"Hal itu terbukti dalam beberapa kali debat capres-cawapres,"jelas Direktur The Indonesian Reform Syahrul Efendi Dasopang, kepada
Rakyat Merdeka Online, pagi ini (Kamis, 26/6).
Misalnya, Jokowi terlihat kaku dan harus melihat catatan yang dia bawa dalam setiap debat. Orang bawa catatan biasanya karena memang tidak manguasai masalah. "Berlainan dengan Prabowo yang terlihat natural dan lentur," sambung Syahrul.
Tapi karena ada kekuatan besar yang mengawal dan mengatur dari belakang layar, maka arus gelombang Jokowi terus saja mendesak persepsi publik. Dia memastikan, kekuatan neo imperialisme lah yang berada di belakang kekuatan Jokowi tersebut.
Alasannya, sosok Jokowi yang lemah dan dangkal cocok dengan kepentingan neo imperialisme dalam rangka menguasai Indonesia. Mereka menginginkan sosok yang lemah dan gemulai untuk memimpin Indonesia yang memiliki sumberdaya alam yang kaya dan pasar yang besar.
"Padahal yang harus diwaspadai ialah neo imperialisme tidak pernah segan mengalirkan darah sesama rakyat demi tujuan imperialismenya tercapai.Kita sudah rasakan pada tahun 1965, yang hasilnya antara lain Freeport dikuasai hingga hari ini dan kemandirian industri kita susah diraih," demikian mantan Ketua Umum PB HMI MPO ini.
[zul]
BERITA TERKAIT: