KPK Telusuri Apa Ada Aliran Dana Ke Senayan

Kasus Pengadaan Simulator SIM

Minggu, 10 Maret 2013, 09:11 WIB
KPK Telusuri Apa Ada Aliran Dana Ke Senayan
ilustrasi/ist
rmol news logo Komisi Pemberantasan Korupsi terus melengkapi berkas kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM Korlantas Polri.

KPK terus memeriksa para saksi kasus yang membuat bekas Ke­pala Korlantas Polri Irjen Djoko Susilo (DS) menjadi tersangka ini. Pada Jumat (7/3), saksi yang di­panggil adalah staf ahli Kor­lantas Polri Soeharno dan ang­go­ta Polri Tri Puji Raharjo.

“Keduanya hadir dan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka DS,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi Sapto Prabowo di Gedung KPK, Jalan Rasuna Said, Ku­ni­ngan, Jakarta Selatan.

Untuk mendalami kasus ini, KPK juga memeriksa sejumlah anggota Komisi III DPR sebagai saksi. Pada Kamis (7/3), giliran anggota Komisi III DPR Dasrul Djabar yang dipanggil KPK se­bagai saksi.

Dasrul tiba di Gedung KPK pu­kul 9.45 WIB. Mengenakan ke­meja biru muda lengan panjang, dia berjalan santai sambil me­nebar senyum. Ditanya seputar agenda pemeriksaannya, Dasrul malah bergegas memasuki Ge­dung KPK.

Politisi Partai Demokrat ini, diperiksa KPK selama sekitar 10 jam di lantai 4 Gedung KPK. Dia ke­luar pukul 8.10 malam. Meski wa­jahnya terlihat lelah, Dasrul ma­sih cukup sabar melayani per­tanyaan awak media yang me­nunggunya.

Menurut Dasrul, permeriksaan hari itu terkait sumber dana pe­nga­daan simulator SIM di Kor­lan­tas. Katanya, sumber dana pe­ngadaan itu berasal dari Pe­ne­ri­maan Negara Bukan Pajak (PNBP), bukan dari APBN.

Lan­taran berasal dari PNBP, lan­jut dia, Komisi III tidak ikut mem­ba­has dana tersebut. “Kare­na itu, yang membahas hanya ke­po­li­sian, dalam hal ini Korlantas de­ngan Ke­menterian Keuangan,” ucapnya.

Dalam pemeriksaan, kata Das­rul, penyidik menanyakan, apa­kah dirinya mengetahui ada pe­r­temuan antara anggota Komisi III DPR dengan pihak Korlantas. “Saya bilang, saya tidak pernah ikut dalam pertemuan. Saya juga tidak tahu kalau ada pertemuan,” jawabnya. Apakah penyidik juga menanyakan ada aliran dana dari Korlantas ke anggota DPR? “Ada pertanyaan itu, dan saya jawab tidak tahu,” ucapnya.

Mengenai bekas Bendahara Umum Partai Demokrat M Na­za­ruddin yang menyebut nama se­jumlah anggota Komisi III DPR diduga menerima dana dari Korlantas, Dasrul menyerahkan pengusutannya kepada KPK.

“Mengenai dugaan-dugaan, saya tak punya kapasitas untuk menjawab. Saya tidak disebut, kalau disebut tentu saya akan kla­rifikasi,” ucapnya.

Namun, jika ada rekan ker­ja­nya di Komisi III DPR terlibat da­lam kasus tersebut, Dasrul me­min­ta KPK tidak ragu untuk mengusutnya. “Semua bentuk pe­langgaran tentu harus ditindak. Kepada siapa saja, tidak hanya di Komisi III,” katanya.  

Menurut Kepala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo, Dasrul bukanlah anggota Komisi III DPR terakhir yang akan di­panggil KPK. KPK akan me­manggil sejumlah anggota DPR lagi guna melengkapi berkas pe­nyidikan kasus Korlantas sebe­lum dilimpahkan ke penuntutan.

Sebelumnya, tiga anggota Ko­misi III DPR diperiksa serentak di Gedung KPK. Mereka adalah Azis Syamsuddin (Golkar), Bam­bang Soesatyo (Golkar) dan Her­man Heri (PDIP). Mereka dipe­riksa sebagai saksi karena Na­za­ru­din mengatakan, tiga anggota DPR itu berada di balik proyek simulator senilai hampir Rp 200 miliar. Bekas Ketua Komisi III DPR Benny K Harman juga diperiksa sebagai saksi kasus ini.

Di tangga depan Gedung KPK, Bambang Soesatyo mengakui, mereka bertiga dipanggil untuk mengklarifikasi pernyataan Nazar. Tentu saja, Bambang membantah.

Sama seperti Benny, Bambang me­ngaku membeberkan meka­nis­me pembahasan anggaran di Ko­misi III. “Semuanya sudah kami sampaikan ke penyidik, dari A sampai Z, mekanisme yang ada di DPR, bagaimana anggaran disetujui, PNBP itu disetujui dan yang terpenting adalah pe­nga­da­an ini tidak menggunakan APBN,” katanya.

KPK juga memeriksa pegawai negeri sipil dari lingkungan Setjen DPR bernama Wiwi dan Mawang, bekas staf ahli Sutjipto (almarhum). “Ketiganya diperik­sa sebagai saksi untuk tersangka DS,” kata Kepala Bagian Infor­masi dan Pemberitaan KPK Pri­harsa Nugraha ketika di­kon­firmasi.

Reka Ulang
KPK Sita 11 Rumah Djoko

Komisi Pemberantasan Korupsi kembali menyita rumah yang di­duga milik tersangka kasus pe­nga­daan simulator SIM Irjen Djo­ko Susilo (DS). Kali ini, rumah DS yang disita KPK berada di Bo­gor, Jawa Barat.

Juru Bicara KPK Johan Budi Sapto Prabowo menyatakan, pe­nyitaan rumah DS merupakan langkah hukum yang harus di­tempuh KPK terkait kasus du­ga­an tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam proyek simulator SIM. “Ada pemasangan plang sita yang dilakukan tim penyidik KPK hari ini,” kata Johan Budi pada Selasa (28/2) lalu.

Rumah yang disita KPK itu berada di Jalan Leuwinanggung, RT 01/008, Kecamatan Tapos, Bogor, Jawa Barat. Luas tanah rumah berpagar tinggi itu, di­per­kirakan sekitar 1,8 hektar.

Sebelumnya, pada Rabu (20/2) lalu, KPK menyita empat rumah yang diduga milik bekas Kepala Korps Lalu Lintas Polri itu. Tiga rumah berada di Jakarta Selatan dan satu rumah di kawasan De­pok, Jawa Barat.

Rumah di Jakarta Selatan be­rada di Kelurahan Petogogan dan Jalan Prapanca, Kebayoran Baru, serta Tanjung Mas Raya, Tanjung Ba­rat, Lenteng Agung. Kemu­dian rumah di Depok, be­rada di Perumahan Pesona Mu­ngil 1, Kelurahan Mekar Jaya, Ke­ca­matan Sukmajaya.

Beberapa pekan sebelumnya, KPK menyita enam rumah milik Djoko di Yogyakarta, Semarang dan Solo. Sampai saat ini, rumah DS yang disita KPK berjumlah 11. “Tersebar di Bogor, Jakarta, De­pok, Solo, Yogyakarta dan Se­marang,” rinci Johan.

 Menurut Johan, penyitaan ini agar tidak ada transaksi jual beli terhadap aset Djoko sambil me­nunggu putusan majelis hakim. “Pemasangan plang sita bukan berarti tidak boleh ditempati, tapi sita sementara agar tidak ada jual beli,” ucapnya.

Katanya, tidak tertutup ke­mung­kinan, jika tim penyidik me­nemukan aset lain yang di­duga berkaitan dengan kasus si­mulator SIM, KPK akan me­la­ku­kan penyitaan lagi. “KPK juga sudah pernah memblokir rek­e­ning milik DS,” ujarnya.

Dalam pengembangan kasus si­mulator SIM, KPK juga me­­me­riksa dua saksi dari pihak swasta. Mereka adalah karyawati PT BNI Elly Sukanti dan Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) Sukotjo S Bam­bang yang lebih dulu ditetapkan se­bagai tersangka oleh KPK. “Su­kotjo S Bambang diperiksa sebagai saksi untuk tersangka DS,” kata Johan.

Dia menambahkan, untuk me­meriksa Sukotjo, KPK sengaja memindahkannya dari Rutan Ke­bon Waru, Bandung ke Rutan Kav­ling C1 di Rutan Gedung KPK, Jakarta. Seperti diketahui, Sukotjo juga terjerat kasus peni­puan dan penggelapan sehingga ditahan di Rutan Kebon Waru.

Johan mengaku, KPK sudah me­minta izin Dirjen Lapas Ke­men­kum HAM, Kalapas Kebon Waru, dan Lembaga Perlind­u­ngan Saksi dan Korban (LPSK) un­tuk memindahkan Sukotjo. “Tu­juannya agar tidak mondar-mandir dan pemeriksaan lebih lengkap,” ujarnya.

Pengacara Sukotjo, Erick S Paat mengatakan, kliennya telah didatangkan ke KPK sejak Selasa (26/2) dini hari. “Dia dijemput dan baru keluar dari sana jam 10 malam. Diperiksa mungkin ber­kaitan kasus simulator SIM se­suai jadwal KPK,” kata Ercik di Ge­dung KPK, Jakarta.

Menurut Erick, dirinya telah menitipkan saran kepada Sukotjo untuk menjelaskan secara detail mengenai kasus simulator SIM. Erick pun menyarankan agar kliennya buka-bukaan mengenai pro­­yek Rp 198,6 miliar itu.

Rumah Yang Disita Mesti Dibuktikan Asal-usulnya
Taslim Chaniago, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Tas­lim Chaniago me­nyam­pai­kan, langkah Komisi Pe­m­be­ran­tasan Korupsi melakukan penyitaan itu positif.

Sebab, melalui penyitaan, bisa ditelusuri siapa saja yang terlibat. Selain itu, bisa dite­lu­suri besaran harta kekayaan ter­sangka yang diduga diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi. “Itu adalah langkah untuk mengungkapkan orang-orang yang terlibat dalam kasus ini,” ujar Taslim.

Selain itu, kata Taslim, p­e­nyi­taan rumah dan aset juga me­ru­pakan langkah antisipasi agar aset-aset yang diduga milik ter­sangka, tidak berpindah tangan sampai status hukum di­pu­tus­kan di pengadilan. “Nanti ter­gan­tung apakah hakim me­mu­tus­kan aset tersebut dike­m­ba­li­kan ke negara atau tidak,” ucap politisi PAN ini.

Taslim berharap, KPK sangat serius mengusut kasus yang di­duga merugikan negara sebesar Rp 100 miliar itu sampai tuntas. “Harapan kita, tentu semua yang terlibat diusut tuntas, ja­ngan hanya Djoko,” ujarnya.

Terkait rumah dan aset yang sudah disita, KPK harus mampu membuktikan darimana asal-usulnya. Apakah memang ber­kai­tan dengan tindak pidana ko­rupsi atau tindak pidana pen­cu­cian uang. “Terhadap penyitaan, tentu KPK harus melihat juga asal usul rumah itu,” ujarnya.

Menurut Taslim, jika pen­yi­dik menemukan kembali aset atau properti yang diduga milik tersangka Djoko, tidak tertutup ke­mungkinan KPK akan me­la­kukan penyitaan lagi. Termasuk jika ada rekening bank milik DS dimana dia menyimpan kek­a­yaannya.

Bisa Dikembalikan Kepada Negara Jika Terbukti
Alvon Kurnia Palma, Ketua YLBHI

Ketua Yayasan Lembaga Ban­tuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Palma mengatakan, adalah kewena­ngan Komisi Pemberantasan Ko­rupsi untuk melakukan pe­nyitaan terhadap aset-aset yang diduga hasil korupsi atau di­gu­na­kan dalam tindak pidana pen­cucian uang (TPPU).

Termasuk melakukan sita ru­mah yang diduga milik Irjen Djoko Susilo (DS). Namun, kata dia, KPK harus bisa mem­buktikannya apakah aset ter­se­but berkaitan atau tidak dengan tindak pidana korupsi.

“Dari hasil sita ini, nanti ha­rus dibuktikan KPK, apakah be­nar hasil dari tindak pidana ko­rupsi,” katanya.

Alvon menilai, KPK telihat ku­rang gesit melakukan pe­nyi­ta­an harta yang diduga milik DS. Kata dia, karena bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Ke­uangan (PPATK), KPK seha­rus­nya bisa lebih cepat menelusuri harta kekayaan DS.

Alvon mengatakan, agar aset yang kini telah disita itu bisa di­kembalikan ke negara, KPK ha­rus kerja keras untuk mem­buk­tikan sangkaan Pasal 18 Un­dang Undang Nomor 31 Ta­hun 1999 Tentang Tindak Pi­da­na Korupsi (Tipikor) di pe­nga­dilan.

“Konstruksi hukum yang di­gunakan KPK dalam penun­tutan, tidak hanya Pasal 11 dan 12, tapi juga Pasal 18,” ucap dia.

Menurutnya, pada kasus Angelina Sondakh, KPK tidak bisa membuktikan Pasal 18, se­hingga tidak ada perintah pe­ngembalian harta kekayaan ke­pada negara. Pasal tersebut, lan­jut Alvon, diharapkan tak hanya memberi efek jera kepada pe­la­ku, namun juga memberikan pe­ringatan kepada pihak yang akan melakukan korupsi. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA