Pembubaran Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian gugatan UU Migas dinilai menambah catatan permasalahan perminyakan yang harus dihadapi pemerintah ke depannya.
Karena itu harus segera ditetapkan lembaga mana yang akan menjalankan fungsi BP Migas selama ini.
"Jika tidak cepat hal, tersebut jelas menimbulkan ketidakpastian di dalam industri perminyakan nasional," tegas pengamat geopolitik, Dirgo Purbo dalam diskusi polemik "Negeri Yang Ruwet" di Warung Daun Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (17/11).
Dirgo menilai keputusan pemerintah yang membuat unit baru di Kementerian Energi dan Sumber Daya untuk menampung semua orang dan seluruh fungsi yang ada di BP Migas kurang cermat.
"Kembalikan saja ke Pertamina. Kontrol semua dengan baik termasuk depo-depo Pertamina di seluruh pelosok negeri. Kita harus berdikari dengan perusahaan dan kepentingan nasional," ungkap Dirgo.
Dirgo mengingatkan, sampai hari ini, Indonesia masih seperti tahun 1971 yang memproduksi 870 ribu barel minyak per hari. Ironisnya tahun 1971 penduduk Indonesia masih berjumlah 77 juta orang sedangkan saat ini sudah mencapai 200 juta lebih. "Soal legalitas, pajak, juga eksplorasi minyak Indonesia masih kacau juga, apalagi terkait kontrak dengan perusahaan minyak asing," tegas Dirgo. [zul]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: