Staf Wa Ode Nurhayati Diancam Jadi Tersangka

Terima Duit, Tapi Ngaku Tak Sengaja Ketemu Haris

Kamis, 25 Oktober 2012, 09:43 WIB
Staf Wa Ode Nurhayati Diancam Jadi Tersangka
Wa Ode Nurhayati

rmol news logo Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta belum menganggap hukuman enam tahun penjara bagi

Wa Ode Nurhayati cukup. Kali ini, giliran asisten pribadi Wa Ode, Sefa Yolanda yang diancam bakal jadi tersangka.

Ketua Majelis Hakim Suhar­toyo bereaksi keras. Suaranya me­ninggi kala menanggapi ja­wa­ban saksi Sefa Yolanda dalam si­dang di Pengadilan Tipikor Ja­karta pada Selasa malam (23/10). Kepada jaksa, dia meminta KPK segera menetapkan Sefa se­bagai tersangka. “Ini mestinya jadi tersangka Pak Jaksa,” tegasnya.

 Dia menilai, kesaksian Sefa bagi terdakwa Fahd A Rafiq tidak konsisten. Sehingga, meng­ham­bat kelancaran sidang. Selain itu, menurut hakim, rangkaian tran­saksi suap dari Fahd kepada Wa Ode masuk melalui Andi Haris Su­rahman dan Sefa.

Dalam sidang, Suhartoyo me­ngungkit kesaksian Sefa yang sebelumnya pernah hadir untuk terdakwa Wa Ode. Hakim bilang, dia mengingat betul perilaku Sefa yang sering mengaku lupa. “Anda ini yang sering nggak ingat kalau ditanya kan,” kata Suhartoyo.

Sefa pun diam. Dia tertunduk. Kesimpulan hakim diambil se­te­lah memberondong saksi dengan beragam pertanyaan. Masing-ma­sing pertanyaan itu antara lain, siapa yang menyuruhnya mentransfer dana kepada Fahd. Sefa menjawab,  yang menyuruh adalah atasannya, Wa Ode. Tapi dia mengaku tidak ingat kapan perintah transfer itu dilakukan. Dia hanya memperkirakan, trans­fer terjadi antara 2010-2011.

Lebih jauh, hakim menyoal darimana saksi tahu nomor reke­ning Fahd. Sefa menjawab, dapat nomor rekening dari Wa Ode. “Saya hanya disuruh transfer. Ada bukti transfer ke rekening Fahd.” Saat disoal, berapa kali dia men­transfer uang ke rekening Fahd, Sefa mengatakan, tidak ingat.

Sefa menambahkan, awalnya uang tersebut diterimanya di Bank Mandiri Gedung DPR. Tapi begitu hakim menanyakan, bera­pa kali ia menerima uang dari Ha­ris, ia tidak ingat. Hakim pun tak puas. Suhartoyo mencecar, “Ba­gai­mana uang diterima?”

Sefa mengaku hanya dititipi  Haris. Uang titipan itu dite­rima secara tunai di Bank Man­diri DPR. Namun dia mengaku tidak tahu be­rapa nominalnya. Bahkan, me­nurutnya, pertemuan dengan Haris di Bank Mandiri terjadi secara spon­tan alias tidak disengaja. Pa­dahal, pertemuan itu bagian dari rangkaian kasus suap miliaran rupiah. Ma­ka­nya, hakim tidak mempercayai keterangan Sefa dan meminta jaksa me­ne­tap­kan Sefa sebagai tersangka.

Suhartoyo menyoal, apa saat itu terdakwa berada di ruangan ter­sebut? Sefa menjawab, tidak ada Fahd di situ. Begitu mene­ri­ma uang dari Haris, Sefa menga­ku lang­sung menemui Wa Ode di apar­temennya . Ketika ber­temu at­asan­nya, dia mengatakan, ada titipan dari Haris. Akan te­tapi, Sefa me­ngaku, Wa Ode memin­ta­nya me­ngem­balikan uang tersebut.

Bagi hakim, Sefa me­nyem­bu­nyikan sesuatu dan mempunyai peran penting dalam kasus suap alokasi Dana Penyesuaian In­fra­struktur Daerah (DPID) ini. Lan­taran itu, dari tujuh saksi yang di­hadirkan jaksa, hakim tampak memfokuskan pemeriksaan kepa­da Sefa. Saksi-saksi lain seperti, Daeng Lyra, teller Bank Mandiri, Asep Supriatna, karyawan Bank Mandiri Cabang Imam Bonjol, Jakarta, Dedi Kusnadi, karyawan Bank Mandiri, Fadli Rahim, teller Bank Mandiri, Gunawan, cus­to­mer service Bank Mandiri, dan Rus­mayanti, teller Bank Mandiri hanya ditanya seputar transaksi rekening terdakwa serta perke­na­lan­nya dengan saksi dan terdakwa.  

Secara umum, enam saksi dari bank tersebut, mengetahui alur transaksi rekening terdakwa Fahd dan Wa Ode. Namun mereka ti­dak mengenal Sefa, Andi Haris, Fahd dan Wa Ode. Sebelumnya, hakim telah meminta saksi Andi Haris Surahman yang diduga se­bagai perantara suap, untuk di­ja­dikan tersangka.

Kecewa Haris Belum Jadi Tersangka

Terdakwa Fahd A Rafiq di­dakwa menyuap anggota Badan Anggaran DPR Wa Ode Nur­ha­yati sebesar Rp 5,5 miliar. Suap ditujukan untuk pengurusan alo­kasi Dana Penyesuaian In­fra­struktur Daerah (DPID) tahun 2010 di tiga kabupaten. Yakni Aceh Besar, Pidie Jaya dan Bener Meriah di Nanggroe Aceh Da­russalam (NAD).

Dalam dakwaan disebutkan, Fahd menemui Andi Haris Surah­man untuk membicarakan DPID yang tengah dibahas Banggar DPR. Haris kemudian mengh­u­bungi Wa Ode untuk mem­per­mulus keinginan Fahd. Dalam perkara ini, Wa Ode divonis enam tahun penjara.

Fahd mengaku mengenal Sefa, asisten pribadi Wa Ode Nur­ha­yati, karena mereka berdua sering berkomunikasi. “Saya kenal Sefa. Saya selalu berkomunikasi de­ngan Sefa untuk tagihkan utang Ode. Saya sering SMS maupun telepon untuk tagihkan uang, dan beberapa kali Sefa jawab,” ujarnya.

Fahd yang juga Ketua Gema MKGR ini mengatakan, dirinya dan Haris serta Wa Ode sering berkomunikasi satu sama lain. Me­nurutnya, hal ini dapat di­buktikan KPK. “Semua bukti ada kok, disadap KPK,” tandas anak pedangdut A Rafiq ini.

Fahd tidak menampik dakwaan KPK terhadapnya. Bahkan, menurut Fahd, dakwaan KPK itu 90 persen benar. Tapi, dia kecewa karena KPK belum menetapkan Haris sebagai tersangka.

“Sampai sekarang Haris eng­gak mengaku terima uang dari saya buat feenya dia. Enggak mun­gkin kan dia tiba-tiba seperti malaikat kasih duit nggak pakai fee,” bebernya, sebelum sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (12/10).

Senada dengan Fahd, hakim juga meminta KPK menetapkan Haris sebagai tersangka. Dalam sidang, hakim Pangeran Napi­tu­pulu mencecar saksi Haris. Soal­nya, Pangeran merasa aneh, ke­na­pa Haris yang diduga sebagai perantara suap, belum dijadikan tersangka. Padahal, pihak yang disangka memberi dan menerima suap, yakni Fahd dan Wa Ode Nur­hayati sudah berstatus terdakwa.

Keheranan Pangeran diawali laporan Haris tentang dugaan tindak pidana yang dilakukan Wa Ode. Pasalnya, ketika realisasi proyek yang dijanjikan Wa Ode gagal, Haris justru melaporkan Wa Ode ke Banggar DPR, bukan ke kepolisian. Padahal, Haris merasa ditipu Wa Ode.

Menurut Haris, semula dirinya bermaksud melaporkan Wa Ode ke Badan Kehormatan (BK) DPR. Namun, ketika itu ruangan BK ko­song alias tidak ada orang. Lan­taran itu, dia memilih untuk me­lapor ke Banggar. “Kenapa tidak lapor ke polisi,” tanya Pangeran.

Haris menjawab, saat itu dia masih berupaya agar uang yang disetor pada Wa Ode bisa segera kembali. Makanya, dia mela­po­r­kan Wa Ode yang saat itu duduk sebagai anggota Banggar, ke Banggar DPR.

Mendengar pernyataan Haris, Pangeran makin penasaran. Dia mencoba mengungkap lebih da­lam apa motivasi laporan Haris ke Banggar. Pangeran bertanya, sebagai politisi intelektual, jika menemukan atau mengalami se­buah tindak pidana, kemana ha­rus melapor.

Haris menjawab, ke kepolisian. Be­gitu mendengar pernyataan ter­sebut, Pangeran tidak mau ka­lah. Dia kembali mendesak Haris. “Kenapa tidak lapor ke polisi, tapi ke Banggar,” katanya dengan nada tinggi.

Haris beralasan, dirinya mela­por ke Banggar karena Banggar merupakan tempat Wa Ode be­kerja. Mendengar jawaban itu, Pa­ngeran makin gencar bertanya. Dia menyoal, apakah Banggar bisa mengambil suatu tindakan hukum. Mendapat pertanyaan itu, Haris terdiam. Tampak, dia menarik nafas panjang.

Belum lagi Haris menjawab, Pangeran kembali bertanya. Kali ini, pertanyaan dialamatkan ke­pada jaksa KPK. “Saudara pe­nuntut umum, apakah saksi sudah jadi tersangka,” kata Pangeran. Jaksa menjawab, “Belum.” Lalu, Pa­ngeran melanjutkan per­nya­taan. “Tolong diproses untuk di­jadikan tersangka.”  

Pangeran menegaskan, omo­ngan yang tidak jelas dan be­r­belit-belit, menunjukkan bahwa Haris berbohong. Makanya, dia meminta jaksa KPK menyam­pai­kan kepada penyidik KPK agar menetapkan Haris sebagai ter­sang­ka. “Sampaikan kepada pe­nyi­dik,” katanya. Kemudian, Pa­ngeran berkata kepada Haris, “Sau­dara ini jangan memberi kete­rangan berbelit-belit.”

Permintaan Hakim Mesti Ditindaklanjuti

Nudirman Munir, Anggota Komisi III DPR

Politisi Partai Golkar Nudir­man Munir mengingatkan KPK hati-hati mengartikan dan merealisasikan permintaan hakim. Upaya meningkatkan sta­tus seorang saksi menjadi ter­sangka harus dilakukan secara prosedural.

“Tidak boleh dipaksakan. Apa­lagi, hanya berpatokan pada asumsi,” kata anggota Komisi III DPR ini, kemarin.

 Peningkatan status saksi, lanjut Nudirman, hendaknya di­dasari fakta-fakta hukum yang kuat. Setidaknya, kata dia, harus ada dua alat bukti yang menjadi patokan penegak hukum seperti penyidik KPK untuk penetapan tersangka.

Dia mengingatkan, status sak­si dijamin oleh konstitusi. De­ngan begitu, setiap saksi ber­hak mendapatkan perlindungan hukum. Apalagi, keterangan sak­si sangat diperlukan dalam mengungkap suatu kejahatan.

Lantaran itu, siapa pun saksi ha­rus disumpah sebelum mem­be­rikan keterangan. Setelah itu, lanjutnya, jika kesaksian di ba­wah sumpah itu ternyata bo­hong atau dusta, penegak hu­kum bisa mengambil langkah hukum sesuai dengan ketentuan yang ada. “Saksi bisa dikenai pasal memberikan keterangan palsu,” tandasnya.

Apalagi, kesaksian tersebut disampaikan di muka pe­nga­dilan. “Efek yang ditimbulkan dari kesaksian tersebut sangat je­las. Bisa membahayakan orang lain bila kesaksiannya tidak benar,” katanya.

Menanggapi permintaan ha­kim mengenai saksi Sefa, Nu­dirman mengatakan, upaya ter­sebut patut dihargai. Artinya, hakim curiga dan mempunyai keyakinan bahwa saksi ini terlibat dalam tindak pidana suap tersebut.

Jadi, kata Nudirman, ke­sak­sian Sefa layak ditelusuri lagi kebe­narannya oleh penuntut dan pe­nyidik pada Komisi Pem­be­ran­ta­san Korupsi. Hal itu di­tu­ju­kan agar penilaian ataupun per­min­taan hakim tidak sia-sia.

Penetapan Tersangka Bisa Mempermudah Penuntasan Perkara

Akhiruddin Mahyudin, Koordinator LSM Gerak Indonesia

Koordinator LSM Gera­kan Rakyat Anti Korupsi (Ge­rak) Indonesia Akhiruddin Mah­yudin menilai, permintaan hakim untuk menjadikan saksi Sefa Yolanda sebagai tersangka harus direspon KPK.

Permintaan hakim ini, menu­rutnya, didasari atas bukti-bukti permulaan yang cukup. “Dalam hal ini, sikap hakim jauh lebih maju dan progresif dari sikap jaksa. Padahal tanpa permintaan hakim, seharusnya jaksa sudah bisa menentukan sikapnya,” kata dia.

Akhiruddin menambahkan,  permintaan hakim tentu ber­da­sarkan keyakinan terpenuhinya unsur tidak pidana, atau mini­mal ada dua alat bukti per­mu­laan yang cukup. “Jika sudah ada alat bukti yang cukup, se­mestinya sejak awal KPK sudah bisa menetapkan Sefa sebagai tersangka,” katanya.

Jadi, sambungnya, tidak per­lu ada permintaan hakim lebih dahulu. Dia menilai, penetapan status tersangka pada Sefa juga akan berdampak signifikan da­lam pengusutan kasus ini. De­ngan kata lain, penetapan status tersangka bisa mempermudah proses hukum kasus ini.

Selebihnya,  bisa juga di­ja­di­kan dasar untuk mengungkap le­b­ih dalam dan lebih luas fakta hukum dalam kasus ini.

Dia mengingatkan, jaksa ideal­nya melihat sikap saksi yang pada keterangannya ber­belit-belit. Hal ini, kata dia, la­yak dicurigai. Jangan-jangan, upayanya dilakukan secara se­ngaja untuk menghalang-ha­la­ngi proses hukum. Lebih parah lagi, asumsinya, harus dicurigai sebagai upaya melindungi pihak-pihak lain yang diduga terlibat kasus ini.

Jadi, lanjut dia, sudah tepat jika hakim meminta jaksa me­netapkan Sefa sebagai ter­sang­ka. “Upaya menghalangi pro­ses hukum kasus korupsi me­ru­pa­kan tindakan pidana,” ta­n­dasnya.  [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA