Menurut pendiri Lingkaran Survei Indonesia itu, sidang isbat membuat umat Islam Indonesia tampak bodoh di mata dunia internasional yang sudah bisa memprediksi waktu melalui
science dan teknologi sejak jauh hari. Lagipula, masyarakat membutuhkan kepastian mengenai Idul Fitri lebih awal. Pemerintah sudah membuat tanggal merah hari Lebaran dalam kalender yang diterima sejak 1 Januari. Seharusnya pemerintah konsisten.
Wakil Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Sulthan Fatoni, menyambut kritik Denny JA itu. Menurut dia, kalau dilihat dari perspektif keilmuan, maka pernyataan Denny itu bisa jadi ada benarnya.
"Bisa jadi benar apa yang Beliau sampaikan. Hanya, soal sidang isbat dan soal lainnya ini kan ranah dan tuntunan agama. Ranah agama itu ada yang bisa dilogikakan, ada yang kita harus meyakini tanpa kita logikakan, ada juga yang bersifat intuisi," terang Sulthan kepada
Rakyat Merdeka Online, Sabtu (10/8).
Dalam beberapa kasus keagamaan, ada hal-hal yang harus manusia terima sebagai ranah ulama untuk mengkaji, menggali dan menetapkannya. Sementara, Denny JA tidak mengerti persoalan itu.
Misalnya, dia mencontohkan, manusia tidak bisa mempertanyakan mengapa salat maghrib harus dilakukan tiga rakaat, namun salat subuh dua rakaat. Contoh lain adalah tuntunan agama yang menyerukan, kalau mau memulai puasa lihatlah bulan, dan kalau bulan terlihat maka berpuasalah. Begitu juga halnya dengan penentuan Idul Fitri.
"Saya pikir kritik Denny JA itu kan ranah logika. Ranah logika banyak juga di ke-Islaman, tapi dalam konteks puasa ini untuk mengawali dan mengakhirinya harus ada tuntunan agama. Dalam hal ini, ketidakmengertian Denny JA bisa kita maklumi," tegas Sulthan.
[ald]
BERITA TERKAIT: