Indosat & IM2 Dituntut Ganti Kerugian Negara Rp 1,358 T

Jumat, 31 Mei 2013, 09:45 WIB
Indosat & IM2 Dituntut Ganti Kerugian Negara Rp 1,358 T
indosat
rmol news logo Bekas Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) Indar Atmanto dituntut 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta dalam perkara korupsi penggunaan frekuensi 2,1 GHz tanpa membayar izin negara.

Roman kekecewaan terbersit dari raut wajah Indar Atmanto. Tapi, dia hanya bisa duduk lemas di kursi terdakwa. Matanya menatap tajam jaksa yang membacakan memori tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, kemarin.

Sesekali, tangannya memperbaiki posisi kacamata. Dia terlihat konsentrasi penuh, menyimak pembacaan tuntutan. Menurut jaksa penuntut umum (JPU) Fadil Zumhana dan kawan-kawan, Indar terbukti terlibat kasus korupsi penggunaan frekuensi 2,1 GHz untuk akses internet broadband lewat jaringan 3G/HSDPA.

Keterlibatan Indar, menurut jaksa, berawal dari surat kerja sama antara IM2 dengan Indosat. Surat itu ditandatangani Indar dan Wakil Direktur Utama PT Indosat Kaizad B Heerje.

Jaksa menyoal surat perjanjian kerja sama berkode Indosat 224/E00-EA.A/MKT/06 dan nomor IM2: 0996/DU/IMM/XI/06 tanggal 24 November 2006 itu, berisi tentang akses internet broadband lewat jaringan 3G/HSDPA. Surat itu dibuat untuk memberi akses IM2 menggunakan jaringan internet dari Indosat.

Kejaksaan Agung yang menyidik tersangka kasus ini bersikukuh, Indosat tidak memiliki kapasitas dan tidak boleh mengalihkan jaringan internet kepada pihak lain, termasuk IM2. Hal ini diatur dalam Pasal 25 ayat 1 PP Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.

“Surat perjanjian kerja sama itu seolah-olah dibuat untuk melengkapi perjanjian penggunaan jaringan. Padahal, secara operasional bertujuan memberi akses kepada IM2 menggunakan spektrum Indosat untuk mengoperasikan akses internet,” sebut jaksa Fadil.

Jaksa menambahkan, kesalahan tersebut diperparah dengan tidak adanya pembayaran dari IM2 terkait penggunaan pita spektrum frekuensi radio per blok pita frekuensi radio, dan biaya hak penggunaan (BHP) pita frekuensi radio. Tindakan inilah yang menurut jaksa menyalahi ketentuan.

Terlebih, kalkulasi atas penggunaan jaringan frekuensi yang bukan haknya ini, jelas jaksa, memicu kerugian negara Rp 1,358 trilliun. Angka kerugian negara itu, didapat kejaksaan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

“IM2 telah menggunakan frekuensi 3G Indosat tanpa hak. Menuntut supaya majelis hakim memutuskan, terdakwa Indar Atmanto bersalah melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 KUHP,” urai Fadil.

Jaksa menuntut terdakwa 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Jaksa juga menuntut Indosat dan IM2 membayar uang pengganti sebesar Rp 1,358 triliun.

Pada pertimbangan yang meringankan, jaksa menyebut, Indar tidak terbukti memperkaya diri sendiri, melainkan memperkaya korporasi, yakni Indosat dan IM2.
“Terdakwa tidak dituntut membayar uang pengganti, tapi akan dimintakan kepada korporasi,” tandasnya.

Mendengar tuntutan tersebut, pihak Indar keberatan. Tim kuasa hukumnya meminta kepada hakim untuk diberi kesempatan mengajukan nota keberatan.

“Kami akan mengajukan nota pembelaan,” tegas Luhut Pangaribuan, kuasa hukum Indar.

Menurut Luhut, JPU tidak jujur dalam mengajukan tuntutan ini. JPU, lanjutnya, menampik fakta-fakta persidangan dan hanya memakai Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebagai dasar tuntutan.

Langkah ini, katanya, hanya untuk mengelabui majelis hakim dan publik bahwa ada fakta-fakta hukum yang bisa menjerat terdakwa bersalah.

Padahal, belasan saksi yang diperiksa di hadapan hakim sejak Januari lalu hingga saat ini, hampir seluruhnya melemahkan dakwaan pasal korupsi. “Jaksa hanya mengajukan fakta di luar fakta pemeriksaan persidangan. Jaksa jelas mengada-ngada dan terlalu memaksakan kehendak,” tandasnya.

Luhut menuturkan, saksi yang menjadi dasar tuntutan jaksa hanya dua, yakni saksi ahli Nasrul Waton dari BPKP dan saksi ahli dari kalangan akademisi Asmiati Rasyid. Padahal, menurutnya, kedua saksi ini justru meniadakan unsur dakwaan, karena memberikan keterangan di luar fakta.

Nasrul, kata Luhut, pernah memberikan keterangan bahwa ada penggunaan frekuensi bersama antara Indosat dan IM2 karena dengar dari saksi lain bernama Bonnie. “Tapi, Bonnie membantah. Jadi, keterangan Nasrul tidak bisa menjadi dasar,” tegasnya.

Sedangkan saksi Asmijati, menurut Luhut, keterangannya hanya memberi petunjuk kepada hakim, bukan menjadi acuan tuntutan. “Kalau tidak ditemukan fakta-fakta hukum, jangan dipaksakan,” ucapnya.

KILAS BALIK
Antara Warung Kopi & Jaringan 3G


Setelah didakwa terlibat perkara korupsi penggunaan frekuensi radio 2,1 GHz/3G milik PT Indosat oleh Indosat Mega Media (IM2), bekas Direktur Utama PT IM2 Indar Atmanto mengajukan eksepsi (keberatan) dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin, 21 Januari lalu.

Dalam eksepsi yang dibacakan pengacaranya, Luhut Pangaribuan, disampaikan bahwa ada kesalahan mendasar dalam dakwaan jaksa. Kesalahan itu dianalogikan dengan bayar ganda untuk penyewa tanah.

“Kalau Anda punya tanah dan sudah bayar semua pajaknya, apakah penyewa untuk warung kopi di tanah itu harus bayar pajak bumi bangunannya?” tanya Luhut.

Bahkan, katanya, dakwaan jaksa tidak menguraikan tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Namun, menguraikan perbuatan yang dilakukan PT IM2. “Padahal yang didudukkan sebagai terdakwa dalam perkara ini bukanlah IM2 selaku badan hukum.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa surat dakwaan itu kabur karena keliru mengenai pertanggung jawaban orang,” belanya.

Surat dakwaan, lanjut Luhut, juga tak menguraikan secara jelas dan lengkap tentang ketentuan tindak pidana yang didakwakan. Soalnya, Indar bukan pegawai negeri, melainkan karyawan swasta, dimana belum ada peraturan perundangan yang dapat diterapkan terhadap terdakwa dan PT IM2 sebagai badan hukum perdata.

Dengan demikian, menurut Luhut, terdakwa dan PT IM2 tidak dapat didakwa sebagai pelaku tindak pidana korupsi, karena belum ada ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan swasta.

Menurut Luhut, surat dakwaan jaksa keliru. Soalnya, kata dia, penyelenggara jasa multimedia yang terdiri atas penyelenggara jasa akses internet diperkenankan menggunakan atau menyewa jaringan milik penyelenggara jaringan telekomunikasi. Hal itu diatur dalam Pasal 4 ayat 1 juncto Pasal 9 ayat 2 UU Telekomunikasi.

Dalam surat dakwaan, Indar bersama-sama bekas Wakil Direktur Utama PT Indosat Kaizad B Heerjee, dan dua bekas Direktur Utama PT Indosat Johnny Swandi Syam dan Harry Sasongko, disebut memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Mereka telah menggunakan frekuensi radio tanpa mendapatkan penetapan dari Menteri Komunikasi dan Informatika.

“Hal itu bertentangan dengan Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2000 Tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit juncto Pasal 30 PP Nomor 53 tahun 2000,” kata jaksa Fadil Zumhana dalam sidang pembacaan dakwaan pada Senin, 14 Januari lalu.

Dalam dakwaan disebutkan, PT IM2 adalah penyelenggara jasa telekomunikasi yang menggunakan jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi, dalam hal ini PT Indosat. Mereka juga menyediakan jasa akses internet sebagai salah satu produknya. Padahal, IM2 dalam hal ini cuma bisa menggunakan jaringan tertutup.

Disebutkan pula, berdasarkan Pasal 25 ayat 1 PP Nomor 53 tahun 2000, Indosat tak dapat mengalihkan penyelenggaraan jaringan 3G kepada pihak lain. Tetapi, IM2 tetap membayar up front fee dan biaya hak penggunaan pita frekuensi radio 2,1 GHz untuk penyediaan jasa akses internet broadband melalui jaringan 3G milik Indosat. Padahal, penggunaan frekuensi itu tidak dapat dialihkan tanpa izin menteri.

Menurut jaksa, Indar menyalahi penggunaan frekuensi 2,1 Ghz tanpa melalui proses lelang. Hal itu, menurut jaksa, bertentangan dengan Pasal 2 ayat 2 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 7 tahun 2006.

Tuntutan 10 Tahun Jadi Syok Terapi
M Taslim Chaniago, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR M Taslim Chaniago menilai, tuntutan jaksa sudah menunjukkan keseriusan Kejaksaan untuk menuntaskan perkara dugaan korupsi ini.
Lantaran itu, Taslim mengapresiasi tuntutan hukuman 10 tahun penjara yang diajukan jaksa. Ancaman hukuman itu, menurutnya, sudah cukup pantas dan bisa dijadikan alat untuk syok terapi. 

Dia berharap, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang menangani kasus ini, proporsional dalam menimbang tuntutan jaksa. “Intinya, putusan ada di tangan majelis hakim,” katanya, kemarin.

Yang juga penting, bagaimana jaksa penuntut umum (JPU) memberikan argumen yang menguatkan tuntutan mereka. Di sisi lain, terdakwa yang menolak didakwa melakukan korupsi, mesti mampu menunjukkan bukti-bukti sanggahannya. Soalnya, semua dakwaan JPU dan bantahan terdakwa, harus berdasarkan bukti-bukti. “Bukan sekadar bicara tanpa bukti yang konkret,” tandas politisi PAN ini.

Melalui bukti-bukti dakwaan atau bantahan itu, majelis hakim akan lebih mudah menimbang putusan. Termasuk putusan mengenai korporasi, dalam hal ini PT Indosat dan PT Indosat Mega Media (IM2) apakah terbukti atau tidak, merugikan keuangan negara sekitar Rp 1,3 triliun.  

Dia menambahkan, dalam kasus ini memang patut diduga ada unsur kejahatan korporasinya. Sehingga, penanganan kasus ini tidak berhenti sampai pada terdakwa Indar Atmanto, bekas Direktur Utama PT IM2 saja. Melainkan menelisik, apakah ada pejabat Indosat dan IM2 yang lain diduga terlibat.

Menurutnya, pengusutan perkara ini semestinya mampu menyelesaikan kompleksitas permasalahan di Indosat dan IM2. Apalagi, kasus ini sudah menyeret terdakwa lain ke persidangan di Pengadilan Tipikor.

Aneh, Jadi Seperti Perkara Perdata
Marsudhi Hanafi, Purnawirawan Polri

Bekas perwira tinggi Bareskrim Polri Brigjen (purn) Marsudhi Hanafi menilai, upaya jaksa menuntut korporasi membayar ganti rugi dalam kasus ini, aneh.

“Jadi aneh karena tuntutan dalam perkara korupsi ini, sama dengan perkara perdata biasa. Hanya menyangkut ganti rugi,” kata bekas Ketua Tim Pencari Fakta Kasus Pembunuhan Munir ini, kemarin.

Padahal sebelumnya, Kejaksaan Agung bersikukuh tidak mau mengkategorikan kasus ini sebagai perkara perdata. Lantaran itu, Marsudhi mengingatkan kejaksaan agar lebih cermat mengembangkan kasus ini. Soalnya, kasus Indosat-IM2 ini termasuk unik.

“Kasus ini bukan lagi perkara tindak pidana korupsi biasa. Kasus dugaan korupsi penggunaan jaringan frekuensi ini, sangat unik dan kompleks,” katanya.

Lantaran itu, Marsudhi mewanti-wanti, pengembangan kasus ini perlu kecermatan ekstra. Penyidik, lanjutnya, tidak boleh terpaku pada perkara korupsinya saja.

Penyidik perlu mengetahui modus atau metode pengalihan jaringan frekuensi PT Indosat ke PT IM2.
 
Hal itu menjadi bekal mengungkap perkara teknologi informatika yang semakin canggih ini. Apalagi, katanya, kasus ini diketahui dan diikuti masyarakat. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA