Bekas Direktur Utama PT SurÂveyor Indonesia (SI) Fahmi Sadiq terus memelototin jaksa penuntut umum (JPU). Dia tampak amat serius mencermati tuntutan huÂkuÂman yang dibacakan jaksa di PeÂngaÂdian Tipikor Jakarta, kemarin.
Dalam berkas tuntutan yang diÂbacakan jaksa secara bergantian, disebutkan, pimpinan PT SI itu berÂtanggung jawab atas peÂlakÂsaÂnaan proyek penelitian, pemeÂtaÂan, dan pendataan di KeÂmenÂdikÂbud Tahun Anggaran 2011-2012 yang menelan anggaran Rp 135 miliar.
“Berdasarkan bukti-bukti dan keterangan saksi-saksi, terdakwa Fahmi Sadiq terbukti secara berÂsama-sama dengan terdakwa lainnÂya, melakukan tindakan meÂÂlaÂwan hukum,†kata jaksa Elly Supaini.
Fahmi melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 Undang Undang (UU) NoÂmor 20 Tahun 2001 tentang TinÂdak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, juncto Pasal 64 KUHP.
Atas pelanggaran pasal-pasal tersebut, Elly memohon agar maÂjelis hakim mengabulkan tunÂtuÂtan hukuman empat tahun penÂjaÂra dan denda Rp 500 ribu. TunÂtuÂtan hukuman tersebut lebih renÂdah dibandingkan tuntutan untuk empat terdakwa lainnya.
Empat terdakwa lainnya adalah Suhenda selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dituntut hukuÂman enam tahun penjara, Effendy Hutagalung selaku Panitia PeÂmeÂriksa dan Penerima Barang diÂtunÂtut lima tahun penjara, Yogi ParÂyana selaku Manager Proyek PT SI dituntut tujuh tahun penjara, dan Mirma Fajarwati Malik, DiÂrektur Operasi PT SI dituntut lima tahun penjara. Tapi, semua terdakwa diwajibkan membayar denda Rp 500 ribu.
Tuntutan hukuman yang berÂbeda-beda itu, menurut Elly, diÂlakukan mengingat tindakan yang dilakukan masing-masing terdakwa berbeda-beda.
Elly pun menyatakan, dalam menyusun berkas tuntutan, jaksa juga mempertimbangkan hal yang meringankan. Aspek terÂsebut dikedepankan karena terÂdakwa selama ini, dinilai kooÂperatif menjalani penyidikan dan persidangan.
Dia menepis anggapan bahwa rendahnya tuntutan didasari baÂnyaknya barang bukti berupa doÂkuÂmen kasus ini yang masih diÂpakai penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta untuk menÂdalami keterlibatan pihak lainÂÂnya. “Tuntutan ini sudah diÂperÂtimÂbangkan. Disusun berÂdaÂsarÂkan bukti-bukti yang ada,†ucapÂnya seusai sidang.
Menanggapi tuntutan hukuman tersebut, Fahmi Sadiq meÂnyaÂtakan akan menyampaikan pledoi pada sidang pekan depan. “Saya akan mengajukan pembelaan diri,†cetusnya.
Kasus dugaan korupsi proyek peÂnelitian dan pengembangan penÂdidikan dan kegiatan pemeÂtaÂan pendataan pendidikan di Pusat Data dan Statistik Kemendikbud meÂrembet ke kepolisian.
Direktur Operasi PT SI BamÂbang Isworo yang pernah diÂpeÂriksa Bareskrim Polri, Kamis (10/4) lalu menyebutkan, pihak peÂruÂsahaan telah mengeluarkan uang sebesar Rp 55 miliar.
Pengeluaran uang ditujukan untuk mengembalikan kerugian negara atas pelaksanaan proyek pemetaan sekolah tahun 2010-2011 di Kemendikbud yang diÂlakukan PT SI.
Namun upaya tersebut, belaÂkaÂngan menuai protes. Ketua SeÂrikat Pegawai PT Surveyor InÂdonesia (SPASI), Irman BuÂsÂtaman melaporkan hal tersebut ke Mabes Polri. “Pengeluaran uang itu dianggap tidak memenuhi prosedur yang berlaku di lingkungan KeÂmenÂterian BUÂMN,†ucapnya.
Dia menyebut, yang menjadi maÂsalah yakni pengeluaran uang perusahaan yangh hanya ditandatangani Direktur Bambang Isworo. Padahal, setiap pengeluaran perusahaan mesti ditandatangani minimal dua direktur.
Sementara itu, Kepala KeÂjakÂsaÂan Tinggi (Kajati) DKI M Adi Toegarisman tidak bersedia meÂngomentari tuntutan JPU terÂhaÂdap terdakwa Fahmi Sadiq. “Itu menjadi kewenangan jaksa yang menangani kasus tersebut,†ucapnya.
Yang jelas, sambung Adi, piÂhakÂnya masih berupaya untuk meÂnyelesaikan kasus ini. Dia biÂlang, dari rangkaian proses perÂsiÂdangan, pihaknya mendapatkan fakta-fakta yang dikombinasikan deÂngan temuan di lapangan. Hasilnya, ada beberapa pihak yang bisa dijadikan tersangka.
“Saya putuskan, kita kemÂbangÂkan penanganan kasus ini dengan menetapkan sembilan tersangka lagi. Jadi, totalnya ada 14 orang yang kita tetapkan sebagai terÂsangka kasus ini,†urai bekas DiÂrektur Penyidikan Pidana KhuÂsus Kejagung ini.
Kilas Balik
Pekerjaan Belum Kelar Semuanya, Tapi Kok Disuruh Bayar 100 PersenKepala Kejaksaan Tinggi (KaÂjati) DKI Jakarta M Adi ToeÂgaÂrisÂman optimistis, pemberkasan perÂkara sembilan tersangka baru kasus ini, bakal berjalan lancar. KeyaÂkiÂnanÂnya itu dilatari dukuÂngan berupa fakta-fakta persidangan.
Dia pun memaparkan, bagaiÂmana peranan para tersangka itu. Menurutnya, tersangka bekas KeÂpala Balitbang Kemendikbud, Mansyur Ramli berperan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) tahun anggaran 2010. Mansyur menandatangi dokumen kontrak dengan pemenang tender, PT SurÂveyor Indonesia (SI).
Di kontrak tersebut tertulis, pekerjaan yang harus dikerjakan oleh penyedia jasa berupa data base, hanya dapat diterima jika data sudah selesai 100 persen. NaÂmun, Mansyur disangka seÂngaja alias membiarkan panitia peÂnerima dan pemeriksaan baÂrang menerima data base dalam keadaan data belum belum beres 100 persen.
Mansyur, menurut Adi, meÂnandatangani Berita Acara Serah Terima Barang yang menyatakan pekerjaan selesai sesuai kontrak. “Menyetujui pelunasan pembayaran 100 persen atas nilai kontrak, meskipun pekerjaan belum selesai 100 perÂsen,†ujarnya.
Seharusnya sebagai KPA, ManÂsyur membuat surat pernyataan tertulis lebih dulu. Pernyataan itu berisi keterangan bahwa peÂnyeÂdia jasa telah melanggar peÂrÂjanÂjian, dan meminta kepada Kepala Pusat Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta III untuk meÂlaÂkuÂkan klaim bank garansi.
“Kan pihak penyedia jasa tidak dapat menyelesaikan pekerjaaan sesuai dengan batas akhir pelakÂsanaan kontrak,†tandas Adi.
Lebih parah lagi, tuturnya, ManÂsyur disangka aktif menÂceÂgah klaim bank garansi, dengan cara merekayasa surat pembeÂriÂtahuan dan pernyataan wanÂpresÂtasi keÂpada KPPN Jakarta III yang diÂserÂtai dengan lampiran peÂnyelesaian pekerjaan tidak seÂsuai dengan proÂgres pekerjaan seÂsungguhnya.
Dalam lampiran dinyatakan, pekerjaan telah mencapai 96,7 perÂsen, tetapi berdasarkan peÂnyeÂliÂdikan, pekerjaan secara riil terÂnyata baru mencapai database 40,99 persen, titik foto 9,47 perÂsen, database terinstall di tingkat kabupaten/kota 0 persen.
Kejati DKI juga menetapkan KeÂpala Pusat Data dan Statistik Pendidikan (PDSP) KemenÂdikÂbud Abdul Ghofar sebagai terÂsangÂka. Abdul disangka mengarahkan dan melakukan pembiaran peneÂtapan PT SI sebagai pemenang seleksi umum tahun anggaran (TA) 2011, meskipun mengetahui PT SI tidak menyelesaikan peÂkerjaan yang sama pada TA 2010 sampai dengan diadakan seleksi umum 2011.
“Dia mengetahui bahwa seÂleksi umum yang diselÂengÂgaÂraÂkan tidak mengindahkan peÂraÂtuÂran yang berlaku, dan menyetujui pelunasan pembayaran, meski meÂngetahui pekerjaan belum selesai 100 persen,†timpal KeÂpala Seksi Penerangan Umum (KaÂsipenkum) Kejati DKI Waluyo.
Mendikbud M Nuh mengÂapÂresiasi upaya kejaksaan meÂnunÂtaskan kasus tersebut. Bekas Menkominfo itu menyatakan, piÂhaknya terbuka, serta siap memÂbantu penyidik menuntaskan perÂkara korupsi ini.
Dia pun meluruskan informasi yang berkembang terkait jabatan tersangka Mansyur Romli. Kata dia, saat ini Mansyur sudah tidak lagi mengemban tugas di KeÂmenÂdikbud. “Beliau sudah selesai dari Kemendikbud. Beliau dosen di UMI Makassar,†ucapnya.
Dengan kata lain, Mansyur adalah PNS yang diperbantukan. Sekalipun demikian, dia berÂpeÂnÂdapat, kasus hukum tidak bisa serta merta selesai. Apalagi, seÂlesai hanya lantaran tersangkanya sudah berpindah tugas.
Tuntutan Denda Kecil, Apa Motivasi Jaksa SebenarnyaPoltak Agustinus, Ketua PBHIKetua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) PolÂtak Agustinus Sinaga berÂpenÂdapat, tuntutan hukuman denda yang jumlahnya sangat kecil, bisa memunculkan kecurigaan.
Apalagi di sini, kasus koÂrupÂsinya nominalnya sangat besar. “Bagaimana mungkin nominal dendanya sekecil itu. Sangat jauh dibandingkan dengan angÂka keÂruÂgian negaranya,†ujarnya.
Kecenderungan menuntut huÂkuman denda ringan ini, berÂtolak belakang dengan upaya memiskinkan terpidana kasus korupsi, ataupun membuat jera para pelaku korupsi. Oleh sebab itu, dia mempertanyakan, apa moÂtivasi atau pertimbangan jakÂsa penuntut dalam kasus ini.
“Apakah sudah ada pengemÂbalian kerugian negara, peÂnyiÂtaan aset-aset tersangka, atau langkah hukum apa,†tanyanya.
Hal tersebut seyogyanya diÂbeÂrikan penjelasan secara gamÂblang agar masyarakat tidak berÂtanya-tanya.
Jika sudah ada pengembalian keÂrugian keuangan negara, lanÂjutnya, kemana dan kapan uang tersebut diserahkan, beraÂpa noÂmiÂnalnya, semestinya harus diÂsamÂpaikan saat pembacaan tuntutan.
Begitu pula halnya dengan upaÂya-upaya penyitaan aset terÂsangka, perlu disampaikan seÂcara transparan. “Jangan sampai disembunyikan karena urusan peÂngembalian kerugian keÂuangan negara ini, menjadi hal yang sangat krusial dalam peÂnguÂsutan kasus korupsi.â€
Dia khawatir, jika penuntut umum mengabaikan hukuman denda maupun unsur kewajiban menyetor uang pengganti, para terpidana perkara korupsi bisa tetap menikmati hasil tindak pidananya.
Jika kelak mereka bebas dari penjara, uang hasil korupsinya bisa jadi masih utuh, atau bisa jadi pula sudah berbunga lantaÂran disimpan di bank.
Hasil Penyidikan Jangan Mudah Patah Di SidangDaday Hudaya, Anggota Komisi III DPRPoltisi Partai Demokrat DaÂday Hudaya meminta kejakÂsaÂan lebih optimal dalam meÂnguÂsut perÂkara ini. Hal itu diÂtuÂjuÂkan agar penuntutan kepada para terÂdakÂwa bisa dilakukan seÂcara makÂsimal. “Saya mengÂÂapÂresiasi keÂjaksaan yang meÂnetapkan semÂbilan tersangka baru,†timpal dia.
Apalagi, tersangka baru itu berasal dari elit atau petinggi keÂÂmenterian yang diduga meÂngetahui, bahkan terlibat perÂkara secara langsung.
Artinya, sambung dia, kerja keras penyidik dalam meneÂluÂsuri siapa otak di balik kasus ini perlu disikapi lebih serius. JaÂngan sampai nantinya, keÂmaÂjuan-kemajuan dalam proses penyidikan ini mudah dipaÂtahÂkan di persidangan.
“Apalagi hanya dituntut huÂkuman ringan seperti yang terjadi pada penuntutan terÂdakÂwa dari PT Surveyor IndÂoÂneÂsia,†tuturnya.
Dia menambahkan, rangÂkaiÂan penetapan status tersangka, peÂnyidikan hingga pemÂbeÂrÂkaÂsan perkara ini awalnya sudah cukup menunjukkan kemajuan berarti.
Agak jarang penyidik sekelas kejati berani menetapkan status tersangka pada pejabat eselon satu di sebuah kementerian. NaÂmun anehnya, lanjut dia, keÂnapa pada bagian akhirnya alias pada taÂhap penuntutan, bekas Dirut PT SI Fahmi Sadiq hanya diÂtuÂnÂtut empat tahun penjara, seÂmenÂtara terdakwa lainnya lebih berat.
Dia mengharapkan, capaian positif sedari awal hendaknya dipertahankan. Jangan sampai sebalikÂnya.
“Salah satu upaya elegan itu ialah menuntut terdakwa deÂngan hukuman yang berat. SeÂbab, apapun alasannya, kalau tunÂtutannya ringan, terdakwa bisa diputus bebas oleh hakim. Ini sangat bahaya.â€
Yang paling penting, saran dia, alur penyelidikan, peÂnyiÂdikan, dan penuntutan yang diÂjalankan jaksa, hendaknya berÂjalan berÂiringan alias tidak saÂling bertoÂlak belakang. SeÂhingÂga, tidak menÂciptakan peÂluang bagi terÂdakwa untuk mudah lolos dari ancaman hukÂuman. ***
BERITA TERKAIT: