KPK Belum Mau Tetapkan Haris Jadi Tersangka

Beralasan Masih Perlu Lakukan Validasi

Jumat, 19 Oktober 2012, 10:00 WIB
KPK Belum Mau Tetapkan Haris Jadi Tersangka
Komisi Pemberantasan Korupsi

RMOL. KPK perlu memvalidasi keterangan Andi Haris Surahman dalam kasus suap pembahasan Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID). Bukan tak mungkin, hasil validasi merekomendasikan, saksi yang diduga sebagai perantara suap ini, menjadi tersangka.

Kepala Biro Humas KPK Jo­han Budi Sapto Prabowo me­nya­ta­kan, upaya memvalidasi kete­ra­ngan Haris dilaksanakan sete­lah ada permintaan hakim kepada jaksa penuntut umum (JPU) KPK. Dalam dua kali per­si­da­ngan, anggota majelis hakim Pa­ngeran Napitupulu, meminta jak­sa untuk meningkatkan status Ha­ris dari sak­si menjadi tersangka. “Itu se­dang kami tindaklanjuti,” katanya.

Untuk merealisasi permintaan ha­kim, KPK tengah menggali data dan bukti-bukti terkait hal ini. Johan menyatakan, proses va­lidasi keterangan Haris dilakukan dengan cara mengurut kesaksian dan bukti-bukti yang ada.

Menurutnya, pada proses vali­dasi, KPK tidak wajib memanggil atau mendatangkan Haris. Lang­kah awal, bisa dilakukan dengan memeriksa rangkaian keterangan dan kesaksian yang bersang­ku­tan. Bila pada proses tersebut di­te­mukan bukti-bukti lain, barulah KPK akan memanggil Haris.

Tapi, sambungnya, proses va­li­dasi memerlukan waktu. Soal­nya, KPK tidak bisa begitu saja me­ngikuti argumen hakim. “Kami lihat dulu, apakah dalam pro­ses tersebut, ditemukan dua alat bukti yang cukup,” katanya. Dua alat bukti itu, menjadi dasar bagi pe­nyidik KPK mening­kat­kan status saksi menjadi tersangka.

Apalagi, kata Johan, kesaksian Haris kepada penyidik maupun pada persidangan, semuanya di­sampaikan di bawah sumpah. Hal itu menjadi pedoman penyidik, dalam menilai kebenaran dan ke­jujuran kesaksian pengurus or­ganisasi sayap Golkar tersebut.  “Tentunya KPK menjadikan itu sebagai bahan pertimbangan.”

Pada proses validasi ini, ke­sak­sian Haris juga akan dicek ulang dengan keterangan terdakwa ka­sus tersebut. “Kita tunggu ha­sil­nya, setelah proses validasi yang di­tindaklanjuti dengan pen­ye­li­di­kan selesai,” tuturnya.

Dia menyampaikan, validasi men­jadi upaya KPK menelusuri se­tiap perkembangan perkara. KPK, sejauh ini sudah me­ngum­pulkan keterangan terdakwa Wa Ode Nurhayati dan terdakwa Fahd A Rafiq yang terungkap di per­sidangan. Keterangan-kete­ra­ngan itu, nantinya akan dipakai un­tuk mengukur kebenaran kete­rangan Haris. Johan optimis, pe­nilaian hakim yang menyebut ke­saksian Haris berbelit-belit, akan diketahui penyidik.

Sebagaimana diketahui, pada sidang Selasa (16/10), anggota  majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pangeran Napitupulu me­minta jaksa agar Haris dijadikan tersangka.

Hakim ini kesal lantaran Haris ti­dak konsisten dalam mem­be­ri­kan kesaksian. Haris, disebutnya, berbelit-belit dalam me­nyam­pai­kan kesaksian. Hal itu membuat kelancaran sidang terganggu.

Alhasil, Pangeran dengan suara tinggi bertanya pada jaksa, “Sau­dara penuntut umum, apa Haris ini sudah jadi tersangka?” Jaksa me­nimpali, Haris belum berstatus tersangka. Mendengar jawaban itu, Pangeran meminta KPK agar status Haris dijadikan ter­sangka. “Sam­pai­kan ke pe­nyidik,” tegasnya.

Sebelumnya, pada sidang 7 Agus­tus lalu, permintaan senada juga dilontarkan Pangeran. Keti­ka itu, Haris menjadi saksi untuk terdakwa Wa Ode Nurhayati. “Sau­dara jaksa, Haris sudah jadi ter­sangka belum? Jadikan ter­sangka,” tegasnya.

REKA ULANG

Ditransfer Melalui Rekening Haris

Terdakwa kasus suap pemba­ha­san Dana Penyesuaian Infra­struktur Daerah (DPID) Fahd El Fouz alias Fahd A Rafiq me­nye­butkan, Andi Haris Surahman me­rupakan sosok yang memiliki pe­ran penting dalam proyek DPID.

“Saya ini kan swasta, mana saya tahu soal alokasi dana itu. Dia yang jadi perantara. Dia kan staf ahli di DPR. Haris itu staff ahli dari anggota Partai Golkar,” kata Fahd. “Saya sudah buka di sini, semua hal sudah saya buka di KPK, tidak ada satu pun yang saya tutupi,” lanjutnya.

Dalam surat dakwaan, Fahd ber­sama Haris disebut memberi atau menjanjikan sesuatu sebesar Rp 5,5 miliar kepada peny­eleng­gara negara atau anggota Badan Anggaran DPR Wa Ode Nurha­yati dengan maksud meloloskan proposal alokasi dana  tiga kabu­paten di Nangroe Aceh Darus­salam, yakni Aceh Besar, Bener Meriah dan Pidie Jaya pada 2011.

Menurut jaksa penuntut umum (JPU) I Kadek Wiradana dkk, per­buatan terdakwa Fahd meru­pakan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 5 ayat 1 huruf a Un­dang Undang Tindak Pidana Ko­rupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Terdakwa juga diancam dakwaan subsider sebagaimana da­lam Pasal 13 UU Tipikor, Jo Pa­sal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Hal itu disampaikan JPU dalam si­dang di Pengadilan Tipikor Ja­karta, Jumat (12/10).

Fahd terancam hukuman penjara maksimal lima tahun dan denda maksimal Rp 250 juta. Perbuatan itu bertentangan de­ngan Undang Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), bahwa anggota DPR di­larang melakukan KKN dan me­nerima gratifikasi. “Dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan ke­wa­jibannya,” jelas Kadek.

Lebih lanjut, Kadek menya­ta­kan, suap itu bermula ketika ter­dakwa Fahd mengetahui adanya alokasi DPID tahun 2011 yang akan dibahas Banggar DPR se­kitar September 2010. Fahd ke­mu­dian menemui Haris di Ge­dung Sekretariat DPP Partai Gol­kar di kawasan Slipi, Jakarta Ba­rat.

“Dan, meminta mencarikan ang­gota Banggar yang bisa me­ngu­sahakan. Saat itu Haris me­nyang­gupinya. Haris pun meng­hubungi Syarif Ahmad, staf Wa Ode agar memfasilitas pertemuan terdakwa dengan Wa Ode,” katanya.

Beberapa hari kemudian, Haris bertemu Syarif Ahmad dan Wa Ode di Restoran Pulau Dua, Senayan, Jakarta. Haris, menurut JPU, kemudian menyampaikan per­mintaan Fahd agar Wa Ode me­ngusahakan tiga kabupaten sebagai penerima DPID. Per­min­taan tersebut disanggupi politisi PAN itu. “Masing-masing daerah aju­kan proposal,” ujar Wa Ode seperti ditirukan JPU.

Pada Oktober 2010, Fahd ber­sama Haris bertemu Wa Ode di Gedung DPR. Dalam pertemuan itu, Fahd menyampaikan kem­bali keinginannya kepada Wa Ode agar mengusahakan tiga ka­bu­paten sebagai penerima DPID de­ngan nilai masing-masing Rp 40 miliar.

Saat itu, menurut JPU, Wa Ode menanyakan komitmen Fahd untuk memberi 5-6 persen dari alokasi DPID. “Terdakwa Fahd menyanggupinya,” tandas Kadek.

Berbekal kesepakatan tersebut, Fahd kemudian menghubungi seorang pengusaha di Aceh yang bernama Zamzami agar menyiap­kan proposal dan menyediakan Rp 7,34 miliar sebagaimana per­mintaan Wa Ode untuk pen­gu­ru­san tiga kabupaten di Aceh itu. Zamzami kemudian dijanjikan Fahd akan menjadi pelaksana kegiatan yang dibiayai anggaran DPID.

Penyerahan komitmen untuk Wa Ode, menurut JPU, dilakukan melalui Haris dengan cara transfer ke rekening Haris sebesar Rp 6 mil­iar secara bertahap. Se­lanj­ut­nya, Haris menyerahkan uang yang diterimanya dari Fahd ke­pada Wa Ode melalui staf Wa Ode, Sefa Yolanda sebesar Rp 5,5 miliar.

Penyerahan itu sebagai bentuk realisasi komitmen 5-6 persen dari alokasi DPID tahun 2011 yang diterima tiga kabupaten, yang mana jumlahnya Rp 5,25 mi­liar dan sebesar 250 juta di­setor ke rekening Syarif Ahmad atas perintah Wa Ode.

Saksi Mahkota Bisa Ditingkatkan Jadi Tersangka

M Nurdin, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR M Nurdin mengkategorikan status saksi dalam dua kelompok. Saksi biasa dan saksi mahkota.

Ia pun meminta KPK cermat dalam mempertimbangkan per­mintaan hakim kasus ini. “Bia­sa­nya, saksi mahkota itu me­nge­tahui betul tindak pidana yang terjadi,” katanya. “Saksi mah­kota, biasanya bisa diting­katkan statusnya menjadi tersangka,” lanjutnya.

Hal tersebut dilandasi dugaan keterlibatannya secara langsung dalam sebuah perkara. Tapi, lan­jut pensiunan jenderal bintang tiga polisi ini, penyidik harus mam­pu memilah seberapa jauh keterlibatan saksi dalam kasus ini.

Dia sepakat bila KPK kem­bali melalukan validasi. Hal itu nantinya bisa menjadi modal bagi penyidik untuk kembali me­nilai, sejauhmana keterli­ba­tan saksi Andi Haris Surahman da­lam kasus Wa Ode.

“Apakah dia sebagai peran­tara saja, atau punya andil lebih besar dalam perkara suap yang melibatkan Wa Ode Nurhayati dan Fahd A Rafiq,” tandasnya.

Nurdin berharap, penyidik mampu memilah peranan saksi yang satu ini secara profesional. Jangan sampai, peran serta yang bersangkutan menguap begitu saja. Dari situ, katanya, hakim je­las akan kecewa lantaran per­mintaannya tidak terealisasi. “Tapi saya setuju, perlu alat buk­ti yang cukup lebih dulu un­tuk mengubah status saksi men­jadi tersangka,” katanya.

Lantaran itu, katanya, penyi­dik harus benar-benar jeli dalam menyikapi hal tersebut. “Kan orang yang disuap dan me­nyuap sudah ada. Tinggal seka­rang bagaimana peran saksi da­lam suap menyuap itu,” ujar ang­gota DPR dari PDIP ini.

Permintaan Hakim Berdasarkan Fakta Sidang Kasus DPID

Neta S Pane, Ketua Presidium IPW

Ketua Presidium LSM In­do­nesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menilai, permintaan ha­kim agar status Andi Haris Su­rahman ditingkatkan dari saksi menjadi tersangka, perlu di­garisbawahi KPK.

Soalnya, menurut Neta, tidak mungkin permintaan itu di­lontarkan hakim tanpa landasan fakta persidangan dan pert­im­bangan hukum.

“Pertimbangan itu mem­be­rikan keyakinan ke­pada hakim bahwa saksi punya keterkaitan da­lam kasus ini. Makanya, ha­kim berani me­min­ta KPK me­ngubah status saksi menjadi ter­sangka, melalui jaksa penuntut umum KPK,” tandasnya.

Neta menegaskan, KPK ti­dak boleh mengabaikan argu­men ha­kim. Dengan kata lain, KPK mesti menindaklanjuti per­min­taan hakim dengan lang­kah yang proporsional dan terukur. “Menjadi tugas pe­nyidik KPK untuk menin­dak­lan­juti hal itu,” katanya.

Dia menambahkan, upaya validasi merupakan hal teknis yang sah-sah saja dilaksanakan KPK. Dengan validasi itu, diharapkan, hal-hal yang me­latari peningkatan status saksi menjadi tersangka, dapat di­per­tanggungjawabkan secara hukum. “Jadi, penetapan status tersangka benar-benar di­san­darkan pada ketentuan hukum. Bukan semata-mata dilandasi permintaan hakim.”

Neta mengingatkan, upaya va­lidasi yang ditempuh KPK tidak hanya pada kasus suap DPID. Yang paling penting, katanya, hasil validasi nantinya disampaikan secara transparan. Dengan begitu, ada tidaknya perubahan status seseorang menjadi jelas. “Tidak menim­bul­kan kecurigaan,” ucapnya.  [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA