Kemandiran Bangsa Hakikat Kebangkitan Nasional

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/twedy-noviady-ginting-5'>TWEDY NOVIADY GINTING</a>
OLEH: TWEDY NOVIADY GINTING
  • Selasa, 20 Mei 2014, 10:39 WIB
Kemandiran Bangsa Hakikat Kebangkitan Nasional
twedy noviady/net
KEBANGKITAN bangsa Indonesia lahir dari suatu perjuangan, buah dari pergulatan ide/pemikiran tentang cita-cita dan masa depan bangsa. Hal tersebut merupakan tahapan sejarah yang tak terbantahkan. Tahapan panjang sejak 1908 sebagai momentum awal kesadaran/kebangkitan nasional, Sumpah pemuda 28 Oktober 1928, 1 Juni 1945 lahirnya Pancasila dan mencapai puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan rangkaian momentum sejarah perjuangan yang tidak terpisahkan.

Tahapan tersebut menunjukkan juga bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan bentuk kesadaran bangsa Indonesia akan nasibnya yang terjajah serta memiliki cita-cita yang luhur untuk hidup merdeka. Keinginan luhur untuk hidup bebas-merdeka dalam suatu wadah Negara bangsa itu kemudian dituangkan dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 (mukadimah dan batang tubuh) sebagai konstitusi Negara yang dijiwai oleh Pancasila.

Sedikit mengurai rangkaian momentum mencapai Indonesia merdeka bukanlah romantika atau menggugat peran sejarah, namun menitikberatkan pada semangat/keinginan kolektif bangsa Indonesia yang berjuang merebut kemerdekaan. Kemerdekaan sebagai hasil dari perjuangan kolektif Rakyat Indonesia baik dalam bentuk konfrontasi fisik maupun konfrontasi pemikiran tentu ditujukan pada kepentingan seluruh Rakyat Indonesia dan bukan pada kepentingan pribadi ataupun golongan tertentu.  

Indonesia bukanlah Negara yang lahir dari belas kasihan, bukan suatu Negara yang lahir dari konflik internal, bukan pula suatu Negara yang lahir dari suatu konspirasi. Indonesia adalah suatu Negara bangsa yang dilahirkan melalui perjuangan Rakyat yang maha dahsyat untuk merebut kemerdekaan dari kolonial, suatu negara bangsa yang lahir dari pergulatan pemikiran The Founding Fathers. Perjuangan merebut kemerdekaan merupakan buah dari kesadaran kolektif bangsa Indonesia yang terbentuk dari kondisi objektif dan keinginan untuk suatu cita-cita bangsa yang lebih baik dimasa yang akan datang.

Kesadaran rakyat akan kondisinya yang hidup dalam belenggu penjajahan telah membentuk semangat perlawanan yang kuat terhadap penjajah dengan didasari pada cita-cita luhur untuk hidup bebas-merdeka sebagai suatu bangsa. Semangat dan cita-cita bebas-merdeka tesebut bukan sekedar simbol-simbol belaka melainkan suatu perjuangan dan keinginan luhur yang kemudian oleh para pemimpin-pemimpin bangsa dalam persidangan BPUPKI melalui pergulatan ide dan pemikiran melahirkan Pancasila sebagai dasar Negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara. Dengan lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945 sebagai dasar Negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara yang disahkan pada 18 Agustus 1945, maka secara utuh bangsa Indonesia dengan semangat, perjuangan dan cita-cita telah mendirikan suatu Negara Republik Indonesia.

Peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang ke-106 pada 20 Mei 2014 merupakan momentum yang tepat bagi kita sebagai warga bangsa untuk melakukan refleksi mendalam terhadap dinamika berbangsa dan bernegara selama hampir 69 tahun kemerdekaan Indonesia.

Dinamika kebangsaan yang berlangsung hampir selama 69 tahun menjadi penting untuk kita refleksikan, apakah cita-cita kemerdekaan itu telah tercapai ataukah kita justru berada semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan. Ini menjadi pertanyaan yang harus secara jujur kita jawab sebagai generasi-generasi penerus kemerdekaan di tengah masih banyaknya problematika kebangsaan kita sehingga belakangan ini kita menjadi semakin miris, semakin resah akan kondisi bangsa dan Negara kita kedepan.

Maraknya perilaku korupsi di eksekutif, legislatif dan yudikatif telah mencederai semangat kebangsaan kita. Semangat kebangsaan yang menurun ini juga terjadi dalam pengelolaan sumber daya alam yang telah di anugerahkan Tuhan Yang Maha Kuasa kepada kita untuk dikelola dan dipergunakan demi kesejahteraan rakyat justru diserahkan pengelolaannya kepada pihak asing melalui korporasi/perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.

Merujuk pada Kompas edisi November tahun 2013, sektor Pertambangan, Investor asing menguasai tambang: Migas (70 persen), Batubara, Bauksit, Nikel dan Timah (75 persen), Tembaga dan Emas (85 persen). Perusahaan-perusahaan asing tersebut adalah Chevron, Conoco, Freeport dan Newmont (keempatnya berasal dari AS), Total (Perancis) dan Petrochina (China). Perkebunan Kelapa Sawit, yaitu sebesar 40 persen dari 8,9 juta hektar perkebunan kelapa sawit di Indonesia dikuasai investor asing. Perusahaan-perusahaan besar asing yang memiliki kebun sawit di Indonesia antara lain; Guthrie, Golden Hope, KL Kepong (ketiganya dari Malaysia), Wilmar Internasional (Singapura), Cargill (AS) dan SIPEF (Belgia).

Sektor Telekomunikasi, Telkomsel (35 persen) dikuasai Singtel Singapore, XL Axiata (65 persen) dikuasai Axiata Bhd dari Malaysia, Indosat (65 persen) dikuasai Ooredoo Asia dari Qatar, dan Three (60 persen) dikuasai Hutchison Whampoa dari Hongkong. Sektor Perbankan, total sebanyak 50,6 persen aset perbankan nasional dimiliki asing, setidaknya sebanyak 12 bank swasta di Indonesia dimiliki oleh investor asing, antara lain; ANZ Banking Group Limited (99 persen), Bank UOB Indonesia (98,84 persen), HSBC Asia Pacific Holdings (98,96 persen), CIMB Niaga (97,93 persen), OCBC Overseas Investment (85,06 persen).

Tak cukup hanya itu, pemerintah juga berencana meliberalisasi beberapa sektor bisni dibuka untuk asing, yakni pelabuhan, diperkirakan bisa mencapai 49 persen, operator bandara, bisa mengelola hingga 100 persen, Jasa kebandaraan, bisa mencapai 49 persen, Terminal darat untuk barang, bisa mencapai 49 persen, periklanan, terutama negara-negara anggota ASEAN, bisa mencapai 51 persen.

Merujuk data-data tersebut kekuatan modal asing telah menjadi tulang punggung pembangunan ekonomi Indonesia, yang berarti Indonesia dalam ketergantungan pada asing. Dimanakah kehormatan kita sabagai anak-anak bangsa ketika tangan-tangan jahil imperialisme dengan begitu gagahnya menggerayangi tubuh ibu pratiwi kita. Generasi penerus kemerdekaan harus bangkit dari posisi ketidaksadaran dan mengambil pilihan perlawanan terhadap proses pembodohan dan eksploitasi yang dilakukan oleh para elite Negara yang telah menjadi komparador asing melalui kebijakan-kebijakan Negara yang melapangkan jalan korporasi asing di Indonesia. Perlawanan tersebut harus dilakukan bukan berarti kita anti asing tetapi mereposisi kekuatan modal asing hanya sebagai faktor pendukung pembangunan ekonomi Indonesia. Sehingga ketergantungan tersebut bisa dikurangi secara bertahap menuju kemandirian bangsa yang merdeka.

Belum lama ini, media memberitakan bahwa Indonesia masih mengimpor beras, kedelai, gula, garam dan daging untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat dalam kurun waktu Januari  hingga November 2013, pemerintah Indonesia tercatat mengimpor lebih dari 17 miliar kilogram bahan pokok senilai 8,6 miliar dolar AS atau setara Rp 104,9 triliun. Suatu kondisi yang sangat ironi sebagai Negara agraris dan maritim seyogyanya mampu kita hasilkan sendiri untuk kebutuhan dalam negeri bahkan untuk ekspor ke Negara lain tetapi kita masih tetap impor.

Saatnya, paradigma kebijakan pemerintah yang lebih berorientasi pada konsep ketahanan pangan yang menekankan pada ketersediaan pangan termasuk lewat impor, harus dirubah menjadi konsep kedaulatan pangan. Kita tak perlu mengimpor pangan yang sebenarnya kita mampu hasilkan secara mandiri. Dan langkah fundamental yang harus segera Pemerintah lakukan adalah melaksanakan amanat UUPA No. 5 Tahun 1960. Sehingga penataaan ulang kepemilikan tanah dan pengelolaan perairan khususnya untuk keperluan produksi pangan dapat kita wujudkan menuju kemandirian pangan.

Korporasi yang menguasi ribuan bahkan ratusan ribu hektar tanah di Indonesia merupakan sumber awal terjadinya persoalan pangan di Indonesia, bahkan konflik yang dilatarbelakangi persoalan lahan telah banyak memakan korban jiwa sebagaimana yang terjadi di berbagai daerah. Rakyat tergusur dari tanah airnya. Pengingkaran terhadap Undang-undang Pokok Agraria merupakan bentuk pencederaan pemerintah terhadap keadilan bagi rakyatnya.

Demikian juga dalam hal pengelolaan energi dan mineral nasional harus dilakukan secara mandiri dan tidak diserahkan kepada pihak asing yang hanya akan mengancam kedaulatan kita sebagai suatu bangsa. Pemerintah Indonesia harus segera menata ulang penguasaan energi dan mineral serta mulai memformulasikan kebijakan yang berorientasi pada kemandirian energi dan mineral nasional. Kelemahan dalam hal sumber daya manusia saat ini bukan alasan untuk  melegitimasi pemerintah menyerahkan penguasaan energi dan mineral kepada korporasi asing. Kelemahan dalam membangun kemandirian energi nasional harus dipetakan dan dicari solusi strategis tanpa mengabaikan sifat kemandirian bangsa Indonesia.

Di sektor keuangan, Bank Indonesia (BI) melaporkan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Maret 2014 mencapai 276,5 miliar dollar AS (sekitar Rp 3.138,55 triliun dengan kurs 1 dollar AS=Rp 11.351), atau naik 4,4 miliar dollar AS dibanding Februari 2014. Angka yang bombastis sepanjang sejarah Indonesia berdiri. Besarnya ULN akan menjadi bom waktu bagi perekonomian Indonesia. Sudah saatnya rezim utang tersebut diakhiri melalui program kemandirian keuangan melalui penertiban di sektor perpajakan dan pemberantasan korupsi. Bukan rahasia umum jika tingkat kepatuhan wajib pajak di Indonesia tidaklah tinggi yakni 53,7 persen di tahun 2013. Pemerintah harus serius dan tegas terhadap korporasi yang melakukan penggelapan dan pengemplangan pajak. Bila ini dilakukan niscaya penerimaan di sektor pajak bisa mencapai 2000 triliun melebihi APBN 2014 sebesar Rp. 1.842,49 triliun.

Selain itu, persoalan pertahanan dan keamanan negara menjadi sangat penting untuk dibangun pemerintah Indonesia karena pelanggaran negara asing terhadap batas-batas negara seperti yang dilakukan oleh tentara Malaysia, Australia, Singapura, dan Amerika Serikat di wilayah laut Indonesia merupakan pelecehan terhadap kedaulatan negara. Selain kekuatan ekonomi dan diplomasi, angkatan bersenjata yang kuat merupakan kunci pokok dalam dalam internasional. Untuk itu, Indonesia sebagai Negara terbesar di kawasan tentu juga harus memiliki kekuatan angkatan bersenjata. Perpaduan sistem pertahanan dan potensi penduduk Indonesia yang berjumlah ± 250 juta jiwa merupakan kekuatan dan potensi bagi pertahanan negara.

Untuk itu, Pemerintah harus mampu memformulasikan kebijakan kemandirian dalam pertahanan negara dan alat-alat utama sistem pertahanan negara (alutsista). Membangun sistem pertahanan yang kuat secara mandiri tanpa kwatir diembargo oleh Negara lain merupakan kebutuhan mutlak Negara Indonesia sebagai Negara terbesar di kawasan. Membangun badan penelitian dan pengembangan alutsista secara mandiri dan mengoptimalkan industri pertahanan dalam negeri adalah langkah konkret menjaga kedaulatan Negara dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Persoalan lain yang juga patut disikapi dalam momentum kebangkitan nasional ini adalah mendorong kemandirian teknologi dan industri. Hari-hari demokrasi yang kita lalui sampai saat ini, sudah masuk dalam era globalisasi yang melenyapkan jarak antar negara, perkembangan teknologi secepat kilat dapat diaskes, tetapi sering kali kita lupa untuk mendorong kemandirian teknologi tanah air kita sendiri. Sehingga kita masih terjebak pada kebijakan impor teknologi dan ekspor bahan mentah.

Begitu juga kemandirian industri, bagaimana mungkin kita mendorong kemandirian industri nasional kalau saja arah kebijakan nasional kita pro terhadap kepentingan asing. Kita gandrung menggunakan mantra impor, gandrung mempercayakan kepada produk buatan asing lebih baik dari pada produk buatan industri nasional.  
Inilah saatnya kita putar arah perjuangan untuk Indonesia masa depan.  Program kemandirian bangsa bukanlah berarti memisahkan diri dari pergaulan Internasional, melainkan membangun pergaulan Internasional yang bermartabat dan saling menghormati antar satu negara dengan negara lain dengan mengedepankan kepentingan nasional. Kemandirian merupakan hakikat suatu kemerdekaaan. Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang berdaulat. Kedaulatan hanya akan terwujud jika kita menjadi bangsa yang mandiri. Mampu mengelola segala sumberdaya dan potensi yang kita miliki dengan kekuatan sendiri.

Peringatan Hari Kebangkitan Nasional merupakan momentum bagi pemerintah untuk segera mentransformasikan rasa nasionalisme dalam wujud keseimbangan pembangunan antar wilayah melalui kebijakan kemandirian pangan, kemandirian energi, kemandirian keuangan, kemandirian alutsista, kemandirian teknologi, dan kemandirian industri. Selamat Hari Kebangkitan Nasional. Jaya bangsaku! [***]

Penulis adalah Ketua Presidium Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI)


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA