Sebelumnya, ia mengatakan bahwa sidang isbat yang dibiayai uang pajak yang dibayar rakyat itu memperlihatkan kepada dunia internasional seolah-olah umat Muslim Indonesia bodoh. Semestinya di jaman serba canggih seperti sekarang, tanggal 1 Syawal dapat ditentukan jauh-jauh hari.
Atas pernyataannya ini, Denny JA menuai kecaman dari kalangan yang menganggap dirinya tidak memiliki kapasitas untuk mengomentari urusan menentukan 1 Syawal.
"Tak perlu kita menjadi ahli gizi atau menjadi juru masak untuk tahu lezat atau tidaknya makanan. Tak perlu kita menjadi ahli dulu untuk tahu tak masuk akalnya sebuah kebijakan," ujar Denny JA melalui kultiwtnya hari ini (Senin, 12/8).
Walau disebut bukan ahli tetapi masyarakat memiliki hal dan kemampuan menilai apakah kebijakan pemerintah atau elit agama masuk akal atau tidak. Masyarakat sipil berhak menilai kebijakan yang dianggap tidak masuk akal.
"Karena dunia bukan hanya milik para ahli," ujar Denny JA lagi.
"Tak masuk akal di era
science, di H-1 sebelum magrib, kita masih tak pasti apakah besok lebaran," kata pria kelahiran Palembang tahun 1963 ini.
Dia membandingkan dengan gerhana bulan yang dapat diprediksi 10 tahun sebelum kejadian.
Masyarakat luas, maih menurut Denny JA, pada dasarnya menunggu kepastian dari kaum ulama dan kaum cendekia untuk berijtihad mencari kepastian tentang waktu Lebaran. Sehingga tak perlu menunggu sidan isbat maghrib di H-1.
"Jika semua pihak berpikir jernih dan cerdas, di era
science, Insya Allah kita sudah (mengetahui) pasti waktu Lebaran sejak 1 Januari," kata dia lagi.

"Setelah parameternya disepakati sesuai hukum agama, hari Lebaran itu wilayah
science yang bisa diprediksi jauh hari," demikian Denny JA.
[guh]
BERITA TERKAIT: