Staf Khusus Menteri PDT Dicegah Ke Luar Negeri

KPK Periksa Dua Tersangka Kasus Tanggul Laut

Senin, 14 Juli 2014, 10:09 WIB
Staf Khusus Menteri PDT Dicegah Ke Luar Negeri
ilustrasi
rmol news logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memanggil dua tersangka kasus suap proyek tanggul laut (talut) Biak Numfor, Papua.

Mereka adalah Bupati Biak Numfor, Yesaya Sombuk dan Direktur PT Papua Indah Perkasa, Teddy Renyut.

Yesaya tiba lebih dulu di Gedung KPK, pukul 13.40 WIB, Jumat lalu. Dia dijaga dua petugas KPK. Yesaya yang mengenakan rompi tahanan KPK, diam saja saat turun dari mobil tahanan, meski dicecar pertanyaan wartawan.

Begitu juga Teddy Renyut yang tiba 15 menit kemudian. Dia pun bungkam saat ditanya tentang kasusnya. Teddy terus melangkah ke dalam Gedung KPK.

Menurut Juru Bicara KPK Johan Budi, dua tersangka itu diperiksa guna mencari dugaan keterlibatan pelaku lain. “Diperiksa untuk menelusuri pihak lain yang memberi dan menerima suap,” ucap Johan.

KPK menduga, kasus proyek tanggul laut yang merupakan program Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), melibatkan orang dalam kementerian tersebut.

Meski begitu, Johan menyatakan, belum ada kesimpulan keterlibatan pihak PDT dalam kasus ini. KPK, sambung dia, masih mendalami kasus tersebut.

“Kesimpulan terlibat atau tidak, belum ada, masih dikembangkan.
Pengembangan ke arah apakah ada penerima atau pemberi lain,” cetus Johan.

Namun, guna mendalami kasus tersebut, KPK telah meminta Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM menetapkan status cegah ke luar negeri terhadap staf khusus kementerian ini, yakni Sabililah Ardie.

Menurut Johan Budi, langkah ini dilakukan seusai KPK memeriksa sejumlah pihak swasta dan perbankan Papua.

“Guna penyidikan perkara korupsi APBNP tahun 2014 pada Kementerian PDT untuk proyek tanggul laut di Biak dengan tersangka YS, Bupati Biak, KPK telah mengajukan permintaan pencegahan ke luar negeri untuk yang pertama, atas nama Sabillilah Ardie, Staf Khusus Kementerian PDT,” jelas Johan.

Setelah hampir lima jam diperiksa, Yesaya terlihat di lobi KPK. Namun, ketika melangkah keluar pintu, dirinya tetap enggan berkomentar. Hanya lambaian tangan yang diberikannya kepada awak media.

Tak lama berselang, Teddy Renyut menyusul Yesaya keluar dari ruang pemeriksaan. Sama halnya dengan yang dilakukan Yesaya, Teddy pun tak banyak komentar. Dirinya langsung bergegas menuruni anak tangga, dan segera masuk ke dalam mobil tahanan.

Pada 19 Juni lalu, KPK melakukan penggeledahan di kantor Kementerian PDT di beberapa tempat di Jakarta. Yakni, di Gedung ITC Annex Jalan Abdul Muis Nomor 8, di ruko di Jalan Veteran I Nomor 28, dan di Gedung Graha Arda Kavling B 6, lantai 6, Jalan HR Rasuna Said Jakarta.

Salah satunya Ruang Kantor Deputi I Kementerian PDT Suprayoga Hadi. Dari penggeledahan tersebut, KPK menyita sejumlah dokumen.

Johan Budi menyampaikan, petugas KPK menggeledah kantor Kementerian PDT karena proyek pembangunan tanggul laut, berkaitan dengan Kementerian yang dipimpin Helmy Faishal ini.

“Karena itu, penyidik menduga di tempat-tempat yang kita geledah, ada hal-hal yang terkait penyidikan di KPK,” terang Johan.

Ketua KPK Abraham Samad mengatakan, Teddy diduga sebagai pengusaha yang kerap memenangi proyek di salah satu kedeputian Kementerian PDT.

Saat ditanya, apakah Teddy memiliki hubungan baik dengan oknum pejabat di Kementerian PDT, Abraham mengatakan, kemungkinan itu belum terkonfirmasi.

Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan dua tersangka, yakni Bupati Biak Numfor Yesaya Sombuk dan pengusaha konstruksi bernama Teddy Renyut.

Yesaya disangka melanggar Pasal 12 huruf 1 atau b, atau pasal 5 ayat 2 jo pasal 5 ayat 1 huruf a atau b, atau pasal 13 Undang-Undang Nomor 31/1999, sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sedangkan Teddy dijerat pasal 5 ayat 1 huruf a atau b, atau pasal 13 Undang-Undang No 31/1999, sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kilas Balik
Usai Digarap 7 Jam, Deputi Satu Kenalin Tersangka Teddy Renyut


Gara-gara kasus suap proyek tanggul laut di Kabupaten Biak Numfor, Papua, Deputi I Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Suprayoga Hadi, diperiksa KPK pada Selasa (1/7).

Selama hampir 7 jam ia dikorek keterangannya oleh penyidik. Usai diperiksa, Suprayoga mengaku mengenal Direktur PT Papua Indah Perkasa Teddy Renyut, pihak yang disangka menyuap Bupati Biak Numfor Yesaya Sombuk. Bahkan, lanjutnya, pernah kerja bareng bareng bersama Teddy mengerjakan sebuah proyek di Papua.

Selain memeriksa Suprayoga, KPK juga memeriksa Simon, Asisten Deputi Urusan Daerah Rawan Konflik dan Bencana Kementerian PDT. Jubir KPK Johan Budi SP mengatakan, keduanya diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Bupati Biak Numfor Yesaya Sombuk (YS).

Simon tiba di Gedung KPK sekitar pukul 10 pagi. Setengah jam kemudian Suprayoga Hadi datang. Mengenakan batik coklat lengan pendek dengan bawahan hitam, ia datang sendirian. Kacamata bening bertengger di hidungnya. Tak ada komentar yang dilontarkan Suprayoga berkaitan dengan pemeriksaannya. Ia diam terus sambil bergegas ke ruang lobi.

Sekitar pukul 17.15, Suprayoga terlihat di lobi KPK. Kacamatanya sudah dilepas dan ia berjalan bergegas.

Mengenai pemeriksaannya, Suprayoga menjelaskan, ia dicecar soal proses penganggaran APBN-P di Kementerian PDT. Selain itu, ia juga dikonfirmasi mengenai barang-barang yang disita KPK di ruangannya.

“Kalau soal proyek ini saya nggak tahu,” ujarnya.

Selain itu, Suprayoga juga mengaku dicecar penyidik soal hubungannya dengan Teddy Renyut. Dia mengakui memang mengenal Teddy. Bahkan, kata dia, Teddy pernah mengerjakan proyek di Deputi V untuk membangun jalan di Papua.

“Bangun jalan, di Paniai kalau nggak salah. Saya juga tidak terlalu dekat karena proyek yang dikerjakan Teddy tahun lalu dilelang daerah, bukan dilelang pusat,” ucapnya.

Menurut Suprayoga, saat proyek tersebut diajukan, dia sudah pindah menjadi Deputi I, sehingga tidak tahu menahu mengenai proyek tersebut.

“Pindah ke Deputi I sejak Maret kemarin. Saya gak ngerti apa-apa. mestinya Deputi V yang diperiksa,” cetusnya.

Deputi I adalah bidang Pengembangan Sumberdaya. Sebelumnya Suprayoga menjabat sebagai Deputi V, yaitu Deputi Bidang Pembangunan Daerah Khusus.

Di halaman kemenpdt.go.id, Deputi ini membawahi 5 Asisten Deputi, yakni Urusan Daerah Perbatasan, Urusan Daerah Konflik dan Rawan Bencana, Urusan Pedesaan, Urusan Daerah Pulau Terpencil dan Terluar dan Urusan Wilayah Strategis.

Suprayoga mengaku sama sekali tidak tahu menahu kasus tanggul laut, apakah sudah dikerjakan atau masih dalam tahap mengajukan proposal.

“Saya sendiri tahunya dari koran. Kalau mau tahu tanya Asdep. Kan saya diperiksa bersama Asisten Deputi V. Dia harusnya yang lebih tahu,” paparnya.

Diduga Bakal Ada Tersangka Baru Kasus Tanggul Laut

Didi Irawadi Syamsudin, Anggota Komisi III DPR

Politisi Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsudin menduga, akan ada tersangka baru kasus korupsi proyek tanggul laut yang kini baru menjerat Bupati Biak Numfor, Yesaya Sombuk dan Direktur PT Papua Indah Perkasa, Teddy Renyut.

Menurutnya, dugaan keterlibatan pihak Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) semakin jelas. Pasalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menyatakan bahwa proyek tersebut merupakan program Kementerian PDT.

Terlebih lagi, tambahnya, perusahaan Teddy Renyut sebagai pemenang tender, diduga telah mengetahui proyek tersebut saat masih tahap perencanaan. “Itu kan bisa jadi pertanda,” katanya.

Didi juga menyarankan KPK untuk menelusuri, apakah antara Teddy Renyut dengan oknum petinggi Kementerian PDT ada deal tertentu. Sehingga, perusahaan Teddy bisa terpilih sebagai pemenang.

“Orang Kementerian PDT harus terus didalami oleh KPK, karena kan katanya perusahaan Teddy sering dapat proyek dari kementerian tersebut. Jadi, patut diduga antara Teddy dan Kementerian PDT ada hubungan spesial,” tandasnya.

Di sisi lain, terkait wacana pemiskinan koruptor di Indonesia, Didi mengaku setuju. Menurutnya, hukuman badan yang selama ini diterapkan di dalam negeri kurang maksimal, karena meskipun KPK sudah banyak menangkap koruptor masih saja ada pelaku lain yang meniru perbuatan tercela tersebut.

Sehingga, hukuman yang paling tepat selain memenjarakan koruptor adalah dengan merampas hartanya untuk dikembalikan kepada negara.

“Solusi paling tepat itu dimiskinkan atau dirampas hartanya, tapi harta yang disita negara itu harus jelas asal-usulnya. Jangan sampai harta yang bukan hasil korupsi juga ikut disita,” katanya.

Ada Imbalan Bila Anggaran Proyek Sudah Dicairkan
Mudzakir, Pengamat Hukum

Pengamat hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Mudzakir berharap, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serius mengusut tuntas kasus korupsi pengadaan proyek tanggul laut Biak Numfor, Papua.

Dirinya juga meminta agar KPK segera membekuk pelaku lainnya. “Jangan sampai Yesaya Sombuk dan Teddy Renyut hanya dijadikan korban orang-orang besar,” kata Mudzakir, kemarin.

Dosen Fakultas Hukum UII ini menandaskan, fakta-fakta penyidikan terhadap dua tersangka tersebut, menunjukkan dugaan keterlibatan pihak Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT).

Kata dia, dugaan kongkalikong antara pejabat daerah dan pusat dalam kasus ini sudah tercium KPK. Ditengarai, ada oknum petinggi Kementerian PDT masuk pusaran perkara itu, seperti dugaan KPK.

Dalam kasus seperti ini, menurutnya, pihak swasta biasanya sudah lebih dulu mendekati pucuk pimpinan pemerintah daerah. Tujuannya, supaya proyek itu jatuh ke tangan mereka, dengan memberikan imbalan sekian persen dari anggaran yang turun.

Setelah terjadi kesepakatan, pemerintah daerah lantas mengajukan proposal kepada kementerian, lantas diajukan dalam alokasi anggaran kepada DPR.

Supaya proposalnya diterima, pemerintah daerah juga diduga memberikan fulus pelicin. Jika memang akhirnya lolos, maka duit negara pun berhasil dikeruk.

“Proyek yang dijadikan dasar untuk suap menyuap itu adalah pembuatan tanggul. Itu sebabnya kasus ini berkaitan dengan Kementerian PDT. Ini proyek dari Kementerian PDT,” ujar Mudzakir.

Modus seperti ini, menurut Mudzakir, mirip dengan kasus korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Kementerian Kehutanan pada 2007 sampai 2008.

Dalam perkara itu, menurutnya, sama-sama dipakai taktik ijon buat mengikat kesepakatan antara pihak swasta dan pejabat negara dalam pengerjaan sebuah proyek.

“Cara menggangsir duit negara dengan cara ijon proyek adalah cara klasik. Jadi, sudah pasti KPK bisa mengendusnya,” tuntasnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA