Pengamat politik senior AS Hikam menilai, urusan menamakan kapal, adalah hak Indonesia sepenuhnya. Tidak ada negara lain yang boleh ikut campur dan intervensi. Apalagi kalau nama itu diambil dari nama dua para pahlawan yang gugur dalam tugas negara, yang menjadi peneguhan kembali penghormatan bangsa dan Negara ini terhadap pengabdian dan pengorbanan kedua kusuma bangsa tersebut.
"Sikap Singapura, memang sepintas lalu rada karikatural," jelas Hikam (Sabtu, 8/2).
Hikam mempertanyakan, apakah kalau pesawat tempur dan/atau armada kapal RI nanti dinamakan Soekarno, Hatta, Syahrir, Sultan Agung, dan lainnya, lalu akan diprotes Kerajaan Belanda? Juga kalau misalnya AS menamai salah satu kapal induknya dengan George Washington, lalu Inggris boleh marah dan melayangkan surat protes?
"Tentu jawabannya tidak. Kalau demikian, mengapa negeri Lee Kuan Yew itu bersikap demikian?" kata Hikam balik bertanya.
Menurutnya, kemarahan Singapura itu adalah sebuah refleksi sebuah negara yang sedang menunjukkan dirinya sebagai kekuatan yang mesti diperhitungkan di kawasan. Singapura, dengan kata lain, ingin dianggap serius oleh tetangganya yang raksasa dari segi teritorial, jumlah manusianya, dan SDA-nya, tetapi pada saat yang sama masih belum terlalu kuat ekonomi dan pengaruhnya tak lagi sehebat dulu di kawasan dan di dunia internasional.
"Ini adalah sebuah statemen meminta perhatian, bahwa Singapura bukan negara ecek-ecek yang hanya diperhatikan Indonesia kalau ada urusan ekonomi, pelarian konglomerat hitam dari Indonesia, atau masalah TKI," ungkapnya.
Lebih jauh menurutnya, Singapura ingin Indonesia paham bahwa dirinya juga bisa protes dan mengajukan keberatan serius dan terbuka jika ia tersinggung.
"Istilah Jawanya, Singapura ingin "diwongke" (diorangkan). Sayangnya, Singapura terlalu grusa-grusu dalam memilih medium dan momentum. Soal nama pahlawan bangsa tentu lain dengan urusan asap atau buronan penjahat, atau teroris," jelasnya.
Namun, alih-alih ditanggapi secara memadai oleh Indonesia, malah justru membangunkan solidaritas (plus ketersinggungan) kolektif. "Mungkin pelajaran dari kasus ini adalah bahwa dalam hidup bertetangga negara, kaya dan ngetop saja tidak cukup, tapi perlu juga menjaga kesopanan dan saling menghormati harga diri masing-masing," tandasnya.
[zul]
BERITA TERKAIT: