James Terbukti Suap Tommy Pakai Duit Bhakti Investama

Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta

Sabtu, 20 Oktober 2012, 08:29 WIB
James Terbukti Suap Tommy Pakai Duit Bhakti Investama
James Gunaryo
RMOL. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis James Gunaryo hukuman 3,5 tahun penjara. Terdakwa James terbukti menyuap pegawai Kantor Pelayanan Pajak Sidoarjo, Tommy Hindratno menggunakan uang dari PT Bhakti Investama.

Ketua Majelis Hakim Dhar­ma­wati Ningsih menyatakan, ter­dak­wa terbukti  melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf b sebagaimana ter­tera dalam dakwaan primer. Da­lam dakwaan, James memberikan suatu imbalan sebagai bentuk suap kepada pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara.

“Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tin­dak pidana korupsi. Menjatuh­kan pi­dana penjara selama tiga tahun enam bulan, dan denda 100 juta ru­piah, subsidair tiga bulan ku­ru­ngan,” ujarnya dalam sidang, kemarin.

Hakim berkeyakinan, uang suap yang disampaikan James ke­pada Tommy, bersumber dari dana pengembalian kelebihan ba­yar pajak PT Bhakti. Keyakinan ini diambil sesuai tuntutan jaksa yang sebelumnya menyebutkan, peran James membantu meng­hu­bungkan PT Bhakti dengan pe­gawai Ditjen Pajak Tomy.

Upaya menghubungkan PT Bhakti dengan Tommy, dilakukan agar Tommy  memfasilitasi ke­luar­nya surat kelebihan bayar pa­jak PT Bhakti senilai Rp 3,42 mi­liar. Menurut majelis hakim, pe­nyuapan dilakukan setelah Tommy dan tiga koleganya sesama  pega­wai Ditjen Pajak, sukses me­ngu­rus kelebihan pajak PT Bhakti se­besar Rp 3,42 milliar.

Menurut hakim, begitu pem­ba­yaran kelebihan pembayaran pa­jak ditransfer ke rekening PT Bhak­ti, James berperan aktif men­cairkan komisi untuk Tommy. Melalui Komisaris Independen PT Bhakti Antonius Tonbeng, pada 5 Juni 2012, uang komisi se­b­esar 10 persen atau Rp 340 juta diterima James.

Sesuai rencana, uang tersebut di­dis­tribusikan James kepada Tom­my. Namun nominal uang yang disampaikan hanya Rp 280 juta. Alasannya, uang tersebut sebagai pembayaran fee tahap pertama. Saat penyerahan uang dilak­sa­na­kan di sebuah rumah makan di ka­wasan Tebet, Jakarta Selatan pada 6 Juni 2012, petugas KPK me­nang­kap tangan James dan Tommy.

Setelah menimbang rangkaian proses suap ini, hakim menilai, upaya James dan Tommy sebagai bentuk pelanggaran hukum. Na­mun kuasa hukum James, Sehat Da­manik menepis semua tudu­han tersebut. Menurutnya, uang yang diserahkan kepada Tommy bu­kan uang suap atau fee. Me­lainkan, uang untuk membayar utang kliennya kepada Tommy. Soalnya, James sempat berutang Rp 340 juta kepada Tommy.

Utang itu, menurut Sehat, di­gunakan untuk keperluan pengo­batan orang tua dan adik James. “Terdakwa menemui Tomy untuk membayar utang, Rp 280 juta,” katanya seperti pada persidangan 8 Oktober lalu. Lagi-lagi, dia mem­bantah bila uang tersebut berkaitan dengan PT Bhakti. “Uang itu bukan dari Bhakti In­vestama,” ucapnya.

Kendati tidak puas pada putu­san hakim, pihaknya memilih untuk mendiskusikan lebih da­hulu, apa akan menempuh upaya hukum lanjutan. Putusan hakim tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK. JPU menuntut terdakwa hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta, subsider em­pat bulan kurungan.

Menurut JPU, James mem­ban­tu menghubungkan PT Bhakti de­ngan Tommy. Hal itu dilakukan agar Tommy memfasilitasi ke­luar­nya surat kelebihan bayar pajak PT Bhakti senilai Rp 3,42 milliar.

Darmawati melanjutkan, pu­tu­san hukuman yang lebih ringan dari tuntutan jaksa diambil sete­lah menimbang hal-hal yang me­ringankan dan memberatkan ter­dakwa. Hal yang dianggap me­ri­ngankan antara lain, terdakwa me­matuhi aturan persidangan alias ber­laku sopan selama per­si­da­ngan, belum pernah dihu­kum, ser­ta memiliki tanggungan keluarga.

Akan tetapi, dia mengaku, pu­tusan hakim cenderung me­nim­bang hal-hal yang memberatkan terdakwa. Hal-hal yang dianggap memberatkan itu meliputi per­tim­bangan bahwa terdakwa tak me­nyesali perbuatannya dan ber­be­lit-belit dalam memberikan ke­te­rangan. Pertimbangan hakim yang paling memberatkan ter­dak­wa, menurut Darmawati, terkait tindakan terdakwa yang dinilai bisa menggerus atau menurunkan kepercayaan masyarakat kepada Ditjen Pajak.

REKA ULANG

Ngaku Lupa Nomor Telepon Sendiri

James Gunaryo sempat mem­buat kesal majelis hakim Penga­dilan Tipikor Jakarta yang me­na­ngani kasusnya.

Hakim kesal bukan cuma lan­taran James menyangkal pem­bi­caraannya dengan saksi Ko­mi­saris Independen PT Bhakti In­vestama Antonius Tobeng dan pihak lain yang disadap tim KPK. Kekesalan hakim memuncak lantaran James mengaku tidak ingat nomor telepon selulernya yang disadap itu.

Akibatnya, hakim Alexander Marwata dan hakim Anwar tam­pak berang. Keduanya heran, se­bab James mengaku tidak ingat no­mor telepon selulernya sendiri. Apalagi, dalam berkas acara pe­meriksaan (BAP), James mem­be­narkan, nomor ponsel 08788211xxx itu miliknya.  

Pertanyaan hakim mengenai nomor telepon seluler dalam si­dang itu, bermula dari pernyataan James pada sidang sebelumnya, bahwa suara dalam rekaman ter­sebut, bukanlah suaranya. Aki­batnya, hakim Anwar mencecar terdakwa. Anwar bertanya, kalau itu bukan suara terdakwa, kenapa suara hasil sadapan diperoleh dari nomor ponsel James.

“Apa benar nomor 08788211xxx ini nomor HP sau­dara,” tanya An­war. James menjawab, “Saya lupa.” Mendapat jawaban yang tidak me­muaskan, Anwar mene­gur ter­dakwa. “Jangan main-main, ini ja­waban saudara di BAP,” omelnya. Anwar pun me­minta James jujur dalam me­m­berikan keterangan.

Dalam sidang sebelumnya, sak­si Antonius Tonbeng juga me­nyangkal terlibat skenario pem­berian suap Rp 280 juta kepada pe­gawai pajak Tommy Hin­dratno. Dia membantah hasil pe­nya­dapan teleponnya.

Untuk mendapatkan kebenaran materil, majelis hakim meminta jaksa penuntut umum (JPU) KPK memaparkan bukti-bukti reka­man. Maka, hasil sadapan penyi­dik KPK diputar. Sehingga, ter­dengarlah percakapan via tele­pon, yang menurut JPU, antara terdakwa dengan sejumlah orang.

Sedikitnya, terdapat dua po­to­ngan rekaman yang diputar JPU. Potongan rekaman pertama, di­yakini JPU berisi suara James dan Antonius. Dalam rekaman itu, Ja­mes bertanya mengenai biaya operasional untuk meloloskan pengembalian pajak lebih bayar PT Bhakti. Pada percakapan itu, Antonius mengiyakan apa yang dikemukakan James.

Percakapan melalui telepon yang disadap pada 5 Juni 2012 itu, memberi petunjuk tentang usaha James menagih kom­pen­sasi atas pencairan pajak lebih ba­yar PT Bhakti kepada Antonius. Dalam rekaman tersebut, orang yang diyakini JPU adalah Anto­nius itu mengatakan, “Saya usa­ha­kan hari ini cash.” Ucapan itu me­nanggapi perkataan James, “Di­ambil cek aja juga tidak apa-apa.”

Akan tetapi, James membantah isi percakapan tersebut. Dia pun mengaku tidak mengenal suara orang yang diidentifikasi sebagai lawan bicaranya. “Saya tidak ke­nal,” katanya.

Tak puas atas jawaban ter­dak­wa, jaksa memutar penggalan re­kaman lain. Kali ini, isi per­ca­ka­pan antara James dengan Maya, Saf Acoun­ting PT Bhakti. Su­b­stansi rekaman ini tentang upaya james me­nge­tahui, sejauhmana Antonius me­ngu­payakan pen­cairan succes fee untuk Tommy Hindratno Cs.

Dalam rekaman, beberapa kali la­wan bicara James memanggil dengan sebutan Jim, Jimmy dan Gun. Tapi lagi-lagi, James me­nga­ku tidak kenal suara perem­puan yang berbicara dengannya. “Saya tidak kenal.”

Pernyataan James tidak me­ngenal lawan bicaranya, mem­buat hakim merasa janggal. Soal­nya, keterangan tersebut sangat berbeda dengan apa yang dipa­par­kan James dalam BAP.

Sudah Jelas Siapa Lagi Yang Terlibat

Alfons Leomau, Purnawirawan Polri

Kombes (purn) Alfons Leo­mau menyatakan, dalam hukum acara pidana, ada teori wills teory. Teori itu menyiratkan sikap apa­kah penegak hukum mau dan tahu dalam menindaklanjuti sebuah perkara.

“Dalam kasus ini, bukan ha­nya hakim harus cermat. Tapi, hakim juga harus mau dan tahu apa yang idealnya dilakukan,” katanya. Teori mau dan tahu itu, sambungnya, dikenal dengan istilah wills teory.

Dengan teori itu, hakim bisa ber­tindak sesuai dengan ke­mau­an dan pemahamannya. Dia me­lihat, perkara James Gu­nar­yo ini tidak berdiri sendiri. Ada pi­hak lain yang bisa dijerat sesuai Pasal 55 dan 56 KUHP tentang penyertaan. “Sangat kental aro­ma penyertaannya,” ujarnya.

Dia mencontohkan, keterli­ba­tan terdakwa Tommy Hin­drat­no dalam kasus suap, bisa diklasifikasi sebagai orang yang ikut serta. Tapi kapasitasnya se­bagai pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara, yang bersangkutan bisa dikenai pasal korupsi.

Yang jelas, kecermatan ha­kim di sini sangat utama. Ka­re­na itu, dia meminta agar ha­kim bijaksana dalam menyelesaikan kasus ini. Lebih jauh, saat di­singgung mengenai bantahan James soal asal-usul uang, Al­fons menandaskan, hal itu biasa terjadi dalam persidangan.

Alibi seringkali muncul guna menepis dakwaan. Karenanya, dia mengingatkan hakim se­nan­tiasa berpedoman pada kode etik profesi hakim. “Saya rasa ha­kim punya independensi da­lam menentukan arah pengusu­tan kasus ini,” tuturnya.

Dengan independensinya ter­sebut, dia yakin, keterlibatan pi­hak lain dalam perkara ini akan terbongkar. “Sudah jelas kok ba­­gaimana kasus ini terjadi. Bah­kan, siapa pihak dari Bhakti Investama yang bisa dijerat pa­sal penyertaan, juga sudah ter­pa­par dalam sidang-sidang sebe­lumnya,” tandas Alfons.

Tidak Boleh Berhenti Sampai James Gunaryo

Rindhoko Wahono, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Rindhoko Wahono menduga, ada se­suatu di balik kasus James Gu­naryo ini. Dia juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi menindaklanjuti perkara suap tersebut kepada semua pihak yang diduga sebagai penerima dan pemberi suap.

Akan tetapi, dia berpan­da­ngan, seharusnya penerima suap diproses hukum lebih dulu di pengadilan. Apalagi dalami kasus ini, pihak penerima suap­nya adalah pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara. “Pe­nerima suap bisa juga punya peran dominan, yakni mengatur alur suap,” katanya.

Terlebih lagi, menurutnya, pe­ne­rima suap dalam kasus ini adalah pegawai negeri  Direk­torat Jenderal Pajak Ke­men­te­rian Keuangan yang diduga mem­punyai kemampuan atau ke­lihaian memanipulasi pajak. “Penilaian seperti itu sudah umum,” tandas anggota DPR dari Partai Gerindra ini.

Dia melihat, penyelewengan oknum Ditjen Pajak sudah sa­ngat masif. Lantaran itu, menu­rut Rindhoko, pengusutan kasus suap yang melibatkan orang-orang Ditjen Pajak hendaknya dibawa hingga ke tingkat Pan­sus DPR. Soalnya, kata dia, penyimpangan-penyimpangan pa­jak sejauh ini baru me­nyen­tuh level bawah. “Belum sam­pai tahap atau tingkat ring satu,” tandasnya.

Padahal, jika ada keinginan membongkar konspirasi seputar pajak, bukan persoalan sulit. Menurutnya, penegak hukum baik KPK, kepolisian dan ke­jak­saan sudah punya data leng­kap tentang dugaan pe­nye­le­we­ngan pajak kelas kakap.

Dengan kemauan kuat itu, dia mengharapkan, tidak ada lagi pihak-pihak yang terkesan di­kor­bankan dalam kasus terse­but. “Kasus James tidak boleh berhenti sampai di sini. Buk­tikan keterlibatan pihak-pihak lain­nya. Sesuatu di balik James ha­rus dibongkar,” te­gasnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA