Ketua Majelis Hakim DharÂmaÂwati Ningsih menyatakan, terÂdakÂwa terbukti melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf b sebagaimana terÂtera dalam dakwaan primer. DaÂlam dakwaan, James memberikan suatu imbalan sebagai bentuk suap kepada pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara.
“Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tinÂdak pidana korupsi. MenjatuhÂkan piÂdana penjara selama tiga tahun enam bulan, dan denda 100 juta ruÂpiah, subsidair tiga bulan kuÂruÂngan,†ujarnya dalam sidang, kemarin.
Hakim berkeyakinan, uang suap yang disampaikan James keÂpada Tommy, bersumber dari dana pengembalian kelebihan baÂyar pajak PT Bhakti. Keyakinan ini diambil sesuai tuntutan jaksa yang sebelumnya menyebutkan, peran James membantu mengÂhuÂbungkan PT Bhakti dengan peÂgawai Ditjen Pajak Tomy.
Upaya menghubungkan PT Bhakti dengan Tommy, dilakukan agar Tommy memfasilitasi keÂluarÂnya surat kelebihan bayar paÂjak PT Bhakti senilai Rp 3,42 miÂliar. Menurut majelis hakim, peÂnyuapan dilakukan setelah Tommy dan tiga koleganya sesama pegaÂwai Ditjen Pajak, sukses meÂnguÂrus kelebihan pajak PT Bhakti seÂbesar Rp 3,42 milliar.
Menurut hakim, begitu pemÂbaÂyaran kelebihan pembayaran paÂjak ditransfer ke rekening PT BhakÂti, James berperan aktif menÂcairkan komisi untuk Tommy. Melalui Komisaris Independen PT Bhakti Antonius Tonbeng, pada 5 Juni 2012, uang komisi seÂbÂesar 10 persen atau Rp 340 juta diterima James.
Sesuai rencana, uang tersebut diÂdisÂtribusikan James kepada TomÂmy. Namun nominal uang yang disampaikan hanya Rp 280 juta. Alasannya, uang tersebut sebagai pembayaran fee tahap pertama. Saat penyerahan uang dilakÂsaÂnaÂkan di sebuah rumah makan di kaÂwasan Tebet, Jakarta Selatan pada 6 Juni 2012, petugas KPK meÂnangÂkap tangan James dan Tommy.
Setelah menimbang rangkaian proses suap ini, hakim menilai, upaya James dan Tommy sebagai bentuk pelanggaran hukum. NaÂmun kuasa hukum James, Sehat DaÂmanik menepis semua tuduÂhan tersebut. Menurutnya, uang yang diserahkan kepada Tommy buÂkan uang suap atau fee. MeÂlainkan, uang untuk membayar utang kliennya kepada Tommy. Soalnya, James sempat berutang Rp 340 juta kepada Tommy.
Utang itu, menurut Sehat, diÂgunakan untuk keperluan pengoÂbatan orang tua dan adik James. “Terdakwa menemui Tomy untuk membayar utang, Rp 280 juta,†katanya seperti pada persidangan 8 Oktober lalu. Lagi-lagi, dia memÂbantah bila uang tersebut berkaitan dengan PT Bhakti. “Uang itu bukan dari Bhakti InÂvestama,†ucapnya.
Kendati tidak puas pada putuÂsan hakim, pihaknya memilih untuk mendiskusikan lebih daÂhulu, apa akan menempuh upaya hukum lanjutan. Putusan hakim tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK. JPU menuntut terdakwa hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta, subsider emÂpat bulan kurungan.
Menurut JPU, James memÂbanÂtu menghubungkan PT Bhakti deÂngan Tommy. Hal itu dilakukan agar Tommy memfasilitasi keÂluarÂnya surat kelebihan bayar pajak PT Bhakti senilai Rp 3,42 milliar.
Darmawati melanjutkan, puÂtuÂsan hukuman yang lebih ringan dari tuntutan jaksa diambil seteÂlah menimbang hal-hal yang meÂringankan dan memberatkan terÂdakwa. Hal yang dianggap meÂriÂngankan antara lain, terdakwa meÂmatuhi aturan persidangan alias berÂlaku sopan selama perÂsiÂdaÂngan, belum pernah dihuÂkum, serÂta memiliki tanggungan keluarga.
Akan tetapi, dia mengaku, puÂtusan hakim cenderung meÂnimÂbang hal-hal yang memberatkan terdakwa. Hal-hal yang dianggap memberatkan itu meliputi perÂtimÂbangan bahwa terdakwa tak meÂnyesali perbuatannya dan berÂbeÂlit-belit dalam memberikan keÂteÂrangan. Pertimbangan hakim yang paling memberatkan terÂdakÂwa, menurut Darmawati, terkait tindakan terdakwa yang dinilai bisa menggerus atau menurunkan kepercayaan masyarakat kepada Ditjen Pajak.
REKA ULANG
Ngaku Lupa Nomor Telepon Sendiri
James Gunaryo sempat memÂbuat kesal majelis hakim PengaÂdilan Tipikor Jakarta yang meÂnaÂngani kasusnya.
Hakim kesal bukan cuma lanÂtaran James menyangkal pemÂbiÂcaraannya dengan saksi KoÂmiÂsaris Independen PT Bhakti InÂvestama Antonius Tobeng dan pihak lain yang disadap tim KPK. Kekesalan hakim memuncak lantaran James mengaku tidak ingat nomor telepon selulernya yang disadap itu.
Akibatnya, hakim Alexander Marwata dan hakim Anwar tamÂpak berang. Keduanya heran, seÂbab James mengaku tidak ingat noÂmor telepon selulernya sendiri. Apalagi, dalam berkas acara peÂmeriksaan (BAP), James memÂbeÂnarkan, nomor ponsel 08788211xxx itu miliknya.
Pertanyaan hakim mengenai nomor telepon seluler dalam siÂdang itu, bermula dari pernyataan James pada sidang sebelumnya, bahwa suara dalam rekaman terÂsebut, bukanlah suaranya. AkiÂbatnya, hakim Anwar mencecar terdakwa. Anwar bertanya, kalau itu bukan suara terdakwa, kenapa suara hasil sadapan diperoleh dari nomor ponsel James.
“Apa benar nomor 08788211xxx ini nomor HP sauÂdara,†tanya AnÂwar. James menjawab, “Saya lupa.†Mendapat jawaban yang tidak meÂmuaskan, Anwar meneÂgur terÂdakwa. “Jangan main-main, ini jaÂwaban saudara di BAP,†omelnya. Anwar pun meÂminta James jujur dalam meÂmÂberikan keterangan.
Dalam sidang sebelumnya, sakÂsi Antonius Tonbeng juga meÂnyangkal terlibat skenario pemÂberian suap Rp 280 juta kepada peÂgawai pajak Tommy HinÂdratno. Dia membantah hasil peÂnyaÂdapan teleponnya.
Untuk mendapatkan kebenaran materil, majelis hakim meminta jaksa penuntut umum (JPU) KPK memaparkan bukti-bukti rekaÂman. Maka, hasil sadapan penyiÂdik KPK diputar. Sehingga, terÂdengarlah percakapan via teleÂpon, yang menurut JPU, antara terdakwa dengan sejumlah orang.
Sedikitnya, terdapat dua poÂtoÂngan rekaman yang diputar JPU. Potongan rekaman pertama, diÂyakini JPU berisi suara James dan Antonius. Dalam rekaman itu, JaÂmes bertanya mengenai biaya operasional untuk meloloskan pengembalian pajak lebih bayar PT Bhakti. Pada percakapan itu, Antonius mengiyakan apa yang dikemukakan James.
Percakapan melalui telepon yang disadap pada 5 Juni 2012 itu, memberi petunjuk tentang usaha James menagih komÂpenÂsasi atas pencairan pajak lebih baÂyar PT Bhakti kepada Antonius. Dalam rekaman tersebut, orang yang diyakini JPU adalah AntoÂnius itu mengatakan, “Saya usaÂhaÂkan hari ini cash.†Ucapan itu meÂnanggapi perkataan James, “DiÂambil cek aja juga tidak apa-apa.â€
Akan tetapi, James membantah isi percakapan tersebut. Dia pun mengaku tidak mengenal suara orang yang diidentifikasi sebagai lawan bicaranya. “Saya tidak keÂnal,†katanya.
Tak puas atas jawaban terÂdakÂwa, jaksa memutar penggalan reÂkaman lain. Kali ini, isi perÂcaÂkaÂpan antara James dengan Maya, Saf AcounÂting PT Bhakti. SuÂbÂstansi rekaman ini tentang upaya james meÂngeÂtahui, sejauhmana Antonius meÂnguÂpayakan penÂcairan succes fee untuk Tommy Hindratno Cs.
Dalam rekaman, beberapa kali laÂwan bicara James memanggil dengan sebutan Jim, Jimmy dan Gun. Tapi lagi-lagi, James meÂngaÂku tidak kenal suara peremÂpuan yang berbicara dengannya. “Saya tidak kenal.â€
Pernyataan James tidak meÂngenal lawan bicaranya, memÂbuat hakim merasa janggal. SoalÂnya, keterangan tersebut sangat berbeda dengan apa yang dipaÂparÂkan James dalam BAP.
Sudah Jelas Siapa Lagi Yang Terlibat
Alfons Leomau, Purnawirawan Polri
Kombes (purn) Alfons LeoÂmau menyatakan, dalam hukum acara pidana, ada teori wills teory. Teori itu menyiratkan sikap apaÂkah penegak hukum mau dan tahu dalam menindaklanjuti sebuah perkara.
“Dalam kasus ini, bukan haÂnya hakim harus cermat. Tapi, hakim juga harus mau dan tahu apa yang idealnya dilakukan,†katanya. Teori mau dan tahu itu, sambungnya, dikenal dengan istilah wills teory.
Dengan teori itu, hakim bisa berÂtindak sesuai dengan keÂmauÂan dan pemahamannya. Dia meÂlihat, perkara James GuÂnarÂyo ini tidak berdiri sendiri. Ada piÂhak lain yang bisa dijerat sesuai Pasal 55 dan 56 KUHP tentang penyertaan. “Sangat kental aroÂma penyertaannya,†ujarnya.
Dia mencontohkan, keterliÂbaÂtan terdakwa Tommy HinÂdratÂno dalam kasus suap, bisa diklasifikasi sebagai orang yang ikut serta. Tapi kapasitasnya seÂbagai pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara, yang bersangkutan bisa dikenai pasal korupsi.
Yang jelas, kecermatan haÂkim di sini sangat utama. KaÂreÂna itu, dia meminta agar haÂkim bijaksana dalam menyelesaikan kasus ini. Lebih jauh, saat diÂsinggung mengenai bantahan James soal asal-usul uang, AlÂfons menandaskan, hal itu biasa terjadi dalam persidangan.
Alibi seringkali muncul guna menepis dakwaan. Karenanya, dia mengingatkan hakim seÂnanÂtiasa berpedoman pada kode etik profesi hakim. “Saya rasa haÂkim punya independensi daÂlam menentukan arah pengusuÂtan kasus ini,†tuturnya.
Dengan independensinya terÂsebut, dia yakin, keterlibatan piÂhak lain dalam perkara ini akan terbongkar. “Sudah jelas kok baÂÂgaimana kasus ini terjadi. BahÂkan, siapa pihak dari Bhakti Investama yang bisa dijerat paÂsal penyertaan, juga sudah terÂpaÂpar dalam sidang-sidang sebeÂlumnya,†tandas Alfons.
Tidak Boleh Berhenti Sampai James Gunaryo
Rindhoko Wahono, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Rindhoko Wahono menduga, ada seÂsuatu di balik kasus James GuÂnaryo ini. Dia juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi menindaklanjuti perkara suap tersebut kepada semua pihak yang diduga sebagai penerima dan pemberi suap.
Akan tetapi, dia berpanÂdaÂngan, seharusnya penerima suap diproses hukum lebih dulu di pengadilan. Apalagi dalami kasus ini, pihak penerima suapÂnya adalah pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara. “PeÂnerima suap bisa juga punya peran dominan, yakni mengatur alur suap,†katanya.
Terlebih lagi, menurutnya, peÂneÂrima suap dalam kasus ini adalah pegawai negeri DirekÂtorat Jenderal Pajak KeÂmenÂteÂrian Keuangan yang diduga memÂpunyai kemampuan atau keÂlihaian memanipulasi pajak. “Penilaian seperti itu sudah umum,†tandas anggota DPR dari Partai Gerindra ini.
Dia melihat, penyelewengan oknum Ditjen Pajak sudah saÂngat masif. Lantaran itu, menuÂrut Rindhoko, pengusutan kasus suap yang melibatkan orang-orang Ditjen Pajak hendaknya dibawa hingga ke tingkat PanÂsus DPR. Soalnya, kata dia, penyimpangan-penyimpangan paÂjak sejauh ini baru meÂnyenÂtuh level bawah. “Belum samÂpai tahap atau tingkat ring satu,†tandasnya.
Padahal, jika ada keinginan membongkar konspirasi seputar pajak, bukan persoalan sulit. Menurutnya, penegak hukum baik KPK, kepolisian dan keÂjakÂsaan sudah punya data lengÂkap tentang dugaan peÂnyeÂleÂweÂngan pajak kelas kakap.
Dengan kemauan kuat itu, dia mengharapkan, tidak ada lagi pihak-pihak yang terkesan diÂkorÂbankan dalam kasus terseÂbut. “Kasus James tidak boleh berhenti sampai di sini. BukÂtikan keterlibatan pihak-pihak lainÂnya. Sesuatu di balik James haÂrus dibongkar,†teÂgasnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: