan Mirma Fajarwati Malik, Di­rektur Operasi PT SI dituntut lima tahun penjara. Tapi, semua terdakwa diwajibkan membayar denda Rp 500 ribu.

Tuntutan hukuman yang ber­beda-beda itu, menurut Elly, di­lakukan mengingat tindakan yang dilakukan masing-masing terdakwa berbeda-beda.

Elly pun menyatakan, dalam menyusun berkas tuntutan, jaksa juga mempertimbangkan hal yang meringankan. Aspek ter­sebut dikedepankan karena ter­dakwa selama ini, dinilai koo­peratif menjalani penyidikan dan persidangan.

Dia menepis anggapan bahwa rendahnya tuntutan didasari ba­nyaknya barang bukti berupa do­ku­men kasus ini yang masih  di­pakai penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta untuk men­dalami keterlibatan pihak lain­­nya. “Tuntutan ini sudah di­per­tim­bangkan. Disusun ber­da­sar­kan bukti-bukti yang ada,” ucap­nya seusai sidang.

Menanggapi tuntutan hukuman tersebut, Fahmi Sadiq me­nya­takan akan menyampaikan pledoi pada sidang pekan depan. “Saya akan mengajukan pembelaan diri,” cetusnya.

Kasus dugaan korupsi proyek pe­nelitian dan pengembangan pen­didikan dan kegiatan peme­ta­an pendataan pendidikan di Pusat Data dan Statistik Kemendikbud me­rembet ke kepolisian.

Direktur Operasi PT SI Bam­bang Isworo yang pernah di­pe­riksa Bareskrim Polri, Kamis (10/4) lalu menyebutkan, pihak pe­ru­sahaan telah mengeluarkan uang sebesar Rp 55 miliar.

Pengeluaran uang ditujukan untuk mengembalikan kerugian negara atas pelaksanaan proyek pemetaan sekolah tahun 2010-2011 di Kemendikbud yang di­lakukan PT SI.

Namun upaya tersebut, bela­ka­ngan menuai protes. Ketua Se­rikat Pegawai PT Surveyor In­donesia (SPASI), Irman Bu­s­taman melaporkan hal tersebut ke Mabes Polri. “Pengeluaran uang itu dianggap tidak memenuhi prosedur yang berlaku di lingkungan Ke­men­terian  BU­MN,” ucapnya.

Dia menyebut, yang menjadi ma­salah yakni pengeluaran uang perusahaan yangh hanya ditandatangani Direktur Bambang Isworo. Padahal, setiap pengeluaran perusahaan mesti ditandatangani minimal dua direktur.

Sementara itu, Kepala Ke­jak­sa­an Tinggi (Kajati) DKI M Adi Toegarisman tidak bersedia me­ngomentari tuntutan JPU ter­ha­dap terdakwa Fahmi Sadiq. “Itu menjadi kewenangan jaksa yang menangani kasus tersebut,” ucapnya.

Yang jelas, sambung Adi, pi­hak­nya masih berupaya untuk me­nyelesaikan kasus ini. Dia bi­lang, dari rangkaian proses per­si­dangan, pihaknya mendapatkan fakta-fakta yang dikombinasikan de­ngan temuan di lapangan. Hasilnya, ada beberapa pihak yang bisa dijadikan tersangka.

“Saya putuskan, kita kem­bang­kan penanganan kasus ini dengan menetapkan sembilan tersangka lagi. Jadi, totalnya ada 14 orang yang kita tetapkan sebagai ter­sangka kasus ini,” urai bekas Di­rektur Penyidikan Pidana Khu­sus Kejagung ini.

Kilas Balik
Pekerjaan Belum Kelar Semuanya, Tapi Kok Disuruh Bayar 100 Persen


Kepala Kejaksaan Tinggi (Ka­jati) DKI Jakarta M Adi Toe­ga­ris­man optimistis, pemberkasan per­kara sembilan tersangka baru kasus ini, bakal berjalan lancar. Keya­ki­nan­nya itu dilatari duku­ngan berupa fakta-fakta persidangan.

Dia pun memaparkan, bagai­mana peranan para tersangka itu. Menurutnya, tersangka bekas Ke­pala Balitbang Kemendikbud, Mansyur Ramli berperan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) tahun anggaran 2010. Mansyur menandatangi dokumen kontrak dengan pemenang tender, PT Sur­veyor Indonesia (SI).

Di kontrak tersebut tertulis, pekerjaan yang harus dikerjakan oleh penyedia jasa berupa data base, hanya dapat diterima jika data sudah selesai 100 persen. Na­mun, Mansyur disangka se­ngaja alias membiarkan panitia pe­nerima dan pemeriksaan ba­rang menerima data base dalam keadaan data belum belum beres 100 persen.

Mansyur, menurut Adi, me­nandatangani Berita Acara Serah Terima Barang yang menyatakan pekerjaan selesai sesuai kontrak. “Menyetujui pelunasan pembayaran 100 persen atas nilai kontrak, meskipun pekerjaan belum selesai 100 per­sen,” ujarnya.

Seharusnya sebagai KPA, Man­syur membuat surat pernyataan tertulis lebih dulu. Pernyataan itu berisi keterangan bahwa pe­nye­dia jasa telah melanggar pe­r­jan­jian, dan meminta kepada Kepala Pusat Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta III untuk me­la­ku­kan klaim bank garansi.

“Kan pihak penyedia jasa tidak dapat menyelesaikan pekerjaaan sesuai dengan batas akhir pelak­sanaan kontrak,” tandas Adi.

Lebih parah lagi, tuturnya, Man­syur disangka aktif men­ce­gah klaim bank garansi, dengan cara merekayasa surat pembe­ri­tahuan dan pernyataan wan­pres­tasi ke­pada KPPN Jakarta III yang di­ser­tai dengan lampiran pe­nyelesaian pekerjaan tidak se­suai dengan pro­gres pekerjaan se­sungguhnya.

Dalam lampiran dinyatakan, pekerjaan telah mencapai 96,7 per­sen, tetapi berdasarkan pe­nye­li­dikan, pekerjaan secara riil ter­nyata baru mencapai database 40,99 persen, titik foto 9,47 per­sen, database terinstall di tingkat kabupaten/kota 0 persen.

Kejati DKI juga menetapkan Ke­pala Pusat Data dan Statistik Pendidikan (PDSP) Kemen­dik­bud Abdul Ghofar sebagai ter­sang­ka. Abdul disangka mengarahkan dan melakukan pembiaran pene­tapan PT SI sebagai pemenang seleksi umum tahun anggaran (TA) 2011, meskipun mengetahui PT SI tidak menyelesaikan pe­kerjaan yang sama pada TA 2010 sampai dengan diadakan seleksi umum 2011.

“Dia mengetahui bahwa se­leksi umum yang disel­eng­ga­ra­kan tidak mengindahkan pe­ra­tu­ran yang berlaku, dan menyetujui pelunasan pembayaran, meski me­ngetahui pekerjaan belum selesai 100 persen,”  timpal Ke­pala Seksi Penerangan Umum (Ka­sipenkum) Kejati DKI Waluyo.

Mendikbud M Nuh meng­ap­resiasi upaya kejaksaan me­nun­taskan kasus tersebut. Bekas Menkominfo itu menyatakan, pi­haknya terbuka, serta siap mem­bantu penyidik menuntaskan per­kara korupsi ini.

Dia pun meluruskan informasi yang berkembang terkait jabatan tersangka Mansyur Romli. Kata dia, saat ini Mansyur sudah tidak lagi mengemban tugas di Ke­men­dikbud. “Beliau sudah selesai dari Kemendikbud. Beliau dosen di UMI Makassar,” ucapnya.

Dengan kata lain, Mansyur adalah PNS yang diperbantukan. Sekalipun demikian, dia ber­pe­n­dapat, kasus hukum tidak bisa serta merta selesai. Apalagi, se­lesai hanya lantaran tersangkanya sudah berpindah tugas.

Tuntutan Denda Kecil, Apa Motivasi Jaksa Sebenarnya
Poltak Agustinus, Ketua PBHI

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Pol­tak Agustinus Sinaga ber­pen­dapat, tuntutan hukuman denda yang jumlahnya sangat kecil, bisa memunculkan kecurigaan.

Apalagi di sini, kasus ko­rup­sinya nominalnya sangat besar. “Bagaimana mungkin nominal dendanya sekecil itu. Sangat jauh dibandingkan dengan ang­ka ke­ru­gian negaranya,” ujarnya.

Kecenderungan menuntut hu­kuman denda ringan ini, ber­tolak belakang dengan upaya memiskinkan terpidana kasus korupsi, ataupun membuat jera para pelaku korupsi. Oleh sebab itu, dia mempertanyakan, apa mo­tivasi atau pertimbangan jak­sa penuntut dalam kasus ini.

“Apakah sudah ada pengem­balian kerugian negara, pe­nyi­taan aset-aset tersangka, atau langkah hukum apa,” tanyanya.

Hal tersebut seyogyanya di­be­rikan penjelasan secara gam­blang agar masyarakat tidak ber­tanya-tanya.

Jika sudah ada pengembalian ke­rugian keuangan negara, lan­jutnya, kemana dan kapan uang tersebut diserahkan, bera­pa no­mi­nalnya, semestinya harus di­sam­paikan saat pembacaan tuntutan.

Begitu pula halnya dengan upa­ya-upaya penyitaan aset ter­sangka, perlu disampaikan se­cara transparan. “Jangan sampai disembunyikan karena urusan pe­ngembalian kerugian ke­uangan negara ini, menjadi hal yang sangat krusial dalam pe­ngu­sutan kasus korupsi.”

Dia khawatir, jika penuntut umum mengabaikan hukuman denda maupun unsur kewajiban menyetor uang pengganti, para terpidana perkara korupsi bisa tetap menikmati hasil tindak pidananya.

Jika kelak mereka bebas dari penjara, uang hasil korupsinya bisa jadi masih utuh, atau bisa jadi pula sudah berbunga lanta­ran disimpan di bank.

Hasil Penyidikan Jangan Mudah Patah Di Sidang

Daday Hudaya, Anggota Komisi III DPR

Poltisi Partai Demokrat Da­day Hudaya meminta kejak­sa­an lebih optimal dalam me­ngu­sut per­kara ini. Hal itu di­tu­ju­kan agar penuntutan kepada para ter­dak­wa bisa dilakukan se­cara mak­simal. “Saya meng­­ap­resiasi ke­jaksaan yang me­netapkan sem­bilan tersangka baru,”  timpal dia.

Apalagi, tersangka baru itu berasal dari elit atau petinggi ke­­menterian yang diduga me­ngetahui, bahkan terlibat per­kara secara langsung.

Artinya, sambung dia, kerja keras penyidik dalam mene­lu­suri siapa otak di balik kasus ini perlu disikapi lebih serius. Ja­ngan sampai nantinya,  ke­ma­juan-kemajuan dalam proses penyidikan ini mudah dipa­tah­kan di persidangan.

“Apalagi hanya dituntut hu­kuman ringan seperti yang terjadi pada penuntutan ter­dak­wa dari PT Surveyor Ind­o­ne­sia,” tuturnya.

Dia menambahkan, rang­kai­an penetapan status tersangka, pe­nyidikan hingga pem­be­r­ka­san perkara ini awalnya sudah cukup menunjukkan kemajuan berarti.

Agak jarang penyidik sekelas kejati berani menetapkan status tersangka pada pejabat eselon satu di sebuah  kementerian. Na­mun anehnya, lanjut  dia, ke­napa pada bagian akhirnya alias pada ta­hap penuntutan, bekas Dirut PT SI Fahmi Sadiq hanya di­tu­n­tut empat tahun penjara, se­men­tara terdakwa lainnya lebih berat.

Dia mengharapkan, capaian positif sedari awal hendaknya dipertahankan. Jangan sampai sebalik­nya.

“Salah satu upaya elegan itu ialah  menuntut terdakwa de­ngan hukuman yang berat. Se­bab, apapun alasannya, kalau tun­tutannya ringan, terdakwa bisa diputus bebas oleh hakim. Ini sangat bahaya.”

Yang paling penting, saran dia, alur penyelidikan, pe­nyi­dikan, dan penuntutan yang di­jalankan jaksa, hendaknya ber­jalan ber­iringan alias tidak sa­ling berto­lak belakang. Se­hing­ga, tidak men­ciptakan pe­luang bagi ter­dakwa untuk mudah lolos dari ancaman huk­uman. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA