"Dengan populasi muslim yang besar, maka membincang mengenai masa depan politik Islam dan Islam politik di Indonesia adalah perkara yang taksederhana, terutama menjelan pemilu 2014. Tak berlebihan jika menyebut, pasang surutnya dinamika politik Islam di Indonesia akan menentukan nuansa dan peta politik Indonesia lima tahun kedepan," jelas Ahmad Fuad Fanani dalam peluncuran
Jurnal MAARIF Vol. 8 No. 2 Desember 2013 tentang Ekspresi Politik Umat Islam, kemarin di Gedung FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selain Pemimpin Redaksi Jurnal
MAARIF, Ahmad Fuad Fanani peluncuran sekaligus diskusi ini dihadiri Sekjen PPP, Romahurmuziy dan pengajar FISIP UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi sebagai pembicara. Sementara Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y Thohari menjadi pembicara kunci.
Fuad menjelaskan, dalam peta politik Islam kontemporer, terutama pasca reformasi, kontestasi antara kelompok Islam politik (Islam formalis) dan politik Islam (Islam substantif) terus terjadi dan berjalan dinamis. Kelompok Islamis adalah kelompok umat Islam yang menginginkan penerapan syariat Islam secara formal, meyakini Islam sebagai keyakinan hidup (belief system) yang sempurna, dan mencita-citakan berdirinya sistem Islam atau Islamic state.
“Kelompok ini bisa berbentuk ormas seperti MMI, HTI, dan Tarbiyah, namun bisa juga dalam bentuk partai Islam seperti PPP dan PBB yang hingga kini getol untuk memerjuangkan penerapan syariat Islam secara formal dalam Konstitusi Indonesia ketika amandemen UUD 1945 tahun 2002 lalu," jelasnya.
Di sisi lain, kelompok politik Islam substantif, cenderung menyerukan pemahaman dan aspirasi politik Islam yang lebih moderat. Kelompok ini direpresentasikan oleh organisasi Islam moderat Muhammadiyah dan NU. Pada bagian lain, kelompok ini juga diwakili oleh partai-partai yang berbasiskan organisasi Islam, tapi berdasarkan visi kebangsaan, seperti Partai Amanat Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa.
“Hingga hari ini, organisasi muslim terbesar di Indonesia yang diwakili oleh Muhammadiyah dan NU tidak menyetujui penerapan syariat Islam secara formal di level negara seperti pencantuman Piagam Jakarta. Kelompok ini juga menyatakan bahwa Pancasila adalah Dasar Negara Indonesia yang wajib dijaga oleh seluruh komponen bangsa,†jelas Fuad.
Kelompok Islam substantif ini juga diwakili oleh sebagian aktivis Islam yang aktif di berbagai organisasi sekuler dan partai nasionalis. Di sini tampak bahwa ada pergeseran muslim Indonesia terkait dengan aspirasi politiknya. Mereka berpikir bahwa aspirasi politik Islam bisa disalurkan lewat partai lain yang bervisi inklusif dan kebangsaan. Aspirasi politik Islam tidak identik dengan partai Islam.
"Fenomena ini sebetulnya bukanlah hal yang baru, tapi sudah dimulai di Partai Golkar semenjak era 1980-an ketika partai ini banyak merekrut para aktivis Islam sebagai pengurus dan kadernya. Jargon Cak Nur yang menyatakan:
Islam Yes, Partai Islam No!, banyak menjadi inspirasi dan legitimasi dalam fenomena ini," tandasnya.
[zul]
BERITA TERKAIT: