KAI Dicurigai Tengah Berstrategi Hapus KRL Ekonomi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Rabu, 03 April 2013, 11:50 WIB
KAI Dicurigai Tengah Berstrategi Hapus KRL Ekonomi
KRL EKONOMI/IST
rmol news logo Jadwal baru pengoperasian kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek mulai diberlakukan terhitung 1 April kemarin.

Perubahan dari sebelumnya adalah masa pengoperasian menjadi 20 jam per hari. Konon Pelayanan KRL yang nyaris nonstop tersebut sebagai wujud apresiasi KAI terhadap besarnya animo masyarakat Jabodetabek.

Dengan jadwal baru maka jumlah perjalanan KRL bertambah dari 514 perjalanan menjadi 575 perjalanan. Sayangnya, jumlah perjalanan KRL Ekonomi justru turun menjadi 23 perjalanan dari semula 26 perjalanan. Hal ini patut dicurigai sebagai bagian dari rencana penghapusan KRL Ekonomi.

"Jika maksudnya untuk meningkatkan pelayanan saya dukung seratus persen, asalkan hal ini bukan strategi untuk menghapus KRL Ekonomi atau menghapus subsidi penumpang KRL,” kata Ketua Kelompok Komisi (Kapoksi) V Fraksi PKS, Sigit Sosiantomo, Rabu (3/4).

Sebelumnya terjadi aksi penolakan terhadap rencana KAI menarik secara bertahap KRL ekonomi non-AC yang sempat melumpuhkan perjalanan KRL di Stasiun Bekasi. Juga aksi ratusan penumpang yang tergabung dalam Keluarga Besar KRL Lintas Serpong-Tanah Abang dengan menggelar aksi pengumpulan koin dan tanda tangan sebagai bentuk penolakan.

Memang secara fisik kondisi KRL rakyat kecil itu sangat memprihatinkan dan membahayakan penumpang. Mulai dari kondisi pintu yang tidak bisa ditutup hingga penumpang berjubel di atas atap. Berdasarkan data KAI, KRL tarif murah itu sebanyak 1.226 kali mogok sepanjang tahun lalu. Dampak mogoknya KRL tersebut adalah mengganggu 4.200 perjalanan kereta.

Ada dua hal penting yang tak bisa ditawar dalam pelayanan kereta api yang harus berlaku sama bagi semua penumpang, yaitu keselamatan dan waktu. Masalah KRL Ekonomi adalah gerbong yang sudah tua dan kurang layak digunakan lagi.
Bayangkan saja, ada gerbong yang beroperasi sejak tahun 1974 dan suku cadangnya sudah tidak diproduksi lagi, hal ini berpengaruh pada tingkat keselamatan. Namun seharusnya gerbong KRL Ekonomi yang sudah tidak layak tersebut diperbaiki atau diganti dengan gerbong baru, bukan malah dihilangkan.

"Persoalannya, bagaimana nasib masyarakat kelas bawah kalau harus membayar tiket Commuter Line beberapa kali lipat karena peniadaan KRL ekonomi non-AC?,” tanya Sigit.

Legislator Dapil Surabaya-Sidoarjo ini menganggap tarif Rp 8.000 - Rp 9.000 terlalu mahal dibandingkan dengan tarif kereta komuter negara lain seperti di Malaysia yang kabarnya hanya 1,6 Ringgit (Rp 5.000) dan Thailand sebesar 16 Baht (Rp 5.300). Apalagi tarif kereta komuter bawah tanah Beijing yang hanya 0,8 Yuan (Rp1.200).

"Tarif tersebut masih perlu diverifikasi kebenaranya. Jika benar pun masih harus dilihat jarak tempuh dan fasilitasnya agar fair dalam memperbandingkan," tegasnya.

Pengguna jasa layanan KRL Ekonomi bukan hanya pekerja kantoran melainkan juga pelajar, mahasiswa dan pedagang kecil, demikian Sigit.[wid]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA