Terdakwa Dhana Widyatmika uring-uringan. Dia menilai, tuntutan hukuman 12 tahun penjara untuknya dipaksakan. Namun jaksa bersikukuh, selama persidangan, Dhana tak mampu menepis dakwaan.
Ketua Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kuntadi menyimpulkan, ada tiga substansi yang memoÂjokÂkan Dhana. Pertama, terkait keÂtakÂmampuan Dhana memÂbukÂtiÂkan bahwa uang yang diÂteÂriÂmaÂnya bukan dari hasil korupsi. KeÂdua, menyangkut peÂnyaÂlahÂguÂnaÂan wewenang sebagai pegawai neÂgeri sipil pada Ditjen Pajak KeÂmenÂteÂrian Keuangan. Ketiga, meÂnyangÂkut tindak pidana peÂnÂcuÂcian uang. Demikian inti tuntutan JPU dalam siÂdang di Pengadilan Tipikor JaÂkarta pada Senin malam (22/10).
Menanggapi kesimpulan terÂsebut, Dhana menyatakan, justru jaksa yang sewenang-wenang menuntutnya. Dengan nada tingÂgi, ia bilang, “Tuntutan jaksa tak sesuai fakta.â€
Daniel Alfredo, kuasa hukum Dhana menimpali, tuntutan jaksa keliru. Menurut Daniel, tuduhan jaksa seputar keterlibatan klienÂnya dalam kasus korupsi, salah total. Dia bilang, kliennya sama seÂkali tak terlibat pengurusan paÂjak PT Mutiara Virgo (MV) tahun 2003-2004.
“Dhana tidak pernah terlibat menjadi pemeriksa pajak MutiaÂra Virgo,†tegasnya.
Dari situ, dia heran kenapa jakÂsa bersikukuh menyebut bahwa Dhana memiliki motif memÂperÂkaya diri sendiri atau korupsi daÂlam pengurusan pajak kurang baÂyar PT Mutiara Virgo. “BaÂgaiÂmana bisa klien kami dikaitkan dengan motif, kalau memang tiÂdak terkait sama sekali,†tandasnya.
Namun, menurut jaksa, keterÂlibatan Dhana dalam pengurusan pajak PT Mutiara Virgo diÂidenÂtifikasi lewat penerimaan uang Rp 3,4 miliar. Uang itu terkait pajak yang ditangani koleganya sesama PNS Ditjen Pajak, Herly Isdhiharsono. Uang itu diterima Dhana melalui Liana Apriani dan Femmy Solichin.
Oleh Dhana, uang itu lalu diÂtransfer ke rekening Mandiri atas nama Neni Noviandini Rp 1,4 miÂliar. Transfer ke Neni dilakÂuÂkan karena permintaan Herly unÂtuk pembayaran rumah di Taman Berdikari Sentosa, Rawamangun, Jakarta Timur.
Lalu, uang sisa sebesar Rp 2 miÂliar di rekening Mandiri DhaÂna, dimanfaatkan untuk keÂpenÂtingan pribadinya. Padahal, jabar jaksa, uang Rp 3,4 miliar yang diÂkirim ke rekening Dhana di Bank Mandiri Cabang Nindya Karya itu, terbukti diperoleh Herly dari peÂngurusan pajak PT Mutiara VirÂgo. “Perolehan uang itulah yang dilakukan secara melawan hukum,†katanya. Jadi, jaksa meÂnilai, Dhana tetap bisa dituntut terlibat tindak pidana korupsi.
Jaksa juga menyimpulkan, duÂgaan korupsi teridentifikasi lewat aliran dana Mandiri Traveller Cheque (MTC). MTC diperoleh terÂdakwa dari staf keuangan PemÂkot Batam, Ardiansyah. Nilainya, Rp 1,25 miliar. Jaksa menyebut, saksi Ardiansyah pada keteÂraÂngannya menyatakan, pembelian MTC dilakukan atas perintah ErÂwinta dan Raja H.
Pola korupsi sejenis juga diÂpaÂparkan jaksa. Dalam tuntutannya, jaksa menyebutkan, Dhana semÂpat menerima MTC dari wajib pajak, Rudi Kurniawan Rp 500 juta. MTC dicairkan Dhana di Bank Mandiri pada 10 Oktober 2007. Kesaksian dan fakta-fakta tersebut, meyakinkan jaksa untuk menuntut Dhana melanggar Pasal 12 b Ayat 1 UU Tipikor.
Berkaitan dengan tuntutan keÂdua, yakni menyalahgunakan weÂwenang sebagai pegawai neÂgeri sipil, jaksa menilai, Dhana teledor dalam menghitung pajak PT KorÂnet Trans Utama (KTU). PaÂsalnya, pemeriksaan mengÂguÂnaÂkan data eksternal yang tidak valid.
Persoalan ini diawali perÂteÂmuan antara Dhana dan tim peÂmeriksa pajak PT KTU, Salman dan Firman dengan Dirut dan DiÂrektur PT KTU di TIS Square, TeÂbet, Jakarta Selatan. Ketika itu, Dhana cs menawarkan bantuan unÂtuk mengurangi nilai pajak PT KTU dengan imbalan Rp 1 miliar.
Tapi permintaan tersebut diÂtoÂlak Dirut KTU. Tak kurang akal, Dhana dan koleganya lalu meÂngancam KTU dengan meÂngeÂluarÂkan surat ketetapan pajak kuÂrang bayar sesuai data eksternal. PT KTU pun mengajukan banÂding ke pengadilan pajak. IroÂnisÂnya, hakim menerima banding terÂsebut dan menyatakan data eksÂternal yang dipakai Dhana tiÂdak dapat digunakan sebagai acuÂan penghitungan pajak.
Menurut JPU, perÂbuaÂtan terÂdakwa merugiÂkan keÂuangan neÂgara Rp 967 juta ditambah bunga Rp 241 juta, total Rp 1,208 miliar.
“Meminta majelis haÂkim menjatuhkan pidana penÂjara 12 taÂhun dan denda Rp 1 miÂliar subsider 6 bulan,†ucap Kuntadi.
Menurut Daniel Alfredo, piÂhakÂnya masih mempelajari seluÂruh tuntutan jaksa. “Kami masih fokus pada upaya menyusuan pemÂbelaan. Masih banyak hal janggal yang perlu diklarifikasi di sini,†katanya.
REKA ULANG
Yang Jadi Tersangka Belakangan
Penyidik Kejaksaan Agung menetapkan satu orang lagi bekas atasan Dhana Widyatmika sebaÂgai tersangka, yakni Sarah Lallo, bekas Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Penetapan tersangka Sarah Lallo merupakan hasil peÂngemÂbaÂngan perkara salah satu terÂsangka kasus ini, konsultan pajak Hendro Tirtajaya (HT). “Dari peÂngembangan perkara HT, peÂnyiÂdik mendapatkan fakta hukum yang dapat disimpulkan sebagai alat bukti untuk menetapkan SL seÂbagai tersangka,†ujar Kepala PuÂsat Penerangan Hukum KeÂjakÂsaan Agung Adi Toegarisman.
Adi menyampaikan, Kejagung sedang mendalami peran SL daÂlam kasus ini. Untuk pendalaman itu, penyidik memanggil dua sakÂsi. Kedua saksi ini, diperiksa seÂjak pukul 10 pagi di Gedung BunÂdar, Kejaksaan Agung, Jakarta. “Untuk tersangka SL, dilakukan pemeriksaan dua saksi dari PNS Ditjen Pajak, yaitu Dwi Setyo Budi dan Agus Surono,†katanya Senin lalu (22/10).
Kapuspenkum menambahkan, para tersangka kasus ini sudah naik ke penuntutan, kecuali SL. “Sudah dilimpahkan semua. TingÂgal SL yang masih dalam peÂnyiÂdikan,†ujar bekas Kepala KeÂjakÂsaan Tinggi Kepulauan Riau ini.
Berdasarkan penelusuran terÂhadap surat dakwaan Dhana, terÂcantum nama sejumlah petuÂgas Ditjen Pajak yang menangani pajak PT Mutiara Virgo (MV). SaÂlah satunya Sarah Lallo. PeÂnanganan pajak itu berbau suap atau gratifikasi.
Begini ceritanya, DW diÂdakwa deÂngan tiga dakwaan. Dakwaan perÂtama menyangkut penanganan paÂjak PT Mutiara Virgo milik Johnny Basuki pada 2003 dan 2004, yang semestinya memÂbaÂyar pajak lebih dari Rp 30 miliar.
Berdasarkan kajian tersangka Herly Isdiharsono terhadap peruÂsaÂhaan itu, dibentuklah Tim PeÂmeriksa Gabungan untuk meÂnguÂrusi pajak itu. Tim itu terdiri dari, SuÂpervisor Anggun Prayitno, KeÂtua Tim Sarah Lallo (SL), angÂgota tim Herly Isdiharsono dan FaÂrid Agus Mubarok.
Meskipun tersangka Herly, terÂsangka Johnny dan tersangka Hendro tahu kewajiban pajak PT MV seharusnya lebih besar dari Rp 30 miliar, namun mereka seÂpaÂkat untuk menguranginya. KeÂseÂpakatannya adalah Johnny berÂsedia membayar Rp 30 miliar yang meliputi, uang untuk memÂbayar kewajiban pajak yang telah dikurangi dan fee bagi peÂtugas atas jasa mengurangi keÂwajiban itu.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung sudah menetapkan enam terÂsangka kasus ini, yakni Dhana Widyatmika (Ditjen Pajak), Johnny Basuki (wajib pajak), Firman (Ditjen Pajak), Herly Isdiharsono (Ditjen Pajak), SalÂman Maghfiron (bekas pegawai Ditjen Pajak) dan Hendro TirtaÂwijaya (konsultan pajak).
Nah, penyidik juga menelisik, apakah rekan-rekan DW yang maÂsih berstatus saksi kendati namanya telah disebut dalam dakÂwaan itu, juga kebagian duit suap tersebut. Yang pasti, terÂsangÂka kasus korupsi penanganan pajak ini bertambah satu, yakni SL.
Berharap Muncul Efek Jera
Daday Hudaya, Anggota Komisi III DPR
Politisi Partai Demokrat Daday Hudaya menyatakan, langkah jaksa menuntut terÂdakÂwa dengan hukuman ekstra beÂrat perlu didukung.
Hal ini ditujukan agar para pelaku kejahatan tindak pidana korupsi dan pencucian uang jera melakukan kejahatannya. “LangÂkah jaksa perlu dikawal berbagai elemen yang ada,†kaÂtanya, kemarin.
Yang penting, Daday meÂngiÂngatÂkan, dasar penetapan tuntuÂtan tersebut sesuai kriteria atau aturan hukum yang ada. Bukan diÂambil secara serampangan. Apalagi ditujukan untuk menÂdongkrak citra kejaksaan yang terpuruk.
Idealnya, lanjut dia, tuntutan hukuman memang harus makÂsimal. Tidak boleh tuntutan diÂambil hanya menimbang aspek yang meringankan terdakwa saja. Toh nantinya, perÂtimÂbaÂngan hakim akan menentukan, apakah terdakwa bisa dihukum sesuai tuntutan jaksa atau tidak. “Itu domain hakim yang meÂnenÂtukan,†ujarnya.
Dia menambahkan, tuntutan huÂkuman yang berat atau makÂsiÂmal, bisa menimbulkan efek sigÂnifikan. Setidaknya, menurut dia, pelaku kejahatan korupsi dan sejenisnya jadi berpikir daÂlam melaksanakan niat jahatnya.
Efek paling minimal dari ancaman hukuman ini, harapÂnya, bisa meminimalisir tindak pidana korupsi. Tapi, dia meÂnyadari, kejahatan korupsi dan sejenisnya senantiasa meliÂbatÂkan kelompok intelektual. KaÂrena itu, pola penanganannya haÂrus terpadu. Begitupula mÂeÂkaÂnisme hukuman yang diambil.
Idealnya, imbuh dia, vonis dan hukumannya pun mesti diÂambil secara tegas. Artinya, tiÂdak boleh ada kompromi meÂnyangkut hukuman ini. “Pada prinsipnya, hukum itu bersifat mengikat dan memiliki suatu kepastian. Dia tidak boleh surut ketika berhadapan dengan siapa pun.â€
Ada Anggapan Lebih Baik Korupsi Ketimbang Mencuri
Yenti Garnasih, Pengamat Pencucian Uang
Pengamat masalah penÂcuÂcian uang dan dosen Universitas Trisakti Yenti Garnasih meÂnyaÂtakan, idealnya, tuntutan teÂrÂhaÂdap para terdakwa kasus koÂrupsi dan pencucian uang mesti tinggi. Hal tersebut, menjadi saÂlah satu agenda penting dalam upaya pemberantasan korupsi.
“Tuntutan hukuman makÂsiÂmal itu idealnya mulai ditÂeÂrapÂkan di sini. Sebab, dari peÂneÂraÂpan tuntutan hukuman makÂsimal tersebut, banyak efek atau dampak positif yang timbul,†katanya.
Dia juga berharap, tuntutan huÂkuman maksimal bisa memÂbuat pelaku kejahatan jera. SeÂlain itu, menunjukkan bahwa jakÂsa dan penegak hukum conÂcern dalam upaya mencegah terjadinya kejahatan, khususnya korupsi dan pencucian uang.
Yenti pun menyayangkan, baÂnyaknya vonis hukuman riÂngan pada pelaku kasus koÂrupsi. Soalnya, hukuman ringan itu menimbulkan penafsiran negatif masyarakat.
MaÂsyaÂrakat, kata dia, merasa tidak puas. Bahkan ada yang menilai, lebih baik korupsi, lanÂtaran hukumannya ringan keÂtimbang mencuri karena hukuÂmannya berat.
Anggapan seperti itu, semesÂtinya tidak boleh berkembang. KaÂrena lagi-lagi, pesimisme seÂperti akan mengganjal peÂneÂgaÂkan hukum. Oleh sebab itu, dia mewanti-wanti penegak hukum agar mau mengubah pola tunÂtutan dan vonis hukuman secara lebih profesional.
“Berikan tuntutan maksimal pada setiap pelaku kejahatan koÂrupsi dan pencucian uang.†DeÂngan sendirinya, dia yakin, hal tersebut akan membawa damÂpak positif dalam memberÂdayakan citra penegakan huÂkum. Terlebih, kasus korupsi dan pencucian uang sudah akut.
“Jangan ada keraguan untuk menerapkan tuntutan hukuman maksimal,†tandasnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: