Pada 2008 kemerosotan nilai rupiah lebih disebabkan oleh faktor eksternal, yaitu krisis keuangan yang dimulai di Amerika Serikat menyebar ke Eropa seluruh dunia. Pada tahun 2013, akar penurunan nilai tukar rupiah lebih disebabkan oleh persoalan ekonomi domestik yang kemudian terefleksikan dalam neraca pembayaran dan faktor eksternal lainnya.
Menurut Ketua Dewan Pakar Gerindra, Burhanuddin Abdullah, kondisi tersebut menyebabkan melambatnya pertumbuhan ekonomi. Perlambatan pertumbuhan ekonomi bersumber dari turunnya ekspor dan melemahnya permintaan domestik.
Hal tersebut diperparah oleh neraca perdagangan yang mengalami defisit. Pada Januari sampai dengan September 2013, angka defisit transaksi berjalan telah mencapai $24,3 milyar. Angka tersebut lebih besar dari defisit pada tahun 2012 sebesar $24,2 milyar yang merupakan defisit terbesar dalam sejarah perekonomian Indonesia.
Di sisi lain, posisi utang luar negeri total terus meningkat dari $ 225,3 milyar pada tahun 2011, menjadi $ 252,3 milyar tahun 2012 serta $ 259,9 milyar pada akhir September 2013. Dari jumlah tersebut sekitar 21.5% merupakan utang berjangka pendek. Pada akhir September 2013, utang jangka pendek tersebut telah mencapai 61,4% dari cadangan devisa Indonesia.
Menurut Burhanuddin, situasi neraca pembayaran Indonesia tahun 2013 bukanlah situasi yang bersifat siklikal tetapi lebih bersifat struktural. "Kerentanan daya tahan ekonomi Indonesia dan kelemahan daya saing di pasar internasional membawa implikasi pada semakin menyempitnya penyerapan tenaga kerja dan pada menurunnya jumlah barang yang dapat dijual di pasar luar negeri," jelas Burhanuddin dalam siaran persnya (Selasa, 3/12).
Melihat kondisi perekonomian yang semakin parah tersebut, Burhanuddin mengatakan bahwa perbaikan struktur perekonomian Indonesia harus diarahkan pada dua isu pokok yaitu memperkuat daya tahan dan meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia.
Oleh karena itu pemerintah perlu memaksimalkan segala kemampuan yang tersedia sehingga indikator ekonomi makro Indonesia seperti pertumbuhan, inflasi, investasi, konsumsi, ekspor dan impor tidak terlalu banyak bergantung pada faktor eksternal. Jika hal tersebut tidak segera dilakukan maka hanya akan memperparah "pendarahan" ekonomi Indonesia.
[zul]
BERITA TERKAIT: