Sesuai dengan surah al-Baqarah: 185, "
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur".
Selepas salat tarawih biasanya ada yang masih bertahan di masjid, mushalla atau di rumah untuk meluangkan waktu membaca al-Quran. Ibadah membaca al-Quran di bulan Ramadhan ini sudah menjai tradisi yang populer dengan sebutan 'darusan'. Kata 'darusan' berasal dari bahasa Arab, "tadarus" artinya 'belajar bersama'. Praktik darusan: seorang membaca al-Quran dengan suara yang lantang. Sedangkan yang lain menyimaknya untuk meneliti kebenaran metode dan pelafalan bacaan al-Quran yang bersangkutan. Begitu seterusnya dilakukan secara bergantian.
Entah sejak kapan formula 'darusan' ini dikreasi oleh para kiai. Pastinya 'darusan' hingga saat ini masih menyemarakkan sepanjang bulan Ramadhan. 'Darusan' telah mendarah daging, mentradisi dan berurat berakar di tengah masyarakat muslim Indonesia.
Memperhatikan praktik 'darusan' di bulan Ramadhan di masjid atau mushalla memang unik. Tentu formula 'darusan' itu dirancang dengan pemikiran dan landasan yang kuat. Saya teringat atas hadits Rasulullah saw yang menceritakan aktifitas malaikat Jibril di bulan Ramadhan. Sang Malaikat perantara Allah dan Rasul-Nya itu selalu menemui Rasulullah di setiap malam sepanjang bulan Ramadhan untuk bersama-sama belajar al-Quran.
Teladan baik yang ditunjukkan Rasulullah saw dan malaikat Jibril kemudian ditiru para sahabat. Bulan Ramadhan mereka maksimalkan untuk membaca al-Quran (awqatihim liqira'atil Qur'an). Sahabat Usman bin Affan misalnya, setiap hari tuntas membaca al-Quran 30 juz. Sebagian sahabat yang lain ada yang tuntas 30 juz dalam waktu tiga malam, sebagian sahabat lain lagi ada yang tuntas 30 juz dalam tujuh malam, dan seterusnya.
Imam Malik termasuk tokoh besar yang sangat concern menjaga ibadah baca al-Qur'an di bulan Ramadhan. Setiap Ramadhan tiba, Imam Malik menghentikan kajiannya tentang hadits, meliburkan forum pengajiannya, hanya untuk berkonsentrasi beribadah baca al-Qur'an. Sufyan al-Tsauri lain lagi, setiap Ramadhan tiba, segala bentuk ibadah sunnah ia tinggalkan dan beralih membaca al-Qur'an. Imam Syafii pun sangat memperhatikan ibadah baca al-Quran di bulan Ramadhan. Imam Syafii bisa tuntas baca al-Quran 30 juz hingga 60 kali selama bulan Ramadhan, di luar waktu salat. Imam Syafii juga menyarankan agar saat Ramadhan tiba, umat Islam memperbanyak baca al-Quran.
Konsep 'darusan' memang dirancang para kiai khusus untuk 'ibadah membaca al-Quran di bulan Ramadhan'. Darusan bukan konsep untuk mengkaji, memahami dan mengamalkan al-Qur'an. Jika ingin lebih dari sekedar membaca al-Qur'an di bulan Ramadhan maka itu bukan 'darusan'. Entah apa namanya dan merujuk kepada perilaku siapa, saya pun tidak tahu.
Idealnya setiap muslim memang tidak hanya sekedar membaca al-Quran. Sayyidina Hasan, cucu Rasulullah pernah mengatakan bahwa membaca al-Quran itu ya ibadah 'membaca al-Qur'an', dan ada orang beranggapan bahwa mengamalkan al-Qur'an ya membaca al-Quran. Tentunya kita tidak ingin termasuk orang yang digambarkan oleh Sayyidina Hasan. Tradisi membaca al-Quran seyogyanya ditingkatkan lagi dengan memahami maknanya, mengkaji substansi dan maksudnya dan melaksanakan ajarannya. Pada tahapan ini tidak cukup hanya bersama teman belajar membaca al-Quran tapi memerlukan guru yang berpengetahun khusus.
Walhasil, melalui darusan kita bisa memahami, melalui memahaminya kita bisa melaksanakannya. Sebaliknya tidak mungkin bisa melaksanakan ajaran al-Qur'an tanpa memahaminya. Dan tidak mungkin memahaminya tanpa kemampuan membaca al-Qur'an dengan baik. Dengan darusan, kita berharap bisa meneladani Rasulullah, malaikat Jibril dan para ulama klasik lain yang memanfaatkan setiap detik Ramadhan dengan membaca al-Qur'an. Wallahu A'lam bis-shawab