Seharusnya pemerintah tidak perlu menurunkan sampai ribuan personel TNI dan Polri, sebab hingga kini tidak ada yang ingin melakukan kudeta.
Buktinya, kata Ferry, pada hari H, tidak terbukti ada ribuan massa yang turun ke jalan. Yang ada hanya bakti sosial oleh MaÂjelis Kedaulatan Rakyat IndoneÂsia alias MKRI yang hanya diÂikuti 20 orang aktivis. “Kan saÂyang biaya pengamanannya yang sangat besar itu terbuang begitu saja,†ujarnya kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Bagaimana pandangan Ferry soal sikap pemerintah ini?
BeriÂkut kutipan lengkap beÂkas aktiÂvis yang pernah dipenjara ini: Apa pandangan Anda soal aksi MKRI 25 Maret lalu dan sikap pemerintah dalam meÂnanggapinya?Saya tidak tahu persis kenapa pemberitaan mengenai aksi MKRI begitu besar bahkan diseÂbut sebagai rencana kudeta oleh Presiden SBY.
Menurut saya, kalau kegiatanÂnya adalah pembagian sembako kepada masyarakat itu sih baik-baik saja dan patut didukung.
Yang jadi maÂsalah adalah bentuk penaÂngaÂnanÂnya yang tidak sebanding deÂngan keadaan di laÂpangan. Kan sayang biaya pengaÂmanannya yang sangat besar itu.
Tapi kan sebelumnya MKRI juga bilang akan ada aksi besar-besaran. Sebagai bekas aktivis, menurut Anda, kenapa mereka mengurungkan niatnya dan mengganti dengan baksos?Saya kurang tahu pasti. Tapi unÂtuk aksi besar, harus ada konÂdisi subyektif dan kondisi obyekÂtif yang relevan, sehingga deÂmonsÂtrasi memiliki dialektika deÂngan kondisi tersebut dan menÂdapatkan dukungan dari maÂsyarakat banyak. Sebuah kudeta hanya bisa dilaksanakan dengan dukungan massa dan tentara yang signifikan, seÂhingga pengambil alihan kekuaÂsaan dapat terjadi.
Saat masih menjadi aktivis, Anda terlihat banyak melakuÂkan aksi, termasuk soal kenaiÂkan harga BBM yang menyeÂbabkan Anda harus masuk penÂjara. Bisa diceritakan pengaÂlaman tersebut?Yah, kalau dulu kan memang ada kenaikan harga yang kemuÂdian direspons dengan berbagai demonstrasi dari masyarakat yang menolak.
Kemudian kami, dari kalangan kelas menengah terÂdidik mengÂaitkan hal itu deÂngan kritik terhaÂdap kebijakan pengelolaan minyak dan gas di Indonesia. KamÂpus-kampus dan gerakan dari kelompok sosial lain beraÂkumulasi menjadi kekuatan poÂlitik yang mampu memaksa PreÂsiden menurunkan harga BBM dan DPR pada saat itu menyetujui pembentukan pansus BBM melalui voting.
Secara konstitusional pembenÂtuÂkan pansus itu dapat menjadi pintu masuk untuk memperbaiki pengelolaan minyak dan gas di negeri ini. Tetapi saya keburu diÂtangkap dan dipenjara. Itu meÂrupakan konsekuensi logis dari sebuah proses perjuangan
Pelajaran apa yang bisa diÂamÂbil dari itu semua?Pertama, kita tidak boleh hanya mengandalkan pada kekuatan ekstra parlemen. Kita juga harus menyadari bahwa dalam era demokrasi seperti sekarang, keÂkuaÂtan partai poÂlitik memegang peran yang sangat menentukan.
Pelajaran lain adalah, kapasiÂtas seorang aktivis harus terus diÂtingkatkan karena kita harus saÂdar bahwa semakin tinggi tangÂgung jawab seorang peÂmimÂpin gerakan juga akan seÂmaÂkin besar tantangannya.
Saya mempelajari betul teori sosial selama dipenÂjara. Setelah keluar dari penjara, saya meÂlanjutkan kuliah doktor soÂsiologi di Universitas IndoÂnesia.
Apa aksi turun ke jalan maÂsih efektif untuk kondisi sekaÂrang?Dalam era demokrasi, kegiaÂtan protes dengan demo meruÂpakan hal wajar. Tapi, kembali keÂpaÂda kita seÂmua melihatnya dan bagaimaÂna demonstrasi itu diÂlakukan.
Bagaimana pandangan Anda terhadap pemerinÂtahan dan kepemimpinan Presiden SBY sekarang?Terlepas dari kelemahannya, kita harus menghormati SBY sebagai pemimpin yang berÂhasil menyelesaikan tangÂgung jaÂwabÂnya selama dua periode kepeÂmimÂpinannya. Namun juga untuk diingatkan suÂpaya pada akhir keÂpemimÂpinanÂnya beliau dapat menuntaskan program pemeÂrinÂtah yang leÂgendaris bagi kesejahteraan rakyat seperti reforÂma agraria dan lain-lain.
Selain aksi, bagaimana cara mengingatkan pemerinÂtah kalau salah?Kalau rakyat hanya bisa deÂmo karena mereka tidak meÂmiÂliki akses pada kekuasaan. Tapi kalau elite, mereka bisa mengÂgunakan jalurnya baik langÂsung atau tidak langsung.
Di luar itu, yang penting adalah kemampuan pemerintah menÂdengarÂkan kritik tersebut. KaÂdang-kadang kekuasaan sering menyaÂlahartikan kritik sebagai perlaÂwanan. Yang deÂmonstrasi sering tidak bisa memÂbedakan kritik dengan menuÂrunkan kekuaÂsaan.
Anda pernah masuk Partai Demokrat, apa alasannya?Saya memang putuskan masuk partai politik. Di Demokrat, teraÂkhir saya menjabat sebagai Ketua DPP bidang Pertanahan. KemuÂdian saya keluar karena
effort yang diÂmiliki ternyata tidak mamÂÂpu menÂcegah penurunan elektabilitas DeÂmoÂkrat karena ketidakcocokan keÂtua umumÂnya dengan ketua Dewan PemÂbina. Saya merasa menjadi kuÂrang signifikan untuk dapat meÂngubah keadaan di internal apalagi kemudian mengarahÂkan partai menjadi kekuatan pengubah.
Kenapa sekarang masuk ke Gerindra? Masuknya saya ke Gerindra karena saya merasa dapat lebih efektif merealisasikan gagasan dan cita-cita perjuangan ke dalam kegiatan politik saya.
Selain di politik, Anda juga terjun di LSM OISCA dan yang concern dalam isu lingÂkungan. Kenapa?Ha ha.... saya kebetulan menÂdaÂpatkan amanah sebagai Ketua Umum OISCA karena mengganÂtikan almarhum BaÂpak Wiyogo Atmodarminto yang wafat tahun lalu.
Kegiatan di organisasi ini seÂjalan dengan kegiatan saya selaÂma ini juga yaitu di bidang pertaÂnian. SamÂpai sekarang saya maÂsih ketua umum Dewan Tani InÂdoÂnesia, juga sebagai salah satu ketua HKTI, jadi sejalanlah.
OISCA ini berkedudukan di Tokyo dan memiliki cabang di 30 negara. Saya juga menjadi Board of Directors OISCA InÂterÂnational yang memiliki banyak
training centre pertaÂnian di banyak negaÂra. KamÂpanye saya saat ini adalah mengÂingatkan pentingnya keÂgiatan riset dan pengembangan perÂtaÂnian. Ini adalah jawaban untuk kemanÂdiÂrian pertanian Indonesia. KeÂmudian kamÂpanye pentingnya pengkaderan SDM di sektor pertanian karena ini adalah jaÂwaban untuk mengatasi kelangÂkaan orang yang bekerja di sekÂtor ini termasuk juga soal penÂtingnya isu lingkungan hidup menjadi
concern politik saya sekaÂrang. [Harian Rakyat Merdeka]
BERITA TERKAIT: