.Hakim mencecar terdakwa Markus Suryawan dan Beni Andreas. Tindakan PT Jakarta Investmen dan Jakarta Aset Managemen menerima dana investasi dari PT Askrindo berupa kontrak pengelolaan dana, repo saham dan obligasi, diduga menyalahi aturan Bapepam.
Terdakwa Markus mengakui, perusahaan manajer investasi seharusnya tidak menerima dana investasi sebelum dapat izin BaÂdan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK). Tapi dia bersikukuh, ada pengecualian untuk itu.
“Menurut saya, tanpa izin BaÂpeÂpam, repo saham bisa, tapi yang lain tidak,†ujar Direktur PT JaÂkarta InvÂesÂtÂment (JI) dan JaÂkarta Aset Manajemen (JAM) ini dalam sidang di Pengadilan TiÂpiÂkor, Jakarta Selasa siang (20/11).
Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Pangeran Napitupulu, Markus mengklaim, perusahaan manajer investasi yang dikelolanya telah meÂlaÂkuÂkan penempatan dana kepada seÂmua penerima dana kelolaan meÂlalui prosedur yang benar. ArtiÂnya, menurut terdakwa, pÂeÂneÂriÂmaan dana dari PT Asuransi KreÂdit Indonesia (Askrindo) diÂlaÂkuÂkan setelah melalui due-diligen dan audit, serta menerapkan unÂsur kehati-hatian.
Bahkan, lanjut Markus, distriÂbusi dana ke PT Vitron yang kini berÂmasalah, sebelumnya diÂlaÂkuÂkan deÂngan mengedepankan unÂsur keÂhati-hatian. Markus pun meÂngaku semÂpat mengecek langÂsung ke pabÂrik PT Vitron di ZenÂchen, China.
Persoalannya, tak semua pengÂguna dana bertanggung jawab terhadap kewajibannya. Markus menyebut, Vitron yang dikelola tersangka Tommy dan manager investasi RAM yang dikelola Josep Ginting sebagai salah satu piÂhak yang menerima dana keÂloÂlaan dari JI dan JAM, melarikan diri. Akibatnya, muncul perÂsoaÂlan kredit macet yang merugikan keuangan negara, mengingat PT Asuransi Kredit Indonesia (AsÂkrindo) termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Hakim Pangeran Napitupulu berÂtanya, “Apakah PT Tranka Kabel membayar kewaÂjiÂbanÂnya?†Markus menjawab, PT Tranka Kabel (TK) mencicil keÂwajibannya. Pembayaran dilÂaÂkuÂkan sesuai jadwal senilai Rp 63 miliar, sisanya Rp 62,5 miliar, beÂlum masuk masa jatuh tempo. ToÂtal utang PT TK Rp 125,5 miliar.
Pangeran kembali bertanya kepada Markus, “Siapa nasabah yang tidak membayar kewaÂjiÂbanÂnya?†Markus menjawab, peÂruÂsaÂhaan yang belum membayar kewajibannya adalah PT Vitron, PT Indowan dan PT MMI, karena perusahaan-perusahaan itu sudah tidak aktif dan pemiliknya ada yang melarikan diri.
“Jika pengÂguna dana tersebut membayar kewajiban mereka terhadap JI dan JAM, tentu hal ini tidak akan menjadi perkara huÂkum seperti sekarang,†katanya.
Mendengar pernyataan MarÂkus, jaksa penuntut umum (JPU) Esther P Sibuea bertanya, kenapa terdakwa, dalam hal ini PT JI dan JAM tak menyetorkan pemÂbaÂyaÂran PT TK sebesar Rp 35 miliar dan Rp 28 miliar kepada Askrindo?
Menjawab hal ini, Markus menunjukkan bukti pembayaran kepada Askrindo sebesar Rp 28 miliar. Lagi-lagi, dia menyatakan, perusahaan lain seperti Indowan, Vitron dan Multi Megah InterÂnusa (MMI) belum meÂnyeÂleÂsaiÂkan kewajibannya. “Jadi, begitu menurut Anda. Baik kalau beÂgiÂtu,†tandas hakim Pangeran.
Pada bagian lain, JPU Ester memÂpertanyakan, mengapa pemÂbayaran yang diterima manajer investasi PT JS dimasukkan ke rekening pribadi terdakwa. Beni menjawab, di PT JS, dia menjabat Direktur dan terdakwa Markus seÂbagai pemegang saham. SeÂdangÂkan di PT JI, terdakwa MarÂkus yang menjabat Direktur. Di PT JI, Beni sebagai pemegang saham. Kantor kedua perusahaan manajer investasi itu berada pada gedung yang sama.
Lebih jauh, jaksa Tasjrifin meÂnegaskan, izin Bapepam adalah lanÂdasan perusahaan manajer investasi untuk melakukan konÂtrak investasi. Beni mengakui, meÂmÂang ada kontrak yang belum mendapat lisensi Bapepam. Dia mencontohkan, saat mengikat kontrak kerja dengan Askrindo unÂtuk investasi ke sejumlah peÂrusahaan pengguna dana, PT JAM belum mendapat lisensi Bapepam.
Namun, Markus bersikukuh, tindakannya tidak bisa disaÂlahÂkan. Soalnya, realisasi kontrak yang diÂajukan JI dan JAM disÂeÂtujui AsÂkrindo pada 2006. Dalam kontrak itu, JAM mendapat rekÂsaÂÂdana Rp 5 miliar dan KPD Rp 48 miliar. UnÂtuk JI, KPD seÂnilai Rp 5 miÂliar, repo saham Rp 133 miliar dan obligasi Rp 12 milliar.
Reka Ulang
Ada Nasabah Yang Diduga Kabur Dan Perusahaannya Dinonaktifkan
Beni Andreas dan Markus SurÂyaÂwan didakwa merugikan keÂuangan negara Rp 267 miliar. Hal itu diÂdasari dugaan mÂeÂneÂriÂma peÂnemÂpaÂtan investasi dari PT Asuransi KreÂdit Indonesia (AsÂkrindo) berupa kontrak peÂngÂeÂloÂlaan dana (KPD), penjualan dan pembelian saham kembali (repo saham) serta obÂliÂgasi kepada peÂrusahaan pengelola inÂvestasi di paÂsar modal, atau peÂÂruÂsaÂhaan manÂajer investasi.
Perkara yang menjerat kedua terdakwa, berawal ketika perusaÂhaan manajer investasi milik meÂreka, yaitu PT Jakarta Investmen (PT JI) dan Jakarta Aset MÂaÂnaÂgeÂment (PT JAM) tidak mengemÂbaliÂkan dana pembayaran para nasabah JI dan JAM kepada PT Askrindo.
SeÂtelah kasus ini diÂbawa ke perÂsiÂdangan, baru diÂkeÂtahui bahÂwa JI dan JAM tidak memÂbaÂyarkan dana yang telah dibaÂyarÂkan beÂbeÂrapa naÂsabahnya kepada AsÂkrinÂdo, bahkan ada yang diÂtransfer ke rekening priÂbadi terdakwa.
Belakangan juga diketahui, beberapa perusahaan yang menÂjadi nasabah kedua perusahaan terdakwa, pemiliknya ada yang melarikan diri dan perusahaannya telah dinonaktifkan pemiliknya. Akibatnya, perusahaan manager investasi JI dan JAM tidak dapat mengembalikan dana Askrindo.
Selain didakwa memperkaya diri sendiri dan orang lain, MarÂkus dan Benny juga dijerat pasal pencucian uang. Menurut jaksa peÂnuntut umum (JPU), kedua terÂÂdakwa telah menggunakan uang pengembalian atau pemÂbaÂyaran nasabah untuk membeli seÂjumlah aset, diantaranya beÂruÂpÂa beberapa apartemen mewah di Jakarta.
Delik pencucian uang diÂteÂrapÂkan karena PT JAM serta JI diÂduÂga terlibat persekongkolan deÂngan oknum pejabat di PT AsÂkrinÂdo. Hal itu telah menyeÂbabÂkan dua direksi Askrindo, Zulfan Lubis dan Rene Setiawan yang perÂsidangannya lebih dahulu diÂlakukan, dijatuhi hukuman 6 taÂhun dan 5 Tahun penjara oleh MajÂelis Hakim Pengadilan TipiÂkor Jakarta yang diketuai PaÂngeÂran Napitupulu.
Nilai penempatan dana PT Askrindo kepada PT JAM, PT JI dan berupa KPD, repo saham serta titip jual obligasi, totalnya seÂbesar Rp 267 miliar. Angka ini pula yang dianggap jaksa sebagai kerugian negara.
Secara umum, berdasarkan data Badan Pengawas Pasar MoÂdal dan Lembaga Keuangan (BaÂpeÂpam LK), penempatan invesÂtasi dalam berbagai bentuk itu dilakukan melalui lima peÂruÂsaÂhaÂan manajer investasi.
Kelima peÂruÂsahaan peÂngelola aset itu yakÂni, PT HarÂvesÂtindo AsÂset MaÂnaÂgement (HAM), PT Jakarta InÂvestment (JI), PT ReÂliance Asset Management (RAM), PT Batavia Prosperindo Financial Services (BPFS) dan PT Jakarta SeÂcurities (JS).
Saksi & Terdakwa Ditimbang Secara Proporsional
Daday Hudaya, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR DaÂday Hudaya meminta majelis hakim mempertimbangkan seÂluÂruh fakta yang berkembang daÂlam persidangan kasus Askrindo.
Semua bentuk bukti yang terÂkait perkara korupsi ini, lanjut Daday, idealnya diperiksa secaÂra intensif. “Hakim-hakim di sini, saya rasa sangat beÂrÂpeÂngaÂlaman dalam menggali fakta dan bukti-bukti,†kata anggota DPR dari Partai Demokrat ini.
Kata Daday, keterangan saksi, saksi ahli maupun terÂdakÂwa, hendaknya juga ditimbang secara proporsional. Dari situ, puÂtusan majelis hakim PeÂngaÂdilan Tindak Pidana Korupsi (TiÂpikor) Jakarta yang meÂnaÂngaÂni perkara ini, akan obyektif.
Menurutnya, upaya terdakwa menarik kesimpulan bahwa tinÂdakannya tidak layak diÂkaÂteÂgorikan sebagai korupsi, adalah hal lumrah dalam persidangan. “Hal itu adalah pandangan subÂyektif terdakwa,†katanya.
Karena itulah, katanya, pemÂbelaan diri harus dilanjutkan ke tahap pembuktian yang koÂmÂpleks dan teliti. Seluruh keÂteÂrangan para saksi, barang bukti, dakwaan jaksa dan keterangan terdakwa, menjadi faktor kunci dalam memutus perkara.
Jadi, langkah hakim meÂmuÂtus perkara, semestinya meÂmang selalu berlandaskan pada hal-hal yang terungkap di perÂsiÂdangan. Dia menyayangkan bila hakim tidak konsekuen pada pertimbangannya. MakÂsudnya, jangan sampai hakim dapat dipengaruhi pihak luar yang sengaja menciptakan opiÂni tertentu.
Dia meyakini, usaha hakim menimbang perkara, semata-mata ditujukan agar dapat meÂmutus perkara secara obyektif. Untuk itu, banyak teknis dan mekanisme yang diterapkan hakim dalam mengumpulkan dan menilai semua fakta perÂsidangan.
Masih Ada Yang Belum Tersentuh Hukum
Daniel Martin, Sekjen PKP
Sekjen LSM Pengawasan Kinerja Aparatur Pemerintahan (PKP) Daniel Martin menilai, perkara korupsi dan pencucian uang PT Askrindo sangat komÂpleks. Oleh sebab itu, perlu keÂcerÂmatan hakim dalam menimÂbang dan memutus perkara.
“Hal itu dilakukan agar piÂhak-pihak yang diduga terlibat dan terbukti bersalah di perÂsidangan mendapat sanksi teÂgas,†ujarnya.
Dia mengingatkan, idealnya jangan sampai ada pihak yang lolos dari jerat hukum kasus ini. Namun, lanjutnya, pengusutan perkara ini jangan sampai salah sasaran. Hakim pun, menÂurÂutÂnya, mesti berani mengambil keÂputusan yang adil.
Daniel pun meminta penegak hukum lebih serius menangani kasus ini. Sebab, masih ada terÂsangka yang buron alias belum tersentuh hukum. Padahal, dua buronan itu, punya peran sigÂniÂfiÂkan dalam skandal ini.
“Lakukan perburuan secara makÂsimal agar tidak ada yang merasa dikorbankan dalam persoalan ini, “ ucapnya.
Daniel mengkategorikan, tindak pidana dalam perkara ini begitu kompleks. Karenanya, dia lagi-lagi meminta, koorÂdiÂnasi antar lembaga diiÂnÂtenÂsifÂkan. Termasuk, meningkatkan pengawasan pada perusahaan jasa pengelolaan investasi dan keuangan.
Dia mÂeÂnuÂturkan, peÂnyeÂleÂweÂngan dari produk jasa investasi dan keuangan seperti ini bisa berakibat buruk pada dunia usaÂha keuangan dan pasar modal khÂususnya dan pada peÂrÂekoÂnoÂmian negara pada umumnya. Jadi, tambah dia, kasus ini harus diselesaikan hingga benar-beÂnar tuntas. “Jangan sampai berÂhenti sampai di sini.†[Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: