Dituntut 12 Tahun Penjara Dhana Uring-uringan

Perkara Korupsi Penanganan Pajak Dan Pencucian Uang

Rabu, 24 Oktober 2012, 10:08 WIB
Dituntut 12 Tahun Penjara Dhana Uring-uringan
Dhana Widyatmika

rmol news logo Terdakwa Dhana Widyatmika uring-uringan. Dia menilai, tuntutan hukuman 12 tahun penjara untuknya dipaksakan. Namun jaksa bersikukuh, selama persidangan, Dhana tak mampu menepis dakwaan.

Ketua Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kuntadi menyimpulkan, ada tiga substansi yang memo­jok­kan Dhana. Pertama, terkait ke­tak­mampuan Dhana mem­buk­ti­kan bahwa uang yang di­te­ri­ma­nya bukan dari hasil korupsi. Ke­dua, menyangkut pe­nya­lah­gu­na­an wewenang sebagai pegawai ne­geri sipil pada Ditjen Pajak Ke­men­te­rian Keuangan. Ketiga, me­nyang­kut tindak pidana pe­n­cu­cian uang. Demikian inti tuntutan JPU dalam si­dang di Pengadilan Tipikor Ja­karta pada Senin malam (22/10).

Menanggapi kesimpulan ter­sebut, Dhana menyatakan, justru jaksa yang sewenang-wenang menuntutnya.  Dengan nada ting­gi, ia bilang, “Tuntutan jaksa tak sesuai fakta.”

Daniel Alfredo, kuasa hukum Dhana menimpali, tuntutan jaksa keliru. Menurut Daniel, tuduhan jaksa seputar keterlibatan klien­nya dalam kasus korupsi, salah total. Dia bilang, kliennya sama se­kali tak terlibat pengurusan pa­jak PT Mutiara Virgo (MV) tahun 2003-2004.

“Dhana tidak pernah terlibat menjadi pemeriksa pajak Mutia­ra Virgo,” tegasnya.

Dari situ, dia heran kenapa jak­sa bersikukuh menyebut bahwa Dhana memiliki motif mem­per­kaya diri sendiri atau korupsi da­lam pengurusan pajak kurang ba­yar PT Mutiara Virgo. “Ba­gai­mana bisa klien kami dikaitkan dengan motif, kalau memang ti­dak terkait sama sekali,” tandasnya.

Namun, menurut jaksa, keter­libatan Dhana dalam pengurusan pajak PT Mutiara Virgo di­iden­tifikasi lewat penerimaan uang Rp 3,4 miliar. Uang itu terkait pajak yang ditangani koleganya sesama PNS Ditjen Pajak, Herly Isdhiharsono. Uang itu diterima Dhana melalui Liana Apriani dan Femmy Solichin.

Oleh Dhana, uang itu lalu di­transfer ke rekening Mandiri atas nama Neni Noviandini Rp 1,4 mi­liar. Transfer ke Neni dilak­u­kan karena permintaan Herly un­tuk pembayaran rumah di Taman Berdikari Sentosa, Rawamangun, Jakarta Timur.

Lalu, uang sisa sebesar Rp 2 mi­liar di rekening Mandiri Dha­na, dimanfaatkan untuk ke­pen­tingan pribadinya. Padahal, jabar jaksa, uang Rp 3,4 miliar yang di­kirim ke rekening Dhana di Bank Mandiri Cabang Nindya Karya itu, terbukti diperoleh Herly dari pe­ngurusan pajak PT Mutiara Vir­go. “Perolehan uang  itulah yang dilakukan secara melawan hukum,” katanya. Jadi, jaksa me­nilai, Dhana tetap bisa dituntut terlibat tindak pidana korupsi.

Jaksa juga menyimpulkan, du­gaan korupsi teridentifikasi lewat aliran dana  Mandiri Traveller Cheque (MTC). MTC diperoleh ter­dakwa dari staf keuangan Pem­kot Batam, Ardiansyah. Nilainya, Rp 1,25 miliar. Jaksa menyebut, saksi Ardiansyah pada kete­ra­ngannya menyatakan, pembelian MTC dilakukan atas perintah Er­winta dan Raja H.

Pola korupsi sejenis juga di­pa­parkan jaksa. Dalam tuntutannya, jaksa menyebutkan, Dhana sem­pat menerima MTC dari wajib pajak, Rudi Kurniawan Rp 500 juta. MTC dicairkan Dhana di Bank Mandiri pada 10 Oktober 2007. Kesaksian dan fakta-fakta tersebut, meyakinkan jaksa untuk menuntut Dhana melanggar Pasal 12 b Ayat 1 UU Tipikor.

Berkaitan dengan tuntutan ke­dua, yakni menyalahgunakan we­wenang sebagai pegawai ne­geri sipil, jaksa menilai, Dhana teledor dalam menghitung pajak PT Kor­net Trans Utama (KTU). Pa­salnya, pemeriksaan meng­gu­na­kan data eksternal yang tidak valid.

Persoalan ini diawali per­te­muan antara Dhana dan tim pe­meriksa pajak PT KTU, Salman dan Firman dengan Dirut dan Di­rektur PT KTU di TIS Square, Te­bet,  Jakarta Selatan. Ketika itu, Dhana cs menawarkan bantuan un­tuk mengurangi nilai pajak PT KTU dengan imbalan Rp 1 miliar.

Tapi permintaan tersebut di­to­lak Dirut KTU. Tak kurang akal, Dhana dan koleganya lalu me­ngancam KTU dengan  me­nge­luar­kan surat ketetapan pajak ku­rang bayar sesuai data eksternal. PT KTU pun mengajukan ban­ding ke pengadilan pajak. Iro­nis­nya, hakim menerima  banding ter­sebut dan menyatakan data eks­ternal yang dipakai Dhana ti­dak dapat digunakan sebagai acu­an penghitungan pajak.

Menurut JPU, per­bua­tan ter­dakwa merugi­kan ke­uangan ne­gara Rp 967 juta ditambah bunga Rp 241 juta, total Rp 1,208 miliar.

“Meminta majelis ha­kim menjatuhkan pidana pen­jara 12 ta­hun dan denda Rp 1 mi­liar subsider 6 bulan,” ucap Kuntadi.

Menurut Daniel Alfredo, pi­hak­nya masih mempelajari selu­ruh tuntutan jaksa. “Kami masih fokus pada upaya menyusuan pem­belaan. Masih banyak hal janggal yang perlu diklarifikasi di sini,” katanya.

REKA ULANG

Yang Jadi Tersangka Belakangan

Penyidik Kejaksaan Agung menetapkan satu orang lagi bekas atasan Dhana Widyatmika seba­gai tersangka, yakni Sarah Lallo, bekas Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Penetapan tersangka Sarah Lallo merupakan hasil pe­ngem­ba­ngan perkara salah satu ter­sangka kasus ini, konsultan pajak Hendro Tirtajaya (HT). “Dari pe­ngembangan perkara HT, pe­nyi­dik mendapatkan fakta hukum yang dapat disimpulkan sebagai alat bukti untuk menetapkan SL se­bagai tersangka,” ujar Kepala Pu­sat Penerangan Hukum Ke­jak­saan Agung Adi Toegarisman.

Adi menyampaikan, Kejagung sedang mendalami peran SL da­lam kasus ini. Untuk pendalaman itu, penyidik memanggil dua sak­si. Kedua saksi ini, diperiksa se­jak pukul 10 pagi di Gedung Bun­dar, Kejaksaan Agung, Jakarta. “Untuk tersangka SL, dilakukan pemeriksaan dua saksi dari PNS Ditjen Pajak, yaitu Dwi Setyo Budi dan Agus Surono,” katanya Senin lalu (22/10).

Kapuspenkum menambahkan, para tersangka kasus ini sudah naik ke penuntutan, kecuali SL. “Sudah dilimpahkan semua. Ting­gal SL yang masih dalam pe­nyi­dikan,” ujar bekas Kepala Ke­jak­saan Tinggi Kepulauan Riau ini.

Berdasarkan penelusuran ter­hadap surat dakwaan Dhana, ter­cantum nama sejumlah petu­gas Ditjen Pajak yang menangani pajak PT Mutiara Virgo (MV). Sa­lah satunya Sarah Lallo. Pe­nanganan pajak itu berbau suap atau gratifikasi.

Begini ceritanya, DW di­dakwa de­ngan tiga dakwaan. Dakwaan per­tama menyangkut penanganan pa­jak PT Mutiara Virgo milik Johnny Basuki pada 2003 dan 2004, yang semestinya mem­ba­yar pajak lebih dari Rp 30 miliar.

Berdasarkan kajian tersangka Herly Isdiharsono terhadap peru­sa­haan itu, dibentuklah Tim Pe­meriksa Gabungan untuk me­ngu­rusi pajak itu. Tim itu terdiri dari, Su­pervisor Anggun Prayitno, Ke­tua Tim Sarah Lallo (SL), ang­gota tim Herly Isdiharsono dan Fa­rid Agus Mubarok.

 Meskipun tersangka Herly, ter­sangka Johnny dan tersangka Hendro tahu kewajiban pajak PT MV seharusnya lebih besar dari Rp 30 miliar, namun mereka se­pa­kat untuk menguranginya. Ke­se­pakatannya adalah Johnny ber­sedia membayar Rp 30 miliar yang meliputi, uang untuk mem­bayar kewajiban pajak yang telah dikurangi dan fee bagi pe­tugas atas jasa mengurangi ke­wajiban itu.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung sudah menetapkan enam ter­sangka kasus ini, yakni Dhana Widyatmika (Ditjen Pajak), Johnny Basuki (wajib pajak), Firman (Ditjen Pajak), Herly Isdiharsono (Ditjen Pajak), Sal­man Maghfiron (bekas pegawai Ditjen Pajak) dan Hendro Tirta­wijaya (konsultan pajak).

Nah, penyidik juga menelisik, apakah rekan-rekan DW yang ma­sih berstatus saksi kendati namanya telah disebut dalam dak­waan itu, juga kebagian duit suap tersebut. Yang pasti, ter­sang­ka kasus korupsi penanganan pajak ini bertambah satu, yakni SL.

Berharap Muncul Efek Jera

Daday Hudaya, Anggota Komisi III DPR

Politisi Partai Demokrat Daday Hudaya menyatakan, langkah jaksa menuntut ter­dak­wa dengan hukuman ekstra be­rat perlu didukung.

Hal ini ditujukan agar para pelaku kejahatan tindak pidana korupsi dan pencucian uang jera melakukan kejahatannya.  “Lang­kah jaksa perlu dikawal berbagai elemen yang ada,” ka­tanya, kemarin.

Yang penting, Daday me­ngi­ngat­kan, dasar penetapan tuntu­tan tersebut sesuai kriteria atau aturan hukum yang ada. Bukan di­ambil secara serampangan. Apalagi ditujukan untuk men­dongkrak citra kejaksaan yang terpuruk.

Idealnya, lanjut dia, tuntutan hukuman memang harus mak­simal. Tidak boleh tuntutan di­ambil hanya menimbang aspek yang meringankan terdakwa saja. Toh nantinya, per­tim­ba­ngan hakim akan menentukan, apakah terdakwa bisa dihukum sesuai tuntutan jaksa atau tidak. “Itu domain hakim yang me­nen­tukan,” ujarnya.

Dia menambahkan, tuntutan hu­kuman yang berat atau mak­si­mal, bisa menimbulkan efek sig­nifikan. Setidaknya, menurut dia, pelaku kejahatan korupsi dan sejenisnya jadi berpikir da­lam melaksanakan niat jahatnya.

Efek paling minimal dari ancaman hukuman ini, harap­nya, bisa meminimalisir tindak pidana korupsi. Tapi, dia me­nyadari, kejahatan korupsi dan sejenisnya senantiasa meli­bat­kan kelompok intelektual. Ka­rena itu, pola penanganannya ha­rus terpadu. Begitupula m­e­ka­nisme hukuman yang diambil.

Idealnya, imbuh dia, vonis dan hukumannya pun mesti di­ambil secara tegas. Artinya, ti­dak boleh ada kompromi me­nyangkut hukuman ini. “Pada prinsipnya, hukum itu bersifat mengikat dan memiliki suatu kepastian. Dia tidak boleh surut ketika berhadapan dengan siapa pun.”

Ada Anggapan Lebih Baik Korupsi Ketimbang Mencuri

Yenti Garnasih, Pengamat Pencucian Uang

Pengamat masalah pen­cu­cian uang dan dosen Universitas Trisakti Yenti Garnasih me­nya­takan, idealnya, tuntutan te­r­ha­dap para terdakwa kasus ko­rupsi dan pencucian uang mesti tinggi. Hal tersebut, menjadi sa­lah satu agenda penting dalam upaya pemberantasan korupsi.

“Tuntutan hukuman mak­si­mal itu idealnya mulai dit­e­rap­kan di sini. Sebab, dari pe­ne­ra­pan tuntutan hukuman mak­simal tersebut, banyak efek atau dampak positif yang timbul,” katanya.

Dia juga berharap, tuntutan hu­kuman maksimal bisa mem­buat pelaku kejahatan jera. Se­lain itu, menunjukkan bahwa jak­sa dan penegak hukum con­cern dalam upaya mencegah terjadinya kejahatan, khususnya korupsi dan pencucian uang.

Yenti pun menyayangkan, ba­nyaknya vonis hukuman ri­ngan pada pelaku kasus ko­rupsi. Soalnya, hukuman ringan itu menimbulkan penafsiran negatif masyarakat.

Ma­sya­rakat, kata dia, merasa tidak puas. Bahkan ada yang menilai, lebih baik korupsi, lan­taran hukumannya ringan ke­timbang mencuri karena huku­mannya berat.

Anggapan seperti itu, semes­tinya tidak boleh berkembang. Ka­rena lagi-lagi, pesimisme se­perti akan mengganjal pe­ne­ga­kan hukum. Oleh sebab itu, dia mewanti-wanti penegak hukum agar mau mengubah pola tun­tutan dan vonis hukuman secara lebih profesional.

“Berikan tuntutan maksimal pada setiap pelaku kejahatan ko­rupsi dan pencucian uang.” De­ngan sendirinya, dia yakin, hal tersebut akan membawa dam­pak positif dalam member­dayakan citra penegakan hu­kum.  Terlebih, kasus korupsi dan pencucian uang sudah akut.

“Jangan ada keraguan untuk menerapkan tuntutan hukuman maksimal,” tandasnya.  [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA