.Jajarannya kalah dalam praperadilan yang diajukan empat tersangka kasus Chevron, Jaksa Agung geram. Di sisi lain, pengacara para tersangka, meminta kasus ini dihentikan karena hakim praperadilan telah memutus, penetapan dan penahanan tersangka tak berdasar bukti kuat.
Jaksa Agung Basrief Arief meÂnilai, ketetapan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas praÂperadilan yang diajukan empat terÂsangka dari PT Chevron PasiÂfic Indonesia (CPI), bermasalah.
Hakim menetapkan, salah seÂorang tersangka, penetapan status tersangkanya tidak sah. Dan, empat tersangka dari Chevron itu ditetapkan agar segera dilepaskan dari rumah tahanan. “Ada satu terÂsangka, diantara empat terÂsangÂka itu, yang putusan hakimÂnya mengenai penetapan terÂsangÂka yang tidak sah,†kata Basrief di Gedung Kejaksaan Agung, JaÂkarta, Jumat (30/11).
Kendati belum membaca puÂtusan itu secara lengkap, Basrief mengaku telah memerintahkan anak buahnya untuk memeriksa semua proses praperadilan terÂseÂbut. Soalnya, penetapan status terÂsangka, bukan ranah praÂpeÂraÂdilan. “Yang punya kewenangan dalam menetapkan tersangka itu adalah penyidik,†tandas bekas Wakil Jaksa Agung ini.
Yang pasti, lanjut Basrief, KeÂjaksaan Agung tidak tinggal diam. Pekan depan, katanya, KeÂjagung akan bersikap. “Ini masih kami kaji, karena masih ada wakÂtu seminggu sampai Selasa. Hari Senin sudah ada sikap,†ujarnya.
Kejaksaan Agung menilai, yang bermasalah itu adalah puÂtuÂsan hakim Sukoharsono atas praperadilan yang diajukan terÂsangka Bachtiar Abdul Fatah.
Begini ceritanya, dalam puÂtuÂsan yang dibacakan serentak di empat ruang sidang PN Jaksel pada Selasa (27/11), empat hakim tunggal menyatakan penahanan terhadap empat tersangka oleh penyidik Kejagung tidak sah, karena tidak didasari bukti yang cukup sebagaimana diatur Pasal 183 KUHAP.
Yang menimbulkan keberatan Kejagung, salah satu dari empat hakim tunggal, yakni SukoÂharÂsono juga mengabulkan peÂrÂmoÂhoÂnan tersangka Bachtiar Abdul Fatah agar penetapan tersangka terÂhadapnya dinyatakan tidak sah. Bukan sekadar penaÂhaÂnanÂnya yang tidak sah.
Sedangkan menurut Kejagung, sah atau tidaknya penetapan terÂsangka, bukan ranah praÂpeÂraÂdilan. Soalnya, penetapan terÂsangÂka itu menyangkut materi perkara yang harus dibuktikan di pengadilan, bukan praperadilan.
Sedangkan tiga hakim yang menangani permohonan tiga terÂsangka lain, hanya menyatakan bahwa penahanan oleh penyidik yang tidak sah. Bukan penetapan tersangkanya.
Empat hakim tunggal yang meÂnangani praperadilan ini, yakni M Samiadji menangani permohonan tersangka Widodo, Suko Harsono menangani permohonan terÂsangÂka Bachtiar Abdul Fatah, HarÂyoÂno menangani permohonan terÂsangka Kukuh Restafari, dan Ari Jiwantara menangani perÂmoÂhoÂnan tersangka Endah RuÂmÂbiÂyaÂnÂti. Empat hakim itu memutuskan menerima sebagian dari perÂmoÂhoÂnan praperadilan yang diajuÂkan keempat pemohon itu.
Setelah empat hakim meÂngeÂluarkan putusan, kuasa hukum empat tersangka yang mengaÂjuÂkan praperadilan, Maqdir Ismail meminta Kejagung mengentikan penyidikan. “Kasus ini harus diÂhentikan, karena alasan peÂneÂtaÂpan tersangka itu tidak ada,†kata Maqdir seusai sidang putusan haÂkim praperadilan di PN Jaksel, Jalan Ampera Raya.
Maqdir mengakui, hakim tidak menerima permohonan empat karyawan Chevron agar KejÂaÂgung menghentikan penyidikan kaÂsus ini. Namun, katanya, hakim menyatakan penetapan dan peÂnahanan empat tersangka itu tiÂdak sah, sehingga penyidikan harus digugurkan.
“Kalau tidak sah jadi terÂsangÂka, penyidikannya juga tidak sah. Hemat saya, kasus ini harus diÂtuÂtup, kecuali kejaksaan punya tersangka baru. Menurut hakim, penetapan tersangka pada empat orang ini tidak sah. Karena tidak ada tersangka, tidak ada perkara pidana,†tandasnya.
Tapi, menurut Jaksa Agung BasÂrief Arief, Kejagung tidak berhenti menangani kasus yang diduga merugikan negara hampir Rp 100 miliar ini. Dia meÂnyaÂtaÂkan, Kejagung tetap berupaya memÂbawa para tersangka kasus ini ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). “Kalau sudah selesai seÂmua pemberkasan, tentu akan kami limpahkan. Sekarang masih tahap pemÂberkasan,†ujarnya.
Akankah kasus ini betul-betul bergulir ke pengadilan? Yang pasÂti, setelah keluar putusan praÂpeÂradilan itu, Kejagung telah memÂbÂebaskan empat tersangka kasus ini dari rumah tahanan sesuai puÂtusan hakim.
Reka Ulang
Putusan Sidang Praperadilan Itu...
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Setia Untung Arimuladi menyamÂpaiÂkan, proses penyidikan kasus ChevÂron tidak berhenti. Soalnya, menurut dia, sidang praperadilan tidak menguji materi perkara.
“Praperadilan hanya menguji tindakan formal penyidik, untuk memastikan hak asasi seseorang dilanggar atau tidak. Jadi, penyidiÂkan kasus ini jalan terus,†ucapnya.
Hakim Pengadilan Negeri JaÂkarta Selatan telah memutuskan, penahanan empat karyawan PT Chevron Pacific Indonesia oleh KÂeÂjaksaan Agung tidak sah. HaÂkim juga memerintahkan KeÂjaÂgung membebaskan empat terÂsangÂka kasus dugaan korupsi proÂyek pemulihan lahan (bioÂreÂmeÂdiaÂsi) tambang minyak PT Chevron itu.
Dalam sidang yang digelar seÂrentak di empat ruang sidang berÂbeda di PN Jaksel, empat hakim tunggal yang menangani permoÂhoÂnan praperadilan empat terÂsangka itu, memutuskan untuk menerima sebagian permohonan.
Empat hakim itu yakni, hakim M Samiadji untuk sidang pemoÂhon WiÂdodo, hakim Suko HarÂsoÂno unÂtuk sidang pemohon BachÂtiar AbÂdul Fatah, Hakim Haryono untuk sidang pemohon Kukuh Restafari dan hakim Ari JiwanÂtara untuk siÂdang pemohon EnÂdah Rumbiyanti.
Hakim Suko Harsono dalam puÂtusannya menyebutkan, peneÂtaÂpan tersangka dan penahanan terhadap Bachtiar tidak sah. “MeÂmerintahkan kepada termohon untuk membebaskan tersangka Bachtiar Abdul Fatah dari tahaÂnan, seketika setelah putusan ini dibacakan,†tandasnya.
Namun, menurut Suko, hakim tiÂdak berwenang menghentikan penyidikan. “Untuk mengÂhenÂtiÂkan penyidikan, bukan meÂruÂpaÂkan ruang lingkup materi prÂaÂpeÂraÂdilan, sehingga terhadap perÂmoÂhonan ini harus dikesÂamÂpingÂkan dan ditolak,†katanya.
Sedangkan menurut hakim M SaÂmiadji yang menangani perÂmoÂhonan praperadilan Widodo, penahanan yang dilakukan peÂnyidik Pidsus Kejagung tidak didasarkan alat bukti yang cukup, sehingga tidak sah. Menurutnya, peÂnahanan dapat dilakukan peÂnegak hukum berdasarkan alat bukti yang cukup, sesuai Pasal 183 KUHAP. “Misalnya, ada dua saksi, ada hasil audit. Di berkas tiÂdak ada, tidak diajukan semua, sehingga kami anggap itu tidak cuÂkup,†kata Samiadji.
Selama sidang praperadilan, lanjut Samiadji, pihak Kejagung tidak mampu menunjukkan bukÂti-bukti kuat yang menjadi acuan penahanan tersangka.
“Termohon tidak ajukan bukti-bukti lain yang dianggap meÂmeÂnuhi Pasal 183 KUHAP itu. Jadi, karena penahanan tidak didÂaÂsarÂkan pada alat bukti yang cukup, maka penahahan itu harus diÂnyaÂtakan tidak sah,†katanya.
Dalam putusannya, hakim Ari Jiwantara menyatakan, penaÂhaÂnan terhadap Endah tidak sah, kaÂrena tidak cukup bukti dan tidak sesuai KUHAP. Lantaran itu, Ari memerintahkan Kejagung memÂbeÂbaskan Endah.
“Memerintahkan termohon unÂtuk membebaskan pemohon, memÂbayar ganti rugi kepada pÂeÂmohon sebesar Rp 1 juta, meÂmuÂlihkan hak-hak pemohon serta harkat martabatnya. Menghukum termohon membayar biaya praÂpeÂradilan,†tegasnya.
Putusan serupa juga diketuk haÂkim Haryono yang menangani perÂmohonan praperadilan terÂsangÂka Kukuh Restafari.
Kejaksaan Tetap Bisa Lanjutkan Kasus Tersebut
Eva Kusuma Sundari, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari menyamÂpaikan, putusan praperadilan yang ditetapkan hakim PengaÂdilan Negeri Jakarta Selatan, tiÂdak akan menghapus proses peÂnuntutan terhadap para terÂsangÂka kasus Chevron.
“Putusan praperadilan tidak menghilangkan kasus. Jadi, kejaksaan bisa melanjutkan kaÂsus tersebut, tapi dengan terÂsangÂka jadi tahanan luar misalÂnya,†ujar anggota DPR dari Fraksi PDIP ini.
Dia mengatakan, proses praÂperadilan hanya sebuah sarana untuk memastikan, apakah ada persoalan dalam masalah penaÂhaÂnan tersangka, misalnya. Akan tetapi, bukan mengadili poÂkok perkara yang disidik.
“Praperadilan kan adu keÂadiÂlan, adu argumen, tapi khusus soal penahanannya. Jadi, tidak ada pilihan, kejaksaan mesti mempercepat proses ke peÂnunÂtutan, sehingga segera ada puÂtuÂsan dalam kasus ini,†kata Eva.
Jika ada penetapan hakim bahÂwa status seorang tersangka tiÂdak sah melalui sidang praÂpeÂradilan, lanjut Eva, hal itu patut diteliti, apakah menyalahi atuÂran hukum dan ketentuan yang ada. “Soal terbukti atau tidak terÂbukti melakukan pidana, itu adalah wewenang hakim kasus, bukan praperadilan,†ujarnya.
Lantaran itu, menurutnya, KeÂjaksaan Agung dapat meÂlaporkan masalah ini ke Komisi Yudisial (KY). “Laporkan saja ke Komisi Yudisial. Tidak boleh satu kasus diadili berkali-kali, toh ada mekanisme banding juga bagi terdakwa. WeÂweÂnaÂngÂnya praperadilan kan menyoal penahanan saja,†ucap Eva.
Menurut Eva, perkara dugaan bioremediasi fiktif ini sudah menjadi sorotan publik. Kasus ini pun menjadi salah satu poin penting bagi Kejaksaan Agung untuk menunjukkan kinerjanya kepada masyarakat luas.
Dia menambahkan, proses pembuktian di persidangan pun harus dipantau masyarakat. SeÂbab, menurutnya, kasus seperti ini rentan dipermainkan. “JaÂngan sampai lengah,†ucapnya.
Praperadilan Tidak Hentikan Penanganan Perkara
Agustinus Pohan, Pengamat Hukum
Pengamat hukum dari UniÂversitas Parahyangan (UnÂpar) Agustinus Pohan menyamÂpaiÂkan, aturan perundang-undaÂngan sudah jelas menyebutkan apa saja yang menjadi keweÂnangan sidang praperadilan. Karena itu, jika hakim memutus di luar hal-hal itu, maka layak dipertanyakan.
“Di dalam KUHAP, diatur tenÂtang apa saja yang dapat diÂajukan ke praperadilan, dan itu sudah rinci namun ada kata ‘tinÂdakan lain’ silahkan liat pasal 95 KUHAP. Tapi, maknanya tidak sampai soal penetapan terÂsangÂka, karena berarti memasuki maÂteri perkara,†ujar Agustinus Pohan.
Bagaimana pun, lanjut AgusÂtinus, putusan hakim yang tadinya hendak menjamin hak tersangka, jika sudah memasuki materi perkara, malah akan menÂciderai keadilan itu sendiri.
“Sekalipun mungkin saja puÂtusan tersebut merupakan teroÂboÂsan hukum baru untuk meÂlinÂdungi tersangka dari keseÂweÂnang-wenangan, atau putusan itu sendiri yang merupakan keÂsewenang-wenangan,†ujar dia.
Dengan demikian, Agustinus menyarankan agar putusan praÂperadilan itu dikaji. “Saya kira puÂtusan itu perlu dikaji dan mungÂkin hakimnya perlu diÂperiksa KY,†ujarnya.
Agustinus pun mengÂiÂngatÂkan, penanganan perkara itu tiÂdak akan terhenti karena putuÂsan praperadilan. Karena itu, sebaiknya Kejaksaan Agung seÂgera melakukan tindakan yang perlu dalam penuntasan kasus ini.
“Putusan praperadilan tidak menghentikan perkara. TerÂsangÂka bisa diperiksa ulang atau buktinya dilengkapi agar layak untuk ditetapkan sebagai terÂsangka,†ujarnya.
Perkara ini akan berhenti, lanjut Agustinus, bila penyiÂdikÂnya telah masuk angin. “Bisa berhenti kalau penyidiknya tidak berminat melanjutkan,†ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: