Di dalam buku terbarunya, SBY sangat kental menciptakan cerita seputar orang dekatnya atau orang yang tidak disukainya namun tidak menyebutkan nama orang atau nama partai yang dia ceritakan, yang tentu saja akan membuat pembacanya menduga-duga atau terbiaskan dengan kesimpulannya masing-masing.
SBY tentu melakukannya dengan kesadaran penuh alias sangat disengaja dengan maksud agar secara liar pembaca bisa mengambil kesimpulan sendiri secara negatif terhadap orang-orang yang diceritakan oleh SBY. Kalaupun kesimpulannya negatif terhadap orang yang diceritakan secara hukum, SBY tidak akan bisa dituntut memfitnah karena tidak menyebutkan nama. Kalaupun SBY bercerita bohong pembaca juga akan berfikir SBY benar dan tidak sedang menuding karena tidak menyebutkan nama. Di sinilah kemampuan SBY bermain kata dengan mengatakan pembaca buku ini tidak akan pernah tahu siapa gerangan sahabatnya yang unik.
"Biarlah itu jadi kenangan indah," kata SBY. "Saya ini hidup bersama lagu Jangan Ada Dusta Diantara Kita". Dan sebagai sahabat SBY pun mendoakan yang terbaik untuk orang itu. Alangkah indahnya dan sangat memikat sekali.
Â
Namun mari kita elaborasi tentang sahabat sekaligus yang ngotot menyerang SBY menurut versi SBY di halaman 147, dalam judul kecil "Musuh Menjadi Semakin Banyak". Di sana SBY menguraikan panjang lebar mengenai sosok yang disebut sebagai tokoh unik. "Saya akan menutup topik ini dengan cerita tentang seseorang yang amat gigih melaksanakan 'kampanye anti-SBY'. SBY memang tidak menyebut nama namun memberi sejumlah petunjuk melalui cerita yang cukup panjang lebar sehingga mengarah pada sosok tertentu. Sejumlah media menyimpulkan sosok yang dimaksud SBY adalah Rizal Ramli.
Mengenai posisi Rizal di BUMN, dalam bukunya SBY menyebutkan, "Setelah itu ia minta sebuah posisi di BUMN. Permintaan itu saya kabulkan karena yang bersangkutan memang punya kemampuan untuk itu. Kemudian setelah itu ia keluar dari posisi itu, kemudian minta posisi menteri di kabinet. Tentu tidak segampang itu saya melakukan penggantian menteri."
Â
Pernyataan SBY ini jelas kebohongan. Rakyat tahu dan media jadi saksi Rizal Ramli dilengserkan atau dipaksa turun sebagai Komisaris BUMN setelah memimpin demo besar-besaran anti kenaikan BBM di tahun 2008 bersama Rieke Diah Pitaloka, dan aktivis buruh Said Iqbal. Rizal Ramli dilengserkan dari Komisaris BUMN melalui rapat luar biasa pemegang saham. Bukan keluar seperti diceritakan SBY dalam bukunya.
Setelah itu Rizal Ramli dituduh mengerakan massa melakukan pembakaran mobil sampai diperiksa polisi, yang akhirnya tuduhan tersebut tidak terbukti. Dalam posisi berlawanan dengan menentang kenaikan BBM atau kebijakan SBY, rasanya sangat tidak masuk akal Rizal Ramli meminta jabatan menteri. Disinilah hebatnya SBY lagi. Dia tidak menyebutkan nama. Jelas, Rizal Ramli tidak bisa menuntut SBY telah menyebarkan fitnah.
Â
Kehebatan lain dari buku "Semua Ada Pilihan" adalah tentang pembelaan Edhie Baskoro 'Ibas' Yudhoyono. SBY menyebut wibawanya sebagai Presiden akan hancur apabila Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa putra bungsunya itu. Sementara itu, "Ada pula yang mengatakan bahwa Ibas sangat bisa dijebak, agar ada pintuk masuk untuk memperkarakanya. Alasanya, dipanggil saja Ibas oleh KPK, misalnya menjadi saksi siapapun dan untuk kasus apapun, maka runtuhlah sudah kewibawaan saya sebagai Presiden," tulis SBY.
SBY juga menebar cerita ada kelompok yang berusaha mendesak Ibas agar diperiksa KPK, memfitnah KPK, ada yang telah juga merasuk di lingkungan KPK. Dibumbui dengan cerita Ibu Ani selalu menangis tentang Ibas menambah pembaca terenyuh.
Seperti diketahui desakan agar KPK memeriksa Ibas muncul setelah sejumlah saksi penting di KPK mengungkap ada aliran dana ke Ibas. Selain itu KPK yang sejak tiga tahun lalu memeriksa kasus korupsi mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin, tidak sekalipun pernah memeriksa Ibas.
Loh, jadi siapa yang punya kemampuan mempengaruhi KPK, bukan kah kekuasaan ada ditangan Presiden? Malah dengan bukunya SBY terkesan menekan dan mempengaruhi KPK agar tidak memeriksa Ibas.
[***] *Penulis adalah aktivis 77/78