Kasus Chevron Rugikan Negara Hampir 100 Miliar

Kejagung Sudah Terima Hasil Audit BPKP

Rabu, 14 November 2012, 09:58 WIB
Kasus Chevron Rugikan Negara Hampir 100 Miliar
PT Chevron Pacific Indonesia

rmol news logo Akhirnya Kejaksaan Agung menerima hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan mengenai kasus korupsi proyek pemulihan lahan eksplorasi minyak PT Chevron Pacific Indonesia.

“Penyidik telah menerima ha­sil audit BPKP, sudah ada letak ke­rugian negaranya,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Ke­jak­saan Agung M Adi Toegarisman di Gedung Kejagung, Jakarta, Ju­mat malam pekan lalu (9/11).

Menurut Adi, berdasarkan hasil audit BPKP itu, kerugian negara dalam kasus Chevron sekitar Rp 100 miliar. “Hampir seratusan mi­liar,” ujar Adi yang pada hari itu masih menjabat Kapuspenkum Ke­jagung. Adi kini menjabat Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung.

Menyusul diterimanya hasil au­dit BPKP itu, maka berkas per­kara tujuh tersangka kasus Chev­ron akan dilimpahkan Bagian Pe­nyidikan ke Bagian Penuntutan Ke­jaksaan Agung untuk diteliti, apakah sudah lengkap atau be­lum. “Mudah-mudahan, minggu depan, perkara ini masuk ke tahap pe­nuntutan,” katanya.

Namun, Kejaksaan Agung tam­paknya masih maju-mundur me­ngenai angka kerugian negara ini. Soalnya, Kapuspenkum Ke­ja­gung yang baru, Setia Untung Ari Muladi belum mau menyebut angka kerugian negara hasil audit BPKP itu. Dia beralasan, Bagian Pe­nyidikan masih mempelajari hasil audit BPKP itu. “Nanti kami sampaikan kalau sudah pasti dan jelas, karena menghitung ker­u­gian negara itu harus jelas para­me­ternya,” alasan dia.

Sebagai latar, angka kerugian ne­gara hampir Rp 100 miliar ver­si BPKP yang disampaikan Adi Toegarisman pun, berbeda de­ngan taksiran awal Kejaksaan Agung sekitar Rp 200 miliar.

Kasus proyek pemulihan ling­k­ungan ini, berawal dari per­jan­jian antara Badan Pelaksana Usa­ha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan PT Chev­ron Pa­sific Indonesia (CPI). Sa­lah satu poin perjanjian itu, mengatur ten­tang biaya pemulihan ling­ku­ngan (cost recovery) bekas lahan eks­plorasi minyak Chevron de­ngan cara bioremediasi.

Bioremediasi adalah teknik pe­normalan tanah setelah terkena limbah minyak. Chevron telah me­­nunjuk dua perusahaan untuk melakukan bioremediasi itu pada 2006 sampai 2011, yaitu PT Green Planet Indonesia (GPI) dan PT Sumigita Jaya (SJ). Tapi,  me­nurut Adi, bioremediasi yang se­harusnya dilakukan selama per­janjian berlangsung, tidak di­lak­sanakan dua perusahaan yang di­tunjuk Chevron itu.

Padahal, kata Kapuspenkum Adi Toegarisman, anggaran sebe­sar 23,361 juta Dolar Amerika Serikat telah dicairkan BP Migas untuk bioremediasi itu. Namun, proyek bioremediasi itu diduga fiktif. “Akibat proyek fiktif ini, ne­gara dirugikan Rp 200 miliar,” kata Adi sebelum Kejagung me­nerima hasil audit BPKP itu.

Vice President Policy Govern­ment and Public Affair PT Chev­ron Pacific Indonesia Yanto Sia­ni­par mengaku tak mengerti, ke­napa Kejagung menaksir ke­ru­gian negara dalam kasus ini sebe­sar Rp 200 miliar.

“Saya tidak tahu menahu angka yang dikeluar­kan Kejagung. Yang pasti, kami memiliki selu­ruh data proyek bio­remediasi, dan akan kami jelaskan selama ber­jalannya pemeriksaan,” katanya.

Untuk memperdalam kasus Chevron, penyidik mengorek ke­te­rangan empat saksi untuk tujuh tersangka. “Dua saksi diperiksa ke­marin, dua saksi diperiksa tim pe­nyidik hari ini. Pemeriksaan di­mulai pukul 10.30,” kata Setia Un­tung, kemarin.

Dua saksi yang diperiksa pada Senin, lanjut Setia, yakni Land Officer PT CPI Parkumpulan Gul­tom dan Manager Financial PT CPI Sim Vilia. Lalu, dua saksi yang diperiksa kemarin, yaitu Construction Representatif PT CPI Mukhlis dan Analisis Fasility Enginere PT CPI M Adib.

Kejagung telah menetapkan tu­juh tersangka kasus ini. Lima di­an­taranya berasal dari Chevron, yak­ni Endah Rubiyanti, Widodo, Kukuh, Bachtiar Abdul Fatah dan Ale­xiat. Dua tersangka lainnya dari kelompok kerja sama operasi (KSO), yakni yakni Herland sela­ku Dirut PT Sumigita Jaya dan Ricksy Prematuri dari PT Green Pla­net In­do­nesia. Semua tersang­ka telah di­ta­han sejak 26 Se­p­tem­ber lalu, kecuali Alexiat yang ke­buru pergi ke Amerika Serikat de­ngan alasan menemani sua­minya yang sakit di ne­geri paman sam itu.

REKA ULANG

Empat Tersangka Menggugat Penahanan

Kejaksaan Agung menetap­kan tujuh tersangka kasus ini. Lima diantaranya berasal dari PT Chevron Pasific Indonesia (CPI), yakni Endah Rubiyanti, Widodo, Kukuh, Bachtiar Abdul Fatah dan Alexiat. Dua tersangka lainnya dari kelompok kerja sama operasi (KSO), yakni yakni Herland se­laku Dirut PT Sumigita Jaya dan Ricksy Prematuri dari PT Green Planet Indonesia. Semua ter­sang­ka ditahan sejak 26 September lalu, kecuali Alexiat yang berada di Ameriksa Serikat.

Buntut penahanan itu, empat ter­sangka dari pihak Chevron me­ngajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Se­la­tan. Empat tersangka itu, meng­gunakan hak mempertanyakan lan­dasan hukum penahanan mereka oleh Kejaksaan Agung. 

Menurut kuasa hukum tersang­ka dari pihak Chevron, Todung Mulya Lubis, keinginan menge­ta­hui alasan penahanan, meru­pa­kan hak tersangka yang paling mendasar. “Gugatan prapera­di­lan ini didasarkan pada ke­nya­ta­an, ada jaminan yang telah di­sam­pai­kan tersangka dan PT Chevron,” katanya pada Rabu (31/10) di Jakarta.

Todung menegaskan, empat ter­sang­ka itu tidak akan kabur. “Kami pun telah meminta Ke­jak­saan Agung menyampaikan bukti-bukti yang mendukung tu­duhan me­reka, meminta kasus ini disele­saikan segera dan mem­per­tim­bang­kan hak-hak tersang­ka,” ujarnya.

Bagi Kejaksaan Agung, guga­tan praperadilan itu bukanlah ma­salah. “Kami siap meng­ha­da­pi­nya. Bahkan, kami sedang m­e­nyiapkan proses penuntutan,” kata Kepala Pusat Penerangan Hu­kum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman pada Kamis (1/11).

Menurutnya, gugatan prapera­di­lan yang diajukan pihak Chev­ron, merupakan hak setiap te­r­sangka, sesuai aturan perundang-undangan. “Gugatan itu tidak ma­salah buat kami, silakan saja,” ujar bekas Kepala Kejaksaan Ting­gi Kepulauan Riau ini.

Adi menegaskan, jika yang di­persoalkan para tersangka dalam gugatan praperadilan adalah perihal penahanan, maka hal itu pun siap dihadapi Kejagung. Se­bab, menurutnya, semua tahapan penahanan dilakukan sesuai pro­sedur dan perundang-undangan, serta kebutuhan penyidik.

“Penahanan terhadap para ter­sangka itu sudah sesuai peraturan perundang-undangan, seba­gai­mana Pasal 21 KUHAP. Me­nga­pa mereka ditahan, karena be­r­da­sarkan bukti yang cukup, kami menduga kuat mereka melakukan tindak pidana,” tandas bekas Asis­ten Intelijen Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta ini.

Atas dasar pertimbangan pe­nyi­dik dan mekanisme yang di­atur KUHAP itulah, lanjut Adi, maka para tersangka ditahan guna menghindari persoalan dalam proses penuntasan kasus ini. “Ka­rena itu, akan kami hadapi gu­ga­tan mereka di pengadilan,” ucap jaksa asal Madura ini.

Penangguhan penahanan yang diajukan para tersangka dari pih­ak Chevron pun, lanjut Adi, bu­kan merupakan hal penting bagi Kejaksaan Agung. “Sampai saat ini, pengajuan penangguhan pe­nahanan itu, tidak kami ka­bul­kan,” tandasnya.

Adi mengingatkan, soal pena­hanan, sepenuhnya merupakan ke­wenangan penyidik. Ke­mu­di­an, bukti-bukti yang dimiliki pe­nyi­dik atas para tersangka, tidak perlu menjadi tanya jawab di luar persidangan. “Soal pembuktian, kita lihat saja prosesnya nanti di pe­ngadilan,” ujarnya.

Tidak Ada Alasan Tunda Penuntutan

Dasrul Djabar,Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Dasrul Djabar menyampaikan, hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) merupakan acuan bagi penyidik Kejaksaan Agung un­tuk segera membawa para ter­sangka kasus Chevron ke proses penuntutan. “Tidak ada alasan untuk menunda-nunda penun­tutan,” tandasnya.

Dasrul menambahkan, Ke­jak­saan Agung mesti menin­dakl­anjuti hasil audit BPKP ter­sebut secara utuh. Berapa pun ke­rugian negaranya, harus di­usut sampai tuntas dan dibawa ke pengadilan. “Apalagi ini sam­­pai ratusan miliar,” tegasnya.

Dia juga mengingatkan Ke­jak­saan Agung agar segera me­nin­dak semua pihak yang di­du­ga terlibat kasus ini. Proses pe­ngu­sutan harus dilanjutkan sam­pai ke semua pihak yang di­duga terlibat. “Kejaksaan ja­ngan per­nah melindungi orang-orang yang terlibat dalam kasus ini,” ujarnya.

Pengusutan kasus ini sampai tuntas, lanjut Dasrul, akan men­dapat apresiasi dari masyarakat. “Sehingga, masyarakat bisa me­lihat keseriusan Kejaksaan Agung dalam pemberantasan ko­rupsi,” kata anggota DPR dari Partai Demokrat ini.

Proses menuju penuntutan pun, kata Dasrul, mesti diawasi dan terus dikritisi masyarakat. Sebab, bila lengah, bisa timbul upaya penistaan proses hukum dengan berbagai cara. “Itu tidak boleh terjadi,” ucapnya.

Sebagai anggota Komisi III DPR, Dasrul berjanji akan mem­bahas kasus ini secara se­rius dalam rapat kerja dengan pim­pinan Kejaksaan Agung. “Saya se­bagai anggota Komisi III, da­lam rapat kerja akan mem­per­ta­nyakan orang-orang yang terli­bat. Saya katakan, kasus ini ha­rus diproses sampai ke penga­dilan,” tandasnya.

Ingatkan Kejagung Jangan Masuk Angin

Alex Sato Bya, Bekas Jamdatun

Bekas Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Alex Sato Bya me­ngingatkan, jangan sampai pe­na­nganan kasus Chevron “ma­suk angin”. Apalagi, dengan ada­nya pergeseran sejumlah pejabat di Kejaksaan Agung.

“Jika hasil audit BPKP sudah ada, maka harus segera dilim­pah­kan ke penuntutan. Jangan sampai masuk angin. Tak ada alasan berputar-putar pada pe­nyi­dikan untuk memperlama pro­ses penuntutan,” tandas Alex.

Dia pun mewanti-wanti, kasus Chevron bukanlah kasus perdata, tetapi tindak pidana ko­rupsi. “Kerugian negaranya besar. Karena itu, saya me­ngi­ngatkan agar tidak ada yang ber­main-main dalam menun­tas­kan kasus ini,” ujarnya.

Dalam urusan penegakan hu­kum dan pemberantasan ko­rupsi, Alex menyarankan Ke­jaksaan Agung agar tidak ter­je­bak pada nama besar PT Chev­ron yang berasal dari Ame­rika Serikat. Sebab, menurut dia, Amerika tentu berkewajiban me­negakkan hukum dan mem­berantas korupsi.

“Apalagi, yang terlibat ke­banyakan orang In­donesia. Itu harus ditindak. Se­bab, sering kali orang kita sen­diri yang merusak dan me­lakukan ko­rupsi,” ucapnya.

Menurut Alex, jika kasus ini mengendap, tentu akan menjadi pertanyaan publik. Patut didu­ga, katanya, penanganan kasus ini masuk angin.

“Saya kira ka­sus ini harus ditangani sampai tuntas, jangan diendapkan dan jangan masuk angin,” ucapnya.

Dia berharap, semestinya ka­sus serupa juga dibongkar dan diusut sampai tuntas. “Terlalu ba­nyak kasus yang belum di­bongkar. Jangan bangga dulu, jika ini pun tak tuntas, maka akan kian kecewalah ma­sya­rakat,” tandasnya.

Persoalan apakah terbukti atau tidak, lanjut dia, biarlah pro­ses pengadilan yang mem­buktikannya. “Jangan ujug-ujug ada yang berkesimpulan bah­wa kasus ini perdata, itu ti­dak benar. BPKP sudah te­mu­kan adanya kerugian keuangan ne­gara. Biar di pengadilan di­buk­tikan semuanya. Semua yang terlibat harus diusut,” pintanya.  [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA