Susno Duadji Tetap Kena 3 Tahun 6 Bulan Penjara

Kasasinya Ditolak Mahkamah Agung

Rabu, 05 Desember 2012, 09:11 WIB
Susno Duadji Tetap Kena 3 Tahun 6 Bulan Penjara
Susno Duadji
rmol news logo .Mahkamah Agung menolak kasasi Komjen (purn) Susno Duadji. Akan tetapi, pihak Susno dan tim kuasa hukumnya, belum menerima salinan kasasi yang diputus pada 22 November lalu.

Salinan isi putusan kasasi me­n­yebutkan, MA menolak  perkara kasasi nomor  899 K/PID.SUS/2012. Perkara kasasi tersebut di­ajukan Susno, bekas Ka­ba­res­krim Polri  karena merasa ke­be­ratan dengan putusan pengadilan sebelumnya.

Lewat kuasa hukumnya, Henry Yosodiningrat, Susno menolak hu­kuman penjara tiga tahun enam bulan yang diputus Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pe­nga­dilan Tinggi DKI Jakarta. Ma­sa­lahnya, kata Henry, pe­lang­garan tindak pidana yang di­tu­duhkan kepada kliennya tidak cu­kup bukti.

Tim kuasa hukum, sebut Hen­ry, menilai putusan penga­di­lan tingkat pertama  hanya men­dasari putusan pada keterangan satu sak­si. Masing-masing saksi itu ada­lah, Syahril Djohan dalam ka­sus penyalahgunaan we­we­nang penanganan perkara PT Sa­lamah Arowana Lestari (SAL). Serta saksi Maman Abdurahman pada kasus korupsi dana pe­nga­manan Pilkada Jawa Barat tahun 2008.

Keberatan lainnya, beber Hen­ry, Pengadilan Tinggi DKI tidak mempertimbangkan penerapan hukum secara utuh alias hanya se­potong-sepotong. Dia ber­pen­da­pat, argumen tersebut men­do­rong bekas Kapolda Jawa Barat ini untuk mengajukan kasasi. Tapi hasil dari kasasi itu, lagi-lagi justru menguatkan putusan pe­ngadilan sebelumnya.

Kendati begitu, dia menolak memberi penjelasan rinci terkait pu­tusan kasasi ini. Alasan Henry, pihaknya sama sekali belum me­nerima salinan putusan kasasi. Jadi belum bisa komentar ba­nyak. “Kita tunggu salinan kasasi lebih dulu,” ucapnya. Setelah itu, dia akan mempelajari putusan dan menentukan langkah hukum apa yang akan diambil.

Pada prinsipnya, Henry me­ngi­ngatkan kliennya sudah berupaya maksimal mematuhi ketentuan hukum. “Kami belum tahu apa per­timbangan MA menolak ka­sasi klien kami,” katanya.

Dalam salinan putusan kasasi yang dilansir situs MA, kemarin, majelis hakim kasasi yang di­ke­tuai Zaharuddin Utama, hakim ang­gota Leopold L Hutagalung, MS Lumme dan Sri Murwahyuni memutus kasasi sesuai putusan pengadilan sebelumnya. Putusan kasasi diambil pada 22 No­vem­ber 2012.

Dalam pertimbangannya, ma­jelis hakim kasasi memutus Sus­no bersalah dalam perkara tindak pidana korupsi penanganan per­kara PT SAL dan korupsi dana pe­ngamanan Pilkada Jabar 2008.

Susno dinyatakan terbukti me­nyalahgunakan kewe­na­ngan­nya ketika menjabat Kabareskrim Pol­ri dalam menangani kasus PT SAL. Saat itu, Susno disebut me­nerima hadiah Rp 500 juta. Dana tersebut, diduga untuk mem­per­ce­pat penyidikan kasus ini. Lalu pada kasus dugaan korupsi pe­ngamanan Pilkada Jabar, Susno dinyatakan terbukti memangkas anggaran pengamanan Rp 4,2 miliar. Akibat tuduhan tersebut, Susno pun tetap dihukum sesuai putusan PN Jaksel selama 3,5 ta­hun penjara.

Sementara, saat dikonfirmasi, apakah MA sudah mengirimkan salinan putusan kasasi Susno Duadji ke PN Jaksel dan kubu pe­mohon kasasi, Juru Bicara Mah­kamah Agung Djoko Sarwoko, belum bersedia memberi pen­jelasan.

Reka Ulang

Susno Didakwa, Susno Membantah

Susno Duadji didakwa me­nye­le­­w­engkan dana pengamanan Pe­milihan Gubernur Jawa Barat se­ki­tar Rp 8 miliar. Menurut jaksa pe­nuntut umum (JPU), Susno me­lakukannya saat menjabat sebagai Kapolda Jawa Barat pada 2008.

“Terdakwa melakukan pe­mo­to­ngan anggaran dana penga­ma­nan Pilkada Jawa Barat dari hibah Pemprov Jabar sebesar Rp 8 mi­liar,” kata jaksa Narendra Jatna saat membacakan dakwaan di Pe­ngadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu, 29 September 2011.

Kronologi versi jaksa penuntut umum (JPU), Susno pada Maret 2008 menandatangani surat per­mohonan anggaran pengamanan pilkada kepada Pemprov Jabar se­kitar Rp 27 miliar. Dana itu di­se­tujui Pemprov dengan pen­cai­ran sebanyak empat tahap. Ke­mudian, Susno meminta Kabag Ke­uangan Polda Jabar saat itu, Ma­man Abdurrahman untuk membuka rekening baru di Bank Jabar Banten. Dana tersebut ren­cananya akan dialokasikan ke se­jumlah satuan kepolisian.

Namun, menurut dakwaan JPU, dana yang diterima kes­a­tuan-kesatuan tak sesuai yang di­anggarkan Pemprov Jabar. Di­an­taranya dana untuk Satuan In­telijen dan Keamanan yang hanya diterima Rp 550 juta dari Rp 1,2 miliar yang dijanjikan.

Setelah pencairan tuntas, se­lu­ruh satuan dan alokasi dana ter­hi­tung hanya menerima sekitar Rp 19 miliar. Padahal, dalam la­po­ran pertanggungjawaban, Sus­no mengatakan seluruh dana hi­bah sebesar Rp 27 miliar terpakai, dan hanya menyisakan Rp 2 juta.

Jaksa mendakwa Susno dan sejumlah orang lainnya meng­gu­na­kan selisih dana Rp 8 miliar ini untuk kepentingan pribadi. Susno menerima Rp 4 miliar, dan sisa­nya dibagi-bagikan ke sejumlah pejabat di Polda Jabar dan Pemprov Jabar.

Menurut Susno, keterangan Ma­man Abdulrachman tidak di­du­kung alat bukti. Dalam ke­sak­sian­­nya, pada sidang 6 Januari 2011, Maman menerangkan, uang hasil pemotongan dana pe­nga­manan Pilkada Jabar ta­hun 2008 antara lain digunakan untuk membeli satu unit sedan Camry sebagai mobil dinas Ka­polda Ja­bar. Susno mengaku ti­dak pernah memerintahkan Ma­man membeli mobil Camry me­ngunakan pemo­to­ngan dana hibah penga­ma­nan Pilkada Jabar 2008.

Susno juga didakwa menerima suap Rp 500 juta untuk mem­bantu penanganan perkara pe­nang­karan ikan arwana PT Sal­mah Arwana Lestari (SAL) saat menjabat Kepala Bareskrim Polri. Dalam kasus ini, teman Sus­no, Sjahril Djohan juga di­vo­nis bersalah oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Se­latan. Menurut majelis hakim, Sja­hril terbukti mengantar Rp 500 juta itu kepada Susno.

Dalam pembelaannya, Susno ber­sikukuh bahwa fakta yang di­tuduhkan kepadanya palsu. Me­nurutnya, keterangan Sjahril yang menyebut tanggal 4 De­sem­ber 2008 datang ke rumah Susno, Ja­lan Abusirin Nomor 2  B, Ja­karta Selatan tidak benar. Apa­lagi, ke­datangan Sjahril untuk me­nye­rah­kan suap Rp 500 juta.

“Orang yang mengungkap ma­fia hukum dalam perkara ini saya. Alangkah bodohnya, kalau benar saya menerima uang dari Sjahril, kemudian saya bongkar, dan ter­nyata pelakunya saya sen­diri. Tak masuk akal,” katanya.

Jangan Dijadikan Momentum Bargain

Bambang Widodo Umar, Dosen Ilmu Kepolisian

Dosen Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Kepolisian Universitas In­do­nesia Bambang Widodo Umar menyarankan majelis hakim pada tingkat selanjutnya lebih komprehensif menimbang fakta hukum perkara Susno Duadji.

Dengan begitu, beda pan­da­ngan antara hakim dan pe­na­si­hat hukum dapat diselesaikan se­cara profesional. “Dasar pe­ngajuan banding dan kasasi itu dilatari adanya ketidakpuasan. Ketakpuasan atas putusan ha­kim pengadilan tingkat pertama itu, idealnya diuji secara kom­prehensif,” katanya, kemarin.

Dengan kata lain, sebut pur­na­wirawan Polri berpangkat ter­akhir Kombes ini, MA hen­dak­nya memiliki formula untuk mensinkronisasi setiap putusan pengadilan di bawahnya. Sin­kro­nisasi itu bisa dioptimalkan bila produk putusan pengadilan sebelumnya, dianggap tidak se­suai kewajaran. “Jadi, ada pe­doman atau rambu-rambu da­lam mengambil putusan hu­kum,” ujarnya.

Dia juga mewanti-wanti, be­lum adanya salinan putusan yang diterima pihak Susno, ti­dak dijadikan sebagai mo­men­tum untuk membuka bargain-bargain tertentu.

Bambang menyarankan, mekanisme pengiriman salinan putusan yang kerap lamban, hendaknya diperbaiki. Ketua MA pun diminta untuk me­nge­va­luasi prosedur, sistem mau­pun individu yang menangani pengiriman salinan putusan.

Untuk mencegah penye­le­we­ngan, dia juga meminta Mah­ka­mah Agung mau lebih mem­buka diri. Salinan-salinan pu­tu­san ka­sasi, lanjut Bambang, se­baiknya juga dikirim ke Komisi Yudisial.

Menurut dia, sebagai lem­baga pengawas hakim atau MA, KY bisa mengontrol secara lang­sung mekanisme tersebut. Dengan begitu, dugaan pe­nye­lewengan di sektor ini bisa di­tin­daklanjuti secara pro­por­sio­nal. “Bisa ditelusuri dan di­beri­kan sanksi tegas. Apakah me­nyangkut pelanggaran admi­nis­tratif semata atau mengandung un­sur pidana,” ucapnya.

Agar Tak Hilang Di Tengah Jalan

Rindhoko Wahono, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Rindhoko Wahono menilai, tidak ada aturan KUHAP yang menga­tur tenggat waktu pengi­riman sa­linan putusan kasasi. Dia pun me­wanti-wanti agar salinan kasasi tidak hilang di tengah jalan.

Menurutnya, tenggat waktu pengiriman salinan putusan biasanya memakan waktu satu bulan sampai tiga bulan setelah putusan. “Hal itu diatur dalam Peraturan MA,” ujarnya. Na­mun, dia menilai, masih banyak salinan putusan kasasi yang diduga disalahgunakan.

Proses itu bisa terjadi ma­na­kala salinan putusan dikirim ke pengadilan. Dalam proses pe­ngiriman ini, lanjutnya, proses pengaburan salinan putusan itu bisa terjadi. “Itu bisa menjadi per­mainan oknum-oknum. Tu­juan pengaburan seperti itu, hing­ga penghilangan salinan pu­tusan, patut ditelisik, apakah untuk menghambat proses eksekusi,” katanya.

Menurutnya, proses seperti ini dapat juga terjadi dalam upaya mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Kata Rindhoko, modusnya bisa untuk meng­hin­dari eksekusi.

Dia pun mencontohkan be­be­rapa eksekusi yang tidak le­ng­kap. “Ada tiga terpidana m­i­sal­nya, tapi hanya satu yang di­eksekusi. Dua lainnya tetap be­bas karena salinan putusan tidak sampai. Ini kan tidak adil,” tandasnya.

Oleh sebab itu, dia meminta Ketua Mahkamah Agung lebih te­gas dalam mengawasi dan mem­perbaiki kinerja jajaran­nya. Pembersihan oknum-ok­num yang diduga me­man­faa­t­kan kelemahan seperti itu, hen­daknya dilakukan secara kom­prehensif. Bukan dilaksanakan secara temporer.

Terkait perkara Susno Duadji, dia mengingatkan agar meka­nis­me putusan kasasi dan pe­ngiriman salinan putusan di­la­kukan ­secara transparan. Mak­sud­nya, jangan sampai putusan kasasi yang diputus MA baru diketahui satu bulan kemudian. Hal tersebut dilakukan agar pre­seden hilangnya salinan p­u­tu­san juga bisa diantipasi. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA