Letjen (Purn) TB Silalahi: Presiden Yang Kokoh Bukan Sekadar Lulusan Sarjana

Senin, 01 April 2013, 08:40 WIB
Letjen (Purn) TB Silalahi: Presiden Yang Kokoh Bukan Sekadar Lulusan Sarjana
TB Silalahi
rmol news logo .Ketua Umum DPP Partai Hanura Jenderal (Purn) Wiranto membuat panas suasana di tengah pro-kontra perlu tidaknya RUU Pilpres direvisi.  Bekas Panglima ABRI yang juga bekas pengawal Presiden Soeharto itu mengusulkan agar syarat capres dinaikkan jadi sarjana. “Camat saja sarjana, masa capres SMA,” cetus Wiranto.

Seberapa pentingkah usulan Wi­ranto itu? Rakyat Merdeka me­minta tanggapan dari Letjen TNI (Pur) TB Silalahi, dosen “Vi­sionary Leadership” di Lem­hanas, UNHAN dan Sesko TNI ter­hadap pernyataan Jend (Pur) Wiranto tentang persyaratan ija­zah formal S1 untuk Capres tahun 2014.  Posisi TB Silalahi menjadi penting dimintai komentar karena seperti diketahui Wiranto pernah menjuluki TB Silalahi sebagai “Do­sen para Jenderal” sewaktu Wiranto masih menjadi ADC Pre­siden Soeharto dan masih ber­pang­kat kolonel.

Berikut kutipannya:


Apa tanggapan Anda terha­dap pernyataan Wiranto ten­tang persyaratan ijazah S1 tersebut?


Saya terus terang kaget sekali se­hingga saya semula ragu apa­kah para wartawan salah kutip dengan kata-kata yang begitu ke­ras dan terkesan sangat kasar. Yang dibutuhkan sebenarnya bu­kan ijazah S1 tapi figur dari yang ber­sangkutan, sebab banyak con­toh pemimpin yang hanya lulusan sekolah formal yang rendah um­pamanya SD tapi sepanjang hi­dupnya dia belajar sendiri (oto­didak) dan pengetahuan maupun wawasannya malah melebihi S1.

Bisa dikemukakan satu contoh?

Ndak usah jauh-jauh, Pak Har­to yang justru dikagumi Wiranto hanya lulusan SD (HIS Jaman Be­landa) dan kemudian meng­ambil persamaan SMP. Beliau­pun bukan lulusan Akademi Mi­liter malah mencatat sejarah da­lam Revolusi Fisik 1945. Se­wak­tu masuk Seskoad (sekolah­nya para Jenderal AD) yang semula di­ragukan apakah mampu mengi­kuti pelajaran malah lulusnya termasuk terbaik.

Bisakah memberikan contoh kepemimpinan pak Harto se­bagai Presiden?

Menurut cerita Prof Wijoyo dkk (ahli ekonomi dari Unver­sitas Berkley AS) sewaktu mere­ka ditunjuk sebagai menteri dan penasehat dalam bidang ekonomi selama 6 bulan grup tersebut (diju­luki mafia Berkley) memberi pan­dangan dan nasehat kepada pak Harto. Sesudah 6 bulan justru ter­balik mereka yang “dikuliahi” pak Harto (tentu ini gurauan) ka­rena pak Harto cepat menguasai. Saya kira Wiranto paham tentang itu.

Apakah ada contoh tokoh lain di luar negeri?

Contoh yang ekstrim adalah Hitler yang mengguncang dunia, sempat menaklukkan hampir semua Eropa pada perang Dunia II. Rakyat Jerman begitu fanatik ter­hadap dia. Malah dia diperla­kukan sebagai dewa. Sewaktu Perang Dunia I sampai pensiun pangkatnya cuma Kopral bukan Jenderal.

Dia mendirikan partai Nazi dan dalam waktu singkat menguasai Jerman. Bayangkan seorang Ko­pral memimpin suatu partai bisa membuat partai itu sangat besar, mutlak dan berkua­sa. Sewaktu muda, orang tuanya memaksa dia untuk kuliah untuk memperoleh S1. Beberapakali pin­dah kuliah sampai akademi seni itupun gagal, jadi pendidi­kan­nya hanya setingkat SMA.

Mak­sud saya bukan meng­agung­kan dia karena dia penjahat pe­rang, hanya sebagai contoh ba­gai­mana seorang pemimpin suatu Negara malah hampir menguasai seluruh Eropa padahal hanya tamat SMA.

Mungkin dalam bidang lain non pemerintahan bisa diberi contoh?

Bill Gates ikut berperan dalam re­volusi dunia dalam bidang tek­nologi informasi. Beberapa tahun yang lalu dia sudah menjadi orang terkaya di dunia. Tahun 1973 dia mulai kuliah di Harvard dan pada tahun 1975 dengan te­man-temannya mendirikan Mi­crosoft yang sangat populer dan menguasai dunia itu. Pada tahun itu juga dia keluar alias drop out dari Harvard sesudah kuliah 2 ta­hun. Dengan kata lain pendidikan formal Bill Gates hanya lulusan SMA/High School.

Apakah hal ini Anda ajarkan di Lemhanas?

Ya, dalam pelajaran “Visionary Leadership” dan”“E Leadership” serta buku yang saya tulis. Saya mengutip pernyataan Einstein, “Creation is more important than knowledge”. Ucapan Wiranto (sa­ya kutip dari Koran Rakyat Mer­deka) mengatakan “Pemim­pin Indonesia itu harus mempu­nyai knowledge yang tinggi”.

Me­nurut Einstein, kreasi lebih pen­ting dari ilmu pengetahuan. Ekstrimnya, walaupun seseorang memperoleh ilmu pengetahuan yang begitu tinggi sampai S3 atau S berapapun, kalau otaknya beku atau tidak pernah berkreasi atau mengeluarkan ide yang cemer­lang termasuk melakukan terobo­san (Thinking and Acting Out of the Box) ya mubazir. Lebih baik lulusan setingkat SMA tetapi berkarya (contoh siswa-siswa SMK di Solo mencoba mencip­ta­kan mobil Indonesia). Orang ter­sebut harus mempunyai visi yang jauh kedepan dan meng­ha­silkan karya atau ide yang be­sar dan yang bisa dilaksanakan.

Wiranto juga menyinggung Ca­pres seorang seniman dang­dut, apakah itu relevan?
Sekali lagi tergantung orang­nya, apapun profesinya. Amerika Serikat negara besar pernah di­pimpin oleh Presiden mantan ar­tis, malah dia sempat dinomi­na­sikan sebagai Presiden AS terbaik urutan kedua sesudah George Washington, namanya Ronald Reagan yang sewaktu saya masih di SMA tahun 50-an sering non­ton filmnya yang biasanya film cowboy. Dia juga berperan pen­ting menyelamatkan dunia dari kemungkinan perang Nuklir yang bersama Gorbachev mengakhiri perang dingin dan meruntuhkan Tembok Berlin. Sesudah ditanya kunci suksesnya dia menjawab, “Pre­siden itu tidak perlu terlalu ting­gi ilmunya tapi mahir me­mimpin dan memilih pemban­tu­nya yang tepat “surround yourself with the best people you can find, delegate authority and don’t in­terfere as long as the policy you’ve decided upon is being carried out.”

Wiranto mengatakan, “Un­tuk itu Capres harus punya in­te­le­ktual tinggi. Kalau tidak ya dia hanya pajangan, seperti kerbau dikasih kalung RI dan jalan-jalan saja.” Apakah me­nu­rut Anda pernyataan ini ti­dak terlalu kasar?

Mudah-mudahan wartawan salah kutip (saya bukan menya­lah­kan wartawan). Saya menge­nal Wiranto cukup lama dan juga masa lalu cukup akrab, sehingga saya tidak percaya kalau dia menyatakan hal itu.

Seseorang yang disebut atau mengaku inte­lektual tidak akan melecehkan orang lain walaupun berbeda seka­li latar belakang pen­­didikan­nya. Para peserta (sis­wa) Lem­hanas dibina dalam cara berdis­kusi agar selalu menghar­gai pen­dapat orang lain beta­pan “bo­doh­nya pun” lawan bica­ra­nya. Ja­ngan pernah mengata­kan “pen­dapatmu itu salah” akan tetapi berkatalah,”“maaf, menu­rut pen­dapat saya, pendapat saudara itu kurang tepat”.

Hal ini dila­kukan untuk selalu menghargai orang lain. Intelek­tua­lisme, apalagi dalam posisi sebagai pemimpin berhubungan dengan in­tegritas pribadi dan tidak hanya me­ngusai ilmu. Nanti dalam kam­pa­nye hal itu sangat merugi­kan, men­cederai orang lain, akan mena­rik simpati terha­dap yang dicederai. Hal ini sudah kita alami sebelum­nya. Kata-kata mutiara “don’t crea­te enemy, win the heart of the people”.

Apakah pernyataan Wiranto tersebut ditujukan kepada se­seorang?

Wiranto telah menyanggah hal itu. Akan tetapi rakyat kita sudah cerdas dan mengetahui kemana arah pernyataan itu. Salah satu calon yang telah mengatakan siap maju walaupun belum serius benar adalah Dahlan Iskan. Saya sudah mengenalnya cukup lama karena dia wartawan senior. Saya simpati kepadanya karena justru dia tidak S1, lulusan Aliyah pe­santren (se­ting­kat SMA). Pernah ku­liah di IAIN akan tetapi ber­henti ditengah jalan. Lulusan SMA tetapi bisa meraih karir tinggi sekali, warta­wan suk­ses, pengusaha sukses, punya ra­tusan media cetak yang tersebar di Indonesia dan media elektronik termasuk stasiun TV puluhan di­mana-mana. Sewaktu diangkat jadi Dirut PLN, ijazah SMA tidak diper­masalahkan sampai Menteri BUMN.

Dia memimpin ratusan BUMN dimana aset Negara di­pertaruhkan, hanya lulusan Aliyah/SMA. Kenapa harus diper­ma­salahkan syarat S1 itu untuk Ca­pres. Kenapa tidak dipersoalkan Capres yang S1 atau lebih tapi yang minim pengalaman, jawa­ban­nya dari kota Medan adalah, “Ini politik, Bung”.

Waktu sahabat-sahabat Dahlan menyarankan agar dia melanjut­kan kuliah di Perguruan Tinggi yang pernah diikutinya (selain IAIN) dan bisa di “atur” kuliah­nya dan tidak lama bisa menda­patkan S1, dia menolak. Dan ka­lau persyaratan itu tetap akan di­laksanakan dia bilang ya dia tidak akan maju karena dia percaya hidupnya diatur oleh Allah.

Sekiranya DPR mengubah undang-undang persyaratan untuk Capres jadi minimal lulusan S1, bagaimana?


Hal ini akan berakibat makin buruk terhadap bangsa karena akan membuka peluang penyele­wengan lagi. Apakah tidak tahu kalau S1, S2, S3 bahkan gelar Pro­fessor pun bisa diperoleh di Ru­­ko atau pasar Senen. Saya sen­di­ri pernah melihat ijazah seperti itu. Dan yang luar biasa, ijazah itu merujuk “Perguruan Tinggi” di AS dan sesudah saya check ti­dak tahu dimana letak Pergu­ruan Tinggi tersebut. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA