Beri Keterangan Bohong, Saksi Bisa Jadi Terdakwa

Sidang Lanjutan Kasus Dugaan Korupsi PLTS

Jumat, 07 Desember 2012, 09:11 WIB
Beri Keterangan Bohong, Saksi Bisa Jadi Terdakwa
Neneng Sri Wahyuni
rmol news logo Hakim Pengadilan Tipikor berang menanggapi polah saksi kasus korupsi proyek PLTS di Kemenakertrans. Hakim pun mengancam menjadikan saksi sebagai tersangka bila tetap nekat memberi kesaksian bohong.

Ancaman serius itu di­lon­tar­kan hakim Pangeran Napitupulu di persidangan dengan terdakwa Neneng Sri Wahyuni, kemarin. Dia mengultimatum saksi Marisi Ma­tondang yang keterangannya di­nilai bertele-tele.

Pada awal kesaksian, Marisi bi­lang sebagai pemilik PT Mahkota Negara (MN). Kepemilikan sa­ham­nya di situ mencapai 70 per­sen. Tapi begitu hakim Tati In­driati mengorek keterangan saksi le­bih dalam, dia mengatakan, sebenarnya kepemilikan saham di perusahaan itu hanya formalitas belaka.

Mendengar kesaksian tersebut, hakim kemudian mencecar Ma­risi dengan pertanyaan lain. “Apa yang saudara tahu tentang PT Anugerah Grup?” Saksi men­ja­wab santai. Dia mengaku tidak tahu PT Anugerah Grup.

“Yang saya tahu PT Anugerah Nu­santara,” timpalnya. Men­de­ngar jawaban tersebut hakim Tati geregetan. Dia meminta saksi menghormati persidangan. Bu­kan malah menebar senyum ke­tika menjawab pertanyaan. “Ja­ngan tertawa.”

Hakim Tati juga tidak puas men­dengar argumen saksi yang seringkali menjawab tidak tahu saat ditanya soal hubungan PT MN dengan AN. Begitu pula saat diminta menjelaskan mekanisme tender proyek PLTS.

Dalam sidang,  Marisi bilang,  pro­ses tender proyek PLTS di Ke­menakertrans diketahui dari pe­ngumuman di koran. Tapi hakim ti­dak percaya. Hakim mengang­gap kesaksian ini tidak benar. Soalnya, kata hakim Tati, ketera­ngan tersebut berbeda dengan ke­terangan di dalam berkas acara pe­meriksaan (BAP).

“Jangan berbelit-belit. Anda juga bisa diperiksa sebagai ter­dak­wa,” tegasnya. Menimpali per­nyataan tersebut, hakim Pa­ngeran Napitupulu bertanya pada jaksa. “Apakah saksi sudah men­jadi terdakwa kasus ini.” Jaksa bilang, “Belum yang mulia.”

Hal serupa juga terjadi ma­na­kala hakim mengorek keterangan saksi Dedi Irvandi. Karyawan PT Anugerah Nusantara itu dinilai sarat dengan kebohongan. Pa­sal­nya, ketika ditanya soal per­te­muan dengan Neneng untuk ne­go­isasi gaji, Dedi mengaku tak pernah bertemu Neneng. “Tidak. Yang menentukan kenaikan gaji Ibu Rosa,” ucapnya.

Keterangan Dedi berubah tat­kala kuasa hukum terdakwa, Elza Syarief menanyakan, “Apa saksi pernah ketemu dengan Ne­neng?”Dedi menjawab, “Ya, saat nego gaji.”

Hal itu jelas membuat hakim ma­kin berang. Hakim Tati me­ngujarkan, kalau saksi berbohong pasti akan diketahui.  Dia pun me­negaskan, agar saksi memberi ke­terangan yang benar. Kepada ma­jelis hakim, Dedi lalu mem­be­nar­kan bahwa dirinya pernah ber­te­mu Neneng dan Mindo Rosalina.

“Benar. Saya pernah bertemu de­ngan Ibu Rosa juga Ibu Ne­neng. Namun dalam ruang dan wak­tu ter­pisah.” Pertemuan itu di­lakukan untuk negoisasi ke­naikan gaji. Hasilnya, Neneng menyetujui ke­naikan gaji saksi dari Rp 700 ribu menjadi Rp 1,5 juta.

Reka Ulang

Neneng Terancam 20 Tahun Penjara

Dalam dakwaan dijelaskan, Neneng Sriwahyuni, Direktur Ke­uangan PT Anugerah Nusan­tara secara sendiri atau bersama-sama melawan hukum m­­e­la­ku­kan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau kor­porasi. Akibat tindakannya dalam proyek Pembangkit Listrik Te­naga Surya (PLTS) Ke­me­na­ker­trans, terdakwa dianggap bisa me­rugikan keuangan negara.

“Terdakwa melakukan inter­vensi kepada pejabat pembuat ko­mitmen dan pejabat pengguna ang­garan dalam penentuan pe­menang lelang PLTS,” terang jaksa penuntut umum, Ahmad Burhanuddin, saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor,  Kamis (1/11).

Menurut jaksa, Neneng ikut mengalihkan pekerjaan utama dari PT Alfindo Nuratama ke PT Sundaya dalam proses pengadaan dan pemasangan PLTS. PT Al­findo dipinjam bendera peru­sa­haannya oleh PT Anugerah Nu­santara yang juga bagian dari Grup Permai. “Telah memper­kaya diri ter­dakwa atau Na­za­rud­din atau PT Anugerah Nusantara Rp 2,2 mi­liar,” sebut jaksa.

Perbuatan Neneng diatur dan diancam pidana Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tin­dak Pidana Korupsi dan Pasal 3 UU Pemberantasan Korupsi. An­caman hukuman dalam kasus ter­sebut, 20 tahun penjara.

Tapi Neneng membantah. Dia mengaku tidak menjabat sebagai direktur keuangan PT Anugerah Nusantara.

“Status pekerjaan saya  bukan direktur keuangan , saya ibu ru­mah tangga,” katanya seusai men­dengar pembacaan dakwaan.

Dia menjawab, mengerti dak­waan yang disusun penuntut umum dari KPK. “Saya mengerti tapi menolak dakwaan,” ujarnya. Kuasa hukumnya, Elza Syarief pun menekankan, dakwaan pada kliennya cacat hukum.

“Secara akte maupun faktual bukan dia direktur. Berarti surat dakwaan itu sudah cacat hukum,L tegasnya.

Pihak penasihat hukum Ne­neng pun menyoal, kenapa KPK ti­dak menjadikan Yulianis ter­sang­ka. Padahal dalam BAP Yu­lianis tanggal 1 Juni 2011, dia me­ngaku  pernah mengantarkan uang jutaan dolar ke pejabat Menpora.

Kuasa hukum lainnya, Ju­ni­mart Girsang mengatakan dak­wa­an terhadap Neneng dipaksakan. “Sekarang buat apa tanda tangan kalau tidak masuk dalam akte, ti­dak ada gunannya. Jadi dakwaan itu dalam statuspun sudah salah, kami berpendapat dakwaan itu di­p­aksakan,” imbuhnya.

Beri Kesaksian Palsu, Terancam 5 Tahun Penjara

Neta S Pane, Ketua Presidium IPW

Ketua Presidium Indonesia Po­lice Watch (IPW) Neta S Pane menjelaskan, ketak-konsistenan saksi memberi keterangan jus­tru merugikan saksi-saksi. Bu­kan tidak mungkin, status saksi kelak berubah jadi terdakwa.

“Ini sangat terkait dengan kon­sistensi saksi dalam me­ngungkap sebuah perkara,” ka­tanya. Dia menggarisbawahi, keterangan saksi di persidangan adalah keterangan resmi di bawah sumpah.

Jadi kalau ada saksi yang memberikan keterangan bo­hong, bisa diproses sesuai ke­ten­tuan KUHP. Kata dia, saksi-saksi tersebut bisa dianggap mem­berikan kesaksian palsu.

Jika merujuk pada ketentuan KUHP, saksi-saksi yang mem­berikan keterangan bohong bisa diancam hukuman penjara lima tahun. “Itu ada aturannya dalam KUHP,” ucapnya.

Lebih jauh, dia meng­ap­re­siasi sikap hakim yang tegas da­lam menilai keterangan saksi ka­sus dugaan korupsi PLTS Ke­menakertrans ini. Pasalnya, ke­suksesan mengorek keterangan saksi akan berefek pada pe­nun­tasan perkara. Jadi, mau tidak mau hakim harus berani me­ngambil terobosan-terobosan guna mencegah saksi memberi keterangan bohong.

Jika pada kenyataannya, sak­si-saksi tetap bersikukuh mem­beri keterangan palsu, hakim pun tidak perlu ragu-ragu lagi untuk meminta jaksa mengubah status saksi menjadi tersangka. Atau tambahnya, hakim dapat meminta kepolisian dan pene­gak hukum lain untuk me­m­pro­ses saksi secara hukum.

Intinya, semua tindakan ha­kim atas saksi, dilaksanakan guna membuat terang perkara. Apa­lagi, saksi-saksi yang di­mak­sud adalah saksi-saksi yang diang­gap punya keterkaitan da­lam ka­sus yang disidangkan.

Saksi-saksi Punya  Beragam Motivasi

Desmon J Mahesa, Anggota Komisi III DPR

Politisi Partai Gerindra Des­mon J Mahesa menilai, saksi mempunyai peran vital dalam mengungkap suatu perkara. Oleh sebab itu, keterangan sak­si sangat membantu hakim dalam menimbang dan mem­u­tus perkara.

Disebutkan, seringkali ada saksi yang mempunyai moti­vasi tertentu dalam suatu perkara. Oleh sebab itu, hakim dan jaksa ha­rus cermat menilai hal ini. “Ada beberapa kriteria saksi yang mesti diperhatikan,” katanya.

Saksi-saksi ini tentu, sam­bung dia, adalah orang-orang yang mengetahui duduk per­kara. Selain mengetahui, saksi juga bisa sebagai orang yang ikut terlibat dalam perkara.

Jadi tidak salah jika dalam per­jalanan pengungkapan per­kara, status saksi berubah men­jadi tersangka. Lalu jika asumsi tersebut dikaitkan dengan saksi untuk terdakwa Neneng, ia se­pakat bila hakim mengancam untuk mengubah saksi menjadi tersangka.

“Sepanjang alat buktinya cukup, tidak ada alasan bagi penegak hukum untuk tidak menetapkan saksi menjadi tersangka.” Dia menambahkan, idealnya, hakim maupun pen­e­gak hukum lainnya mempunyai pertimbangan matang dalam mengubah status  saksi  kasus PLTS  menjadi tersangka.

Bukan semata hanya didasari oleh penilaian yang emosional. Apalagi tanpa didukung oleh fak­ta hukum yang layak. Soal­nya, pertimbangan-pe­r­tim­ba­ngan tersebut akan menentukan kualitas penegak hukum yang berada di garda terdepan dalam memerangi korupsi.

Sebaliknya, bila saksi benar-benar mampu memberi bantuan da­lam menyingkap perkara, se­mua pihak hendaknya tidak se­gan memberikan rekomendasi agar saksi mendapatkan per­lin­du­ngan maksimal.

“Faktor ini juga akan mem­berikan kenuyamanan bagi sak­si dalam memberikan ke­te­ra­ngannya.”  [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA