Komjen Pol (Purn) Noegroho Djajoesman: Kerja Densus 88 Sudah Bagus, Sayang Kalau Dibubarkan

Sabtu, 09 Maret 2013, 08:48 WIB
Komjen Pol (Purn) Noegroho Djajoesman: Kerja Densus 88 Sudah Bagus, Sayang Kalau Dibubarkan
Noegroho Djajoesman
rmol news logo .Detasemen Khusus (Densus) 88 masih dibutuhkan untuk memberantas terorisme. Belum saatnya dibubarkan. Kecuali kalau terorisme sudah nggak ada lagi di negeri ini.

“Dulu waktu banyak bom, Polri didesak untuk tangkap teroris. Sekarang kerja Densus sudah ba­gus, kan sayang kalau dibu­bar­kan,” ujar sesepuh Polri, Komjen Pol (Purn) Noegroho Djajoes­man, kepada Rakyat Merdeka, kemarin. 

Seperti diketahui, wacana pem­bubaran Densus 88  dipelo­pori MUI, PP Muhammadiyah dan se­jumlah ormas.

Densus yang  sudah 10 tahun bergelut memberantas terorisme ini dianggap sudah keterlaluan. In­dikasinya, ada beberapa do­ku­mentasi serta video yang mere­kam sejumlah pelanggaran HAM terhadap terduga teroris.

Noegroho Djajoesman selan­jutnya mengatakan,  membu­bar­kan Densus 88 karena tuduhan pe­langgaran HAM oleh segelintir kelompok, sama sekali tidak men­jadi solusi.

“Membentuk detasemen sehe­bat Densus bukanlah perkara ri­ngan,’’ kata bekas Kapolda Metro Jaya itu.

Berikut kutipan selengkapnya;

Apa Mabes Polri menin­dak­lanjuti atau membiarkan saja wacana itu?

Ini kan suatu wacana. Boleh-boleh saja disampaikan secara luas kepada publik. Tapi perlu di­ingat, wacana ini sensitif. Jangan dibiarkan berkembang tak beru­jung pangkal, hanya menjadi kega­duhan baru di dalam negeri.

Densus dianggap merampas hak terduga teroris seperti pe­ra­watan dokter, beribadah, dan kekebasan memilih penga­cara, ini bagaimana?


Saya rasa apa yang menjadi hak-hak terduga atau tersangka, selama dalam pemeriksaan, pasti akan diperoleh dan tentunya dise­suaikan dengan situasi saat itu. Hak-hak tersebut bukan hanya berlaku bagi terduga atau ter­sangka teroris. Tapi juga terhadap seluruh pelaku kejahatan.

Ada agama tertentu merasa terstigma jelek karena pola pem­berantasan terorisme, tang­gapan Anda?

Agama dan terorisme dua hal yang bertentangan. Boleh ditelu­suri, bahwa kenyataan dan fakta se­jarah terorisme membuktikan bah­wa agama dan terorisme tak selalu melekat. Stigma ini sangat tidak benar dan relevan.

Dari beberapa kasus di Indo­nesia dan mancanegara, jika di­cer­mati, sesungguhnya terorisme hanya memanfaatkan agama demi memperjuangkan tujuan se­be­narnya, yakni politik tertentu. Se­baiknya kita tidak perlu mem­bawa-bawa agama dalam wacana pembubaran Densus ini. Dengan adanya Densus selama ini, kita rasakan banyak man­faat­nya bagi bangsa dan negara.    

Apa ada kepentingan politik tertentu  yang menuntut Den­sus dibubarkan?

Saya tidak mau masuk dalam masalah ini.

Tapi saya hanya mengharapkan adanya pemikiran yang jernih dari kita semuanya serta menya­dari betapa bahaya­nya masalah terorisme  bila tidak segera dita­ngani secara tuntas.

Benarkah Densus meng­ang­gap kekerasan itu halal untuk teroris?

Tidak benar. Hanya saja dalam penanganan kasus terorisme ini tidak sama dengan penanganan kejahatan lainnya karena tingkat ancaman dan dampaknya  pun berbeda. Kalau pun  ada pe­nyim­pangan, itu semata-mata per­buatan oknum.

Namun se­baik­nya ja­ngan digeneralisir. Cu­kup ke­salahan dievaluasi dan di­perbaiki. Mari kita dorong ba­gaimana kesa­tuan Densus bisa se­nantiasa profe­sio­nal dalam me­laksanakan fungsi dan tugasnya.

Dengan adanya kritik dari ma­syarakat, tentunya Densus 88 akan lebih meningkatkan profe­sionalismenya. 

Bagaimana dengan bukti video kekerasan yang dijadi­kan pembenaran?

Saat ini kan sedang diteliti dan diperiksa kebenarannya. Setahu saya Kabareskrim Polri pun telah memberikan klarifikasi.

Bicara kekuatan senjata, atu­ran serta kelembagaan, Densus itu kan lebih terpro­teksi, kena­pa melakukan ke­kerasan?


Sebagaimana yang telah saya sampaikan tadi, tingkat ancaman dan dampak kejahatan terorisme ini sangat tinggi dan luas. Para pelaku terorisme ini sangat ideo­logis dan justru membenarkan se­ga­la cara.

Contoh beberapa kasus seperti Bom Bali I dan II, pele­dakan Hotel JW Marriot dan se­ba­gainya  telah merenggut  nya­wa banyak orang yang tidak berdosa.

Bagaimana dengan stigma Densus itu kaki tangan negara Barat?

Stigma itu kan hanya penafsi­ran sementara orang saja. Tapi ma­salah penanganan kasus te­rorisme ini mau tidak mau harus berkoordinasi dengan negara lain, baik untuk kepentingan informasi maupun pendataan. Tidak me­nutup kemungkinan pelaku-pelaku terorisme di negara kita ini mempunyai kaitan dengan pe­laku-pelaku terorisme di luar negeri.  

Faktanya Densus mendapat bantuan dana dan pelatihan dari asing?


Bantuan dan pelatihan itu kan suatu bentuk kerja sama. Yang jelas, mereka tidak di bawah ken­dali atau perintah kekuatan asing.

Mabes Polri dan Badan Na­sional Penanggulangan Teroris  dituding membiarkan Densus melanggar HAM, ini bagai­mana?


Jangan terlalu berpikir negatif. Sebagai bagian dari institusi Pol­ri, Densus 88 pun tidak lepas dari pengamatan serta penilaian dari Pimpinan Polri.

Kalaupun terjadi penyim­pa­ngan, pasti pimpinan Polri akan mengambil langkah tegas.

Densus sepertinya tak bisa membela diri atas tuduhan itu, kenapa?


Saya rasa ini langkah yang baik dan tepat. Ada pepatah dalam bahasa Inggris menyebutkan, Silent is golden. Yang penting bagi bangsa ini kan rasa aman dan nyaman lahir-bathin.

Bukankah di awal berdiri tahun 2003 Densus 88 dikenal ramah?


Saya menilainya sih sama saja. Mungkin juga mulai terkuaknya seluruh jaringan terorisme di tanah air, membawa sikap Densus pun menjadi lebih hati-hati dan waspada. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA