Bagi sebagian elit partai banteng bermoncong putih itu, Rizal Ramli adalah mentor yang baik, yang ikut membimbing mereka hingga kini menjadi "orang" di partai itu. Rizal Ramli juga memiliki hubungan yang amat baik dengan keluarga Bung Karno, baik dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Guntur Soekarnoputri maupun dengan Ketua Dewan Pertimbangan Partai Nasdem Rachmawati Soekarnoputri.
Satu hal yang paling penting di atas semua itu adalah, pikiran-pikiran dan keputusan-keputusan ekonomi-politik yang diambil Rizal Ramli saat menjabat sebagai Kabulog, Menko Ekuin maupun Menkeu memperlihatkan keberpihakannya pada rakyat, kepada wong cilik.
Bila PDIP benar-benar mencari tokoh yang mengerti dan memahami ajaran Tri Sakti, serta memiliki kemampuan untuk mempraktikkan ajaran itu, maka Rizal Ramli adalah pilihan yang tepat dan rasa-rasanya paling pantas.
Terobosannya kerap mencengangkan. Dia, misalnya, pernah menyelamatkan PTDI, juga membailout BII tanpa mengeluarkan satu rupiahpun uang negara. Rizal Ramli juga berperan besar pada masanya mengubah Bulog dari salah satu lembaga sapi perah penguasa menjadi lembaga yang benar-benar melindungi petani.
Rizal Ramli bukan penganut paham nasionalisme sempit atau chauvinis yang ugal-ugalan. Baginya, mengedepankan kepentingan nasional dan rakyat banyak bukan berarti harus membuat demarkasi yang kaku dengan pihak asing. Kesadaran dan kemampuannya menempatkan diri dalam tata pergaulan global membuat alumni Boston University itu sampai kini menjadi anggota Panel Ahli di PBB.
Di tahun 2009 lalu, nama Rizal Ramli juga masuk bursa cawapres untuk mendampingi Megawati Soekarnoputri. Ketika itu ia bersaing ketat dengan Prabowo Subianto. Diskusi yang panjang mengenai cara memenangkan Megawati diakhiri satu pertanyaan kunci: darimana uang untuk memenangkan pertarungan?
Pertanyaan yang satu ini bikin Rizal Ramli gelagapan. Langkahnya terhenti, dan seperti yang sudah dicatat dalam sejarah, Megawati akhirnya berpasangan dengan Prabowo Subianto yang dari segi dana lebih menjanjikan.
Kini nama Rizal Ramli kembali dibicarakan di lantai bursa cawapres PDIP. Tetapi agaknya masih ada faksi atau elit PDIP yang enggan menerima Rizal Ramli. Pertimbangan mereka umumnya masih sama dengan pertimbangan di tahun 2009, strategi memenangkan pilpres membutuhkan dana yang besar. Sementara bicara soal dana, Rizal Ramli bukan pilihan yang mengasyikan.
Alasan lain menolak kehadiran Rizal Ramli karena dia dinilai tidak punya kendaraan politik dan basis dukungan.
Yang harus disadari, PDIP sedang berhadapan dengan sebuah momentum paling menentukan. Baik bagi masa depan bangsa ini, juga bagi masa depan partai itu sendiri. Ini adalah momentum paling pas bagi PDIP untuk mengembalikan politik ke jalan yang benar, jalan yang suci. Jalan yang dijauhkan dari praktik pembelian dukungan dan manipulasi suara.
Dalam pileg yang lalu, PDIP berhasil membuktikan hal itu. Semestinya, untuk menghadapi pilpres keyakinan itu harus dipertahankan. Memilih tokoh yang kredibel, tidak punya kepentingan bisnis pribadi maupun kelompok, serta punya kemampuan menjabarkan ajaran Tri Sakti untuk kemashlahatan rakyat mestinya menjadi strategi utama.
Memasangkan Jokowi yang dikenal sederhana dan santun dengan tokoh yang punya banyak masalah berbau KKN maupun masalah-masalah lain, kendati punya uang banyak, akan menciptakan blunder di hati rakyat.
Tidak memiliki partai politik, untuk orang-orang seperti Rizal Ramli adalah keuntungan tersendiri. Itu membuat basis dukungannya sebenarnya cukup luas. Ia bisa menempatkan diri di banyak kalangan, ormas dan parpol.
Keberpihakannya pada ekonomi kerakyatan membuat ia punya tempat spesial di hati kaum nasionalis tradisional. Ini juga mendekatkan dirinya dengan kaum Nahdliyin kultural. Bahkan di kelompok yang terakhir ini, yang jumlahnya cukup besar, Rizal Ramli kerap disapa Gus Romli.
Kaum buruh juga menghormati pikiran-pikiran ekonomi Rizal Ramli. Ia pro pada industri nasional yang membutuhkan persatuan kaum pengusaha dan pekerja.
Satu yang juga tidak bisa dipungkiri, ada lebih dari 30 persen rakyat Indonesia dapat dikatakan "anti partai politik". Mereka tidak percaya pada mekanisme partai politik memilihkan elit politik untuk mengelola bangsa besar ini. Bagi mereka, pada titik ekstrem, partai politik dipandang sebagai institusi kartel korup.
Di kalangan itu, Rizal Ramli cukup punya tempat. Itu juga sebabnya sementara kalangan masih percaya bahwa memasangkan Rizal Ramli untuk memperkuat Jokowi bisa mengembalikan kepercayaan rakyat kepada partai politik, kepada jalan demokrasi Indonesia.
[***]
BERITA TERKAIT: