Ferry Juliantono: Kudeta Presiden Berhasil Bila Didukung Massa Dan Tentara

Kamis, 28 Maret 2013, 08:42 WIB
Ferry Juliantono: Kudeta Presiden Berhasil Bila Didukung Massa Dan Tentara
Ferry Juliantono
rmol news logo .Ketua Umum Organization For Industrial Spiritual and Cultural Advancemment (OISCA) Indonesia Ferry Juliantono menilai pemerintah terlalu berlebihan dalam menanggapi isu aksi besar-besaran pada 25 Maret, kemarin.

Seharusnya pemerintah tidak perlu menurunkan sampai ribuan personel TNI dan Polri, sebab hingga kini tidak ada yang ingin melakukan kudeta.

Buktinya, kata Ferry, pada hari H, tidak terbukti ada ribuan massa yang turun ke jalan. Yang ada hanya bakti sosial oleh Ma­jelis Kedaulatan Rakyat Indone­sia alias MKRI yang hanya di­ikuti 20 orang aktivis. “Kan sa­yang biaya pengamanannya yang sangat besar itu terbuang begitu saja,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Bagaimana pandangan Ferry soal sikap pemerintah ini?

Beri­kut kutipan lengkap be­kas akti­vis yang pernah dipenjara ini:
 
Apa pandangan Anda soal aksi MKRI 25 Maret lalu dan sikap pemerintah dalam me­nanggapinya?

Saya tidak tahu persis kenapa pemberitaan mengenai aksi MKRI begitu besar bahkan dise­but sebagai rencana kudeta oleh Presiden SBY.

Menurut saya, kalau kegiatan­nya adalah pembagian sembako kepada masyarakat itu sih baik-baik saja dan patut didukung.

Yang jadi ma­salah adalah bentuk pena­nga­nan­nya yang tidak sebanding de­ngan keadaan  di la­pangan. Kan sayang biaya penga­manannya yang sangat besar itu.

Tapi kan sebelumnya MKRI juga bilang akan ada aksi besar-besaran. Sebagai bekas aktivis, menurut Anda, kenapa mereka mengurungkan niatnya dan mengganti dengan baksos?

Saya kurang tahu pasti. Tapi un­tuk aksi besar, harus ada kon­disi subyektif dan kondisi obyek­tif yang relevan, sehingga de­mons­trasi memiliki dialektika de­ngan kondisi tersebut dan men­dapatkan dukungan dari ma­syarakat banyak. Sebuah kudeta hanya bisa dilaksanakan dengan dukungan massa dan tentara yang signifikan, se­hingga pengambil alihan kekua­saan dapat terjadi.
 
Saat masih menjadi aktivis, Anda  terlihat banyak melaku­kan aksi, termasuk soal kenai­kan harga BBM yang menye­babkan Anda harus masuk pen­jara. Bisa diceritakan penga­laman tersebut?


Yah, kalau dulu kan memang ada kenaikan harga yang kemu­dian direspons dengan berbagai demonstrasi dari masyarakat yang menolak.

Kemudian kami, dari kalangan kelas menengah ter­didik meng­aitkan hal itu de­ngan kritik terha­dap kebijakan pengelolaan minyak dan gas di Indonesia. Kam­pus-kampus dan gerakan dari kelompok sosial lain bera­kumulasi menjadi kekuatan po­litik yang mampu memaksa Pre­siden menurunkan harga BBM dan DPR pada saat itu menyetujui pembentukan pansus BBM melalui voting.

Secara konstitusional pemben­tu­kan pansus itu dapat menjadi pintu masuk untuk memperbaiki pengelolaan minyak dan gas di negeri ini. Tetapi saya keburu di­tangkap dan dipenjara. Itu me­rupakan konsekuensi logis dari sebuah proses perjuangan

Pelajaran apa yang bisa di­am­bil dari itu semua?

Pertama, kita tidak boleh hanya mengandalkan pada kekuatan ekstra parlemen. Kita juga harus menyadari bahwa dalam era demokrasi seperti sekarang, ke­kua­tan partai po­litik memegang peran yang sangat menentukan.

Pelajaran lain adalah, kapasi­tas seorang aktivis harus terus di­tingkatkan karena kita harus sa­dar bahwa semakin tinggi tang­gung jawab seorang pe­mim­pin gerakan juga akan se­ma­kin besar tantangannya.

Saya mempelajari betul teori sosial selama dipen­jara. Setelah keluar dari penjara, saya me­lanjutkan kuliah doktor so­siologi di Universitas Indo­nesia.
 
Apa aksi turun ke jalan ma­sih efektif untuk kondisi seka­rang?

Dalam era demokrasi, kegia­tan protes dengan demo meru­pakan hal wajar. Tapi, kembali ke­pa­da kita se­mua melihatnya dan bagaima­na demonstrasi itu di­lakukan.
 
Bagaimana pandangan Anda terhadap pemerin­tahan dan kepemimpinan Presiden SBY sekarang?

Terlepas dari kelemahannya, kita harus menghormati SBY sebagai pemimpin yang ber­hasil menyelesaikan tang­gung ja­wab­nya selama dua periode kepe­mim­pinannya. Namun juga untuk diingatkan su­paya pada akhir ke­pemim­pinan­nya beliau dapat menuntaskan program peme­rin­tah yang le­gendaris bagi kesejahteraan rakyat seperti refor­ma agraria dan lain-lain.
 
Selain aksi, bagaimana cara mengingatkan pemerin­tah kalau salah?

Kalau rakyat hanya bisa de­mo karena mereka tidak me­mi­liki akses pada kekuasaan. Tapi kalau elite, mereka bisa meng­gunakan jalurnya baik lang­sung atau tidak langsung.

Di luar itu, yang penting adalah kemampuan pemerintah men­dengar­kan kritik tersebut. Ka­dang-kadang kekuasaan sering menya­lahartikan kritik sebagai perla­wanan. Yang de­monstrasi sering tidak bisa mem­bedakan kritik dengan menu­runkan kekua­saan.
 
Anda pernah masuk Partai Demokrat, apa alasannya?

Saya memang putuskan masuk partai politik. Di Demokrat, tera­khir saya menjabat sebagai Ketua DPP bidang Pertanahan. Kemu­dian saya keluar karena effort yang di­miliki ternyata tidak mam­­pu men­cegah penurunan elektabilitas De­mo­krat karena ketidakcocokan ke­tua umum­nya dengan ketua Dewan Pem­bina. Saya merasa menjadi ku­rang signifikan untuk dapat me­ngubah keadaan di internal apalagi kemudian mengarah­kan partai menjadi kekuatan pengubah.

Kenapa sekarang masuk ke Gerindra?

Masuknya saya ke Gerindra karena saya merasa dapat lebih efektif merealisasikan gagasan dan cita-cita perjuangan ke dalam kegiatan politik saya.
 
Selain di politik, Anda juga terjun di LSM OISCA dan yang concern dalam isu ling­kungan. Kenapa?

Ha ha.... saya kebetulan men­da­patkan amanah sebagai Ketua Umum OISCA karena menggan­tikan almarhum Ba­pak Wiyogo Atmodarminto yang wafat tahun lalu.

Kegiatan di organisasi ini se­jalan dengan kegiatan saya sela­ma ini juga yaitu di bidang perta­nian. Sam­pai sekarang saya ma­sih ketua umum Dewan Tani In­do­nesia, juga sebagai salah satu ketua HKTI, jadi sejalanlah.

OISCA ini berkedudukan di Tokyo dan memiliki cabang di 30 negara. Saya juga menjadi Board of Directors OISCA In­ter­national yang memiliki banyak training centre perta­nian di banyak nega­ra. Kam­panye saya saat ini adalah meng­ingatkan pentingnya ke­giatan riset dan pengembangan per­ta­nian. Ini adalah jawaban untuk keman­di­rian pertanian Indonesia. Ke­mudian kam­panye pentingnya pengkaderan SDM di sektor pertanian karena ini adalah ja­waban untuk mengatasi kelang­kaan orang yang bekerja di sek­tor ini termasuk juga soal pen­tingnya isu lingkungan hidup menjadi concern politik saya seka­rang. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA