Jaksa Agung: Praperadilan Kasus Chevron Bermasalah

Pengacara Tersangka Minta Kasus Ini Dihentikan

Minggu, 02 Desember 2012, 09:04 WIB
Jaksa Agung: Praperadilan Kasus Chevron Bermasalah
ilustrasi/ist
rmol news logo .Jajarannya kalah dalam praperadilan yang diajukan empat tersangka kasus Chevron, Jaksa Agung geram. Di sisi lain, pengacara para tersangka, meminta kasus ini dihentikan karena hakim praperadilan telah memutus, penetapan dan penahanan tersangka tak berdasar bukti kuat.   

Jaksa Agung Basrief Arief me­nilai, ketetapan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas pra­peradilan yang diajukan empat ter­sangka dari PT Chevron Pasi­fic Indonesia (CPI), bermasalah.

Hakim menetapkan, salah se­orang tersangka, penetapan status tersangkanya tidak sah. Dan, empat tersangka dari Chevron itu ditetapkan agar segera dilepaskan dari rumah tahanan. “Ada satu ter­sangka, diantara empat ter­sang­ka itu, yang putusan hakim­nya mengenai penetapan ter­sang­ka yang tidak sah,” kata Basrief di Gedung Kejaksaan Agung, Ja­karta, Jumat (30/11).

Kendati belum membaca pu­tusan itu secara lengkap, Basrief mengaku telah memerintahkan anak buahnya untuk memeriksa semua proses praperadilan ter­se­but. Soalnya, penetapan status ter­sangka, bukan ranah pra­pe­ra­dilan. “Yang punya kewenangan dalam menetapkan tersangka itu adalah penyidik,” tandas bekas Wakil Jaksa Agung ini.

Yang pasti, lanjut Basrief, Ke­jaksaan Agung tidak tinggal diam. Pekan depan, katanya, Ke­jagung akan bersikap. “Ini masih kami kaji, karena masih ada wak­tu seminggu sampai Selasa. Hari Senin sudah ada sikap,” ujarnya.

Kejaksaan Agung menilai, yang bermasalah itu adalah pu­tu­san hakim Sukoharsono atas praperadilan yang diajukan ter­sangka Bachtiar Abdul Fatah.

Begini ceritanya, dalam pu­tu­san yang dibacakan serentak di empat ruang sidang PN Jaksel pada Selasa (27/11), empat hakim tunggal menyatakan penahanan terhadap empat tersangka oleh penyidik Kejagung tidak sah, karena tidak didasari bukti yang cukup sebagaimana diatur Pasal 183 KUHAP.

Yang menimbulkan keberatan Kejagung, salah satu dari empat hakim tunggal, yakni Suko­har­sono juga mengabulkan pe­r­mo­ho­nan tersangka Bachtiar Abdul Fatah agar penetapan tersangka ter­hadapnya dinyatakan tidak sah. Bukan sekadar pena­ha­nan­nya yang tidak sah.

Sedangkan menurut Kejagung, sah atau tidaknya penetapan ter­sangka, bukan ranah pra­pe­ra­dilan. Soalnya, penetapan ter­sang­ka itu menyangkut materi perkara yang harus dibuktikan di pengadilan, bukan praperadilan.

Sedangkan tiga hakim yang menangani permohonan tiga ter­sangka lain, hanya menyatakan bahwa penahanan oleh penyidik yang tidak sah.  Bukan penetapan tersangkanya.

Empat hakim tunggal yang me­nangani praperadilan ini, yakni M Samiadji menangani permohonan tersangka Widodo, Suko Harsono menangani permohonan ter­sang­ka Bachtiar Abdul Fatah, Har­yo­no menangani permohonan ter­sangka Kukuh Restafari, dan Ari Jiwantara menangani per­mo­ho­nan tersangka Endah Ru­m­bi­ya­n­ti.  Empat hakim itu memutuskan menerima sebagian dari per­mo­ho­nan praperadilan yang diaju­kan keempat pemohon itu.

Setelah empat hakim me­nge­luarkan putusan, kuasa hukum empat tersangka yang menga­ju­kan praperadilan, Maqdir Ismail meminta Kejagung mengentikan penyidikan. “Kasus ini harus di­hentikan, karena alasan pe­ne­ta­pan tersangka itu tidak ada,” kata Maqdir seusai sidang putusan ha­kim praperadilan di PN Jaksel, Jalan Ampera Raya.

Maqdir mengakui, hakim tidak menerima permohonan empat karyawan Chevron agar Kej­a­gung menghentikan penyidikan ka­sus ini. Namun, katanya, hakim menyatakan penetapan dan pe­nahanan empat tersangka itu ti­dak sah, sehingga penyidikan harus digugurkan.

“Kalau tidak sah jadi ter­sang­ka, penyidikannya juga tidak sah. Hemat saya, kasus ini harus di­tu­tup, kecuali kejaksaan punya tersangka baru. Menurut hakim, penetapan tersangka pada empat orang ini tidak sah. Karena tidak ada tersangka, tidak ada perkara pidana,” tandasnya.

Tapi, menurut Jaksa Agung Bas­rief Arief, Kejagung tidak berhenti menangani kasus yang diduga merugikan negara hampir Rp 100 miliar ini. Dia me­nya­ta­kan, Kejagung tetap berupaya mem­bawa para tersangka kasus ini ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). “Kalau sudah selesai se­mua pemberkasan, tentu akan kami limpahkan. Sekarang masih tahap pem­berkasan,” ujarnya.

Akankah kasus ini betul-betul bergulir ke pengadilan? Yang pas­ti, setelah keluar putusan pra­pe­radilan itu, Kejagung telah mem­b­ebaskan empat tersangka kasus ini dari rumah tahanan sesuai pu­tusan hakim.

Reka Ulang

Putusan Sidang Praperadilan Itu...

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Setia Untung Arimuladi menyam­pai­kan, proses penyidikan kasus Chev­ron tidak berhenti. Soalnya, menurut dia, sidang praperadilan tidak menguji materi perkara.

“Praperadilan hanya menguji tindakan formal penyidik, untuk memastikan hak asasi seseorang dilanggar atau tidak. Jadi, penyidi­kan kasus ini jalan terus,” ucapnya.

Hakim Pengadilan Negeri Ja­karta Selatan telah memutuskan, penahanan empat karyawan PT Chevron Pacific Indonesia oleh K­e­jaksaan Agung tidak sah. Ha­kim juga memerintahkan Ke­ja­gung membebaskan empat ter­sang­ka kasus dugaan korupsi pro­yek pemulihan lahan (bio­re­me­dia­si) tambang minyak PT Chevron itu.

Dalam sidang yang digelar se­rentak di empat ruang sidang ber­beda di PN Jaksel, empat hakim tunggal yang menangani permo­ho­nan praperadilan empat ter­sangka itu, memutuskan untuk menerima sebagian permohonan.

Empat hakim itu yakni, hakim M Samiadji untuk sidang pemo­hon Wi­dodo, hakim Suko Har­so­no un­tuk sidang pemohon Bach­tiar Ab­dul Fatah, Hakim Haryono untuk sidang pemohon Kukuh Restafari dan hakim Ari Jiwan­tara untuk si­dang pemohon En­dah Rumbiyanti.

Hakim Suko Harsono dalam pu­tusannya menyebutkan, pene­ta­pan tersangka dan penahanan terhadap Bachtiar tidak sah. “Me­merintahkan kepada termohon untuk membebaskan tersangka Bachtiar Abdul Fatah dari taha­nan, seketika setelah putusan ini dibacakan,” tandasnya.

Namun, menurut Suko, hakim ti­dak berwenang menghentikan penyidikan. “Untuk meng­hen­ti­kan penyidikan, bukan me­ru­pa­kan ruang lingkup materi pr­a­pe­ra­dilan, sehingga terhadap per­mo­honan ini harus dikes­am­ping­kan dan ditolak,” katanya.

Sedangkan menurut hakim M Sa­miadji yang menangani per­mo­honan praperadilan Widodo, penahanan yang dilakukan pe­nyidik Pidsus Kejagung tidak didasarkan alat bukti yang cukup, sehingga tidak sah. Menurutnya, pe­nahanan dapat dilakukan pe­negak hukum berdasarkan alat bukti yang cukup, sesuai Pasal 183 KUHAP. “Misalnya, ada dua saksi, ada hasil audit. Di berkas ti­dak ada, tidak diajukan semua, sehingga kami anggap itu tidak cu­kup,” kata Samiadji.

Selama sidang praperadilan, lanjut Samiadji, pihak Kejagung tidak mampu menunjukkan buk­ti-bukti kuat yang menjadi acuan penahanan tersangka.

“Termohon tidak ajukan bukti-bukti lain yang dianggap me­me­nuhi Pasal 183 KUHAP itu. Jadi, karena penahanan tidak did­a­sar­kan pada alat bukti yang cukup, maka penahahan itu harus di­nya­takan tidak sah,” katanya.

Dalam putusannya, hakim Ari Jiwantara menyatakan, pena­ha­nan terhadap Endah tidak sah, ka­rena tidak cukup bukti dan tidak sesuai KUHAP. Lantaran itu, Ari memerintahkan Kejagung mem­be­baskan Endah.

“Memerintahkan termohon un­tuk membebaskan pemohon, mem­bayar ganti rugi kepada p­e­mohon sebesar Rp 1 juta, me­mu­lihkan hak-hak pemohon serta harkat martabatnya. Menghukum termohon membayar biaya pra­pe­radilan,” tegasnya.

Putusan serupa juga diketuk ha­kim Haryono yang menangani per­mohonan praperadilan ter­sang­ka Kukuh Restafari.

Kejaksaan Tetap Bisa Lanjutkan Kasus Tersebut

Eva Kusuma Sundari, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari menyam­paikan, putusan praperadilan yang ditetapkan hakim Penga­dilan Negeri Jakarta Selatan, ti­dak akan menghapus proses pe­nuntutan terhadap para ter­sang­ka kasus Chevron.

“Putusan praperadilan tidak menghilangkan kasus. Jadi, kejaksaan bisa melanjutkan ka­sus tersebut, tapi dengan ter­sang­ka jadi tahanan luar misal­nya,” ujar anggota DPR dari Fraksi PDIP ini.

Dia mengatakan, proses pra­peradilan hanya sebuah sarana untuk memastikan, apakah ada persoalan dalam masalah pena­ha­nan tersangka, misalnya. Akan tetapi, bukan mengadili po­kok perkara yang disidik.

“Praperadilan kan adu ke­adi­lan, adu argumen, tapi khusus soal penahanannya. Jadi, tidak ada pilihan, kejaksaan mesti mempercepat proses ke pe­nun­tutan, sehingga segera ada pu­tu­san dalam kasus ini,” kata Eva.

Jika ada penetapan hakim bah­wa status seorang tersangka ti­dak sah melalui sidang pra­pe­radilan, lanjut Eva, hal itu patut diteliti, apakah menyalahi atu­ran hukum dan ketentuan yang ada. “Soal terbukti atau tidak ter­bukti melakukan pidana, itu adalah wewenang hakim kasus, bukan praperadilan,” ujarnya.

Lantaran itu, menurutnya, Ke­jaksaan Agung dapat me­laporkan masalah ini ke Komisi Yudisial (KY). “Laporkan saja ke Komisi Yudisial. Tidak boleh satu kasus diadili berkali-kali, toh ada mekanisme banding juga bagi terdakwa. We­we­na­ng­nya praperadilan kan menyoal penahanan saja,” ucap Eva.

Menurut Eva, perkara dugaan bioremediasi fiktif ini sudah menjadi sorotan publik. Kasus ini pun menjadi salah satu poin penting bagi Kejaksaan Agung untuk menunjukkan kinerjanya kepada masyarakat luas.

Dia menambahkan, proses pembuktian di persidangan pun harus dipantau masyarakat. Se­bab, menurutnya, kasus seperti ini rentan dipermainkan. “Ja­ngan sampai lengah,” ucapnya.

Praperadilan Tidak Hentikan Penanganan Perkara

Agustinus Pohan, Pengamat Hukum

Pengamat hukum dari Uni­versitas Parahyangan (Un­par) Agustinus Pohan menyam­pai­kan, aturan perundang-unda­ngan sudah jelas menyebutkan apa saja yang menjadi kewe­nangan sidang praperadilan. Karena itu, jika hakim memutus di luar hal-hal itu, maka layak dipertanyakan.

“Di dalam KUHAP, diatur ten­tang apa saja yang dapat di­ajukan ke praperadilan, dan itu sudah rinci namun ada kata ‘tin­dakan lain’ silahkan liat pasal 95 KUHAP. Tapi, maknanya tidak sampai soal penetapan ter­sang­ka, karena berarti memasuki ma­teri perkara,” ujar Agustinus Pohan.

Bagaimana pun, lanjut Agus­tinus, putusan hakim yang tadinya hendak menjamin hak tersangka, jika sudah memasuki materi perkara, malah akan men­ciderai keadilan itu sendiri.

“Sekalipun mungkin saja pu­tusan tersebut merupakan tero­bo­san hukum baru untuk me­lin­dungi tersangka dari kese­we­nang-wenangan, atau putusan itu sendiri yang  merupakan ke­sewenang-wenangan,” ujar dia.

Dengan demikian, Agustinus menyarankan agar putusan pra­peradilan itu dikaji. “Saya kira pu­tusan itu perlu dikaji dan mung­kin hakimnya perlu di­periksa KY,” ujarnya.

Agustinus pun meng­i­ngat­kan, penanganan perkara itu ti­dak akan terhenti karena putu­san praperadilan. Karena itu, sebaiknya Kejaksaan Agung se­gera melakukan tindakan yang perlu dalam penuntasan kasus ini.

“Putusan praperadilan tidak menghentikan perkara. Ter­sang­ka bisa diperiksa ulang atau buktinya dilengkapi agar layak untuk ditetapkan sebagai ter­sangka,” ujarnya.

Perkara ini akan berhenti, lanjut Agustinus, bila penyi­dik­nya telah masuk angin. “Bisa berhenti kalau penyidiknya tidak berminat melanjutkan,” ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA