KPK Ogah Buru-buru Panggil Politisi Yang Disebut Yulianis

Tindak Lanjuti Keterangan Saksi Kasus Angie

Senin, 15 Oktober 2012, 09:38 WIB
KPK Ogah Buru-buru Panggil Politisi Yang Disebut Yulianis
Johan Budi

rmol news logo Kesaksian Yulianis di Pengadilan Tipikor bisa menjadi masukan bagi KPK. Untuk membuktikan kebenaran atas kesaksian tersebut, KPK pun memvalidasi pengakuan saksi kunci itu.

Kepala Biro Humas KPK Jo­han Budi Sapto Prabowo me­nya­takan, semua keterangan saksi Yulianis menjadi masukan bagi KPK. Tapi, katanya, KPK tidak bisa begitu saja merespon kesak­sian itu dengan memanggil para politisi yang disebutkan namanya oleh Yulianis. “Ada hal yang ha­rus dicermati lebih dahulu,” katanya.

Menurut Johan, pernyataan saksi di persidangan idealnya dijadikan masukan bagi penyidik. Namun, parameter kesaksian ter­sebut harus terukur secara jelas. Jangan sampai, penindakan yang dilakukan KPK, belakangan men­jadi bumerang.

Lantaran itu, Johan belum bisa memastikan, apalagi memasang tenggat waktu dalam menin­dak­lan­juti kesaksian Yulianis. “Kita verifikasi dulu. Lalu, dari situ kita masuk tahap validasi,” tuturnya.

Maksud dari verifikasi dan va­lidasi tersebut, sambungnya, bu­kan memintai keterangan Yu­lia­nis atau orang-orang yang na­ma­nya disebutkan. Melainkan, me­ne­laah isi keterangan Yulianis de­ngan keterangan saksi lain, ter­sangka maupun terdakwa kasus ini terlebih dahulu. Selebihnya, pada proses validasi itu, penyidik juga akan mencocokan data dan dokumen yang berkaitan dengan kasus tersebut.

Lantaran itu, dia menepis ang­ga­pan bahwa KPK sudah me­n­jad­walkan pemanggilan sejumlah po­litisi yang namanya disebut Yu­lianis. “Belum sampai ke arah sana. Belum ada rencana me­manggil orang-orang dari DPR,” tuturnya.

Menurut pengamat hukum dari Universitas Muhamadiyah Ja­kar­ta Chaerul Huda, kesaksian Yu­lianis mesti dipertimbangkan ma­sak-masak oleh KPK. Idealnya, keterangan saksi ini bisa m­e­ngungkap perkara-perkara lain. Namun, dia juga mengingatkan, keterangan saksi baru bisa dija­di­kan sebagai alat bukti apabila memenuhi dua unsur. “Ada ke­saksian saksi lain dan barang bukti,” jelasnya.

Yulianis merupakan saksi kun­ci kasus dugaan korupsi di Ke­menterian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Pendidikan Nasional. Dalam kesaksiannya untuk terdakwa politisi Partai Demokrat, Angelina Sondakh, Yulianis juga menyeret sejumlah nama anggota DPR.

Nama-nama politisi tersebut, dikategorikan sebagai pihak yang menggiring proyek di kemen­te­rian dan lembaga negara. Menu­rut Yulianis, untuk kejaksaan ada anggota Komisi III Aziz Syam­su­din (Golkar). Sedang untuk Ke­menag ada tiga nama, yaitu Abdul Kadir Karding (PKB), Said Abdulah (PDIP) dan Zulkarnain Djabar (Golkar). “Di catatan saya namanya Pak Said, keagamaan. Biasanya ditulis Komisi VIII,” imbuhnya.

Berikutnya, Yulianis juga me­nyebut nama Olly Dondokambey (PDIP). Namun dia tidak merinci, tugas Olly ini menggiring proyek di kementerian apa. Terakhir, Yu­lianis menyatakan ada juga pro­yek di Kemenkes yang me­li­bat­kan anggota Dewan. Tapi dia me­ngaku lupa nama anggota DPR yang dimaksud. “Itu Pak, orang PKS,” kata Yulianis kepada ma­jelis hakim.

Para politisi yang disebut Yu­lianis ramai-ramai membantah. Wakil Ketua Banggar DPR, Olly Dondokambey mengaku tak me­ngenal Yulianis. Ia menegaskan tak pernah berurusan dengan pe­rusahaan Nazar, apalagi m­e­la­kukan penggiringan anggaran.

 â€œMenggiring proyek? Caranya giringnya bagaimana? Kapan saya ketemu Yulianis? Nggak per­nah,” kata Olly di Gedung DPR. Olly mengaku baru tahu nama Grup Permai setelah kasus yang menjerat Nazar dan Angie ramai diberitakan. Sedangkan Aziz Syamsudin, lewat pesan pendek berkomentar pendek, “silence is golden. Lagi laris ya, nama Aziz atau Azis,” ujar po­litisi Golkar ini.

Anggota Komisi X DPR, I Wa­yan Koster santai menanggapi tu­dingan Yulianis. Bekas rekan satu ko­misi Angelina Sondakh ini me­ngaku sudah terbiasa difitnah dan siap menjalani menjalani proses hukum. “Saya serahkan pada pro­ses hukum yang sedang ber­lang­sung di Pengadilan Tipikor saja,” ujar Wayan.

Soal penggiringan, Wayan me­nyatakan, tak ada satu orangpun yang bisa melakukan hal itu. Ke­se­pakatan tentang pengalo­ka­sian ang­garan tak bisa dilakukan orang per orang. “Semua ang­garan di­putuskan melalui rapat bersama pe­merintah dan komisi,” katanya.

Sedangkan pihak Kejaksaan Agung tak mau mengomentari kesaksian Yulianis bahwa ada anggota Komisi III DPR yang men­jadi penggiring proyek di Ke­jagung. “Saya tidak bisa ber­ko­mentar, karena apa, karena tidak ada bukti,” kata Wakil Jaksa Agung Darmono di Jakarta, Jumat lalu.

Darmono menegaskan, dirinya dan pimpinan kejaksaan telah me­nyampaikan bahwa dana pro­yek di Kejaksaan Agung, tidak boleh sepeser pun ke luar kepada orang yang tidak berhak. “Jangan sampai sepeser pun ke luar kepada orang yang tidak berhak,” tandasnya.

REKA ULANG

Tersimpan Di Sebuah Hard Disk

Dalam sidang, Yulianis me­ngung­kap informasi penting. Isinya, perusahaan M Naza­rud­din, Permai Grup pernah me­ngi­rim uang sebanyak 13 kali ke Angelina Sondakh. Tujuannya, untuk mengamankan proyek Permai Grup di Kemenpora dan Kemendiknas.

Hal ini disampaikan Yulianis saat menjawab pertanyaan Ketua Majelis Hakim Sudjatmiko. “Apa­kah ada aliran dana ke Angie?”  Yulianis menjawab ada. Dia bi­lang, ada 13 kali pemberian uang pen­dukung. Uang itu dikirim un­tuk mensuport proyek di Ke­menterian Pemuda dan Olahraga serta di Kementerian Pendidikan Nasional.  Selain mengalir ke kocek Angie, Yulianis menya­ta­kan, ada pengiri­man uang se­banyak tiga kali yang dikirim ke I Wayan Koster, ang­gota DPR dari Fraksi PDIP.

 Menurut Yulianis, tiga belas pemberian uang itu direalisasi sejak 12 Maret hingga 3 No­vem­ber 2010.  Nilainya variatif, mulai dari yang terkecil Rp 70 juta sam­pai Rp 5 miliar.  Uang itu ada yang diantar ke kantor keduanya di Gedung DPR, serta disam­pai­kan melalui cara titip pada staf ke­dua anggota Dewan.

 Kesaksian memberatkan ini bikin Angie tak puas. Dalam si­dang, terdakwa ini mena­nya­kan, dari mana saksi tahu ada pem­berian uang sebanyak 13 kali? Me­nanggapi hal ini, Yulianis me­nyatakan, data pengeluaran itu masih tersimpan rapi di sebuah hardisk eksternal komputer milik Permai Grup.

Dia menjelaskan, aliran dana yang mengucur ke Angie dan Kos­ter merupakan sisa komitmen un­tuk tahun APBN 2009, satu aliran lagi merupakan APBN mur­ni tahun 2010 dan sisanya dari APBN Perubahan tahun 2010. Kini bukti tersebut telah diamankan KPK.

 Selain Yulianis, Octarina Furi pun dimintai kesaksiannya dalam sidang tersebut. Kali ini, bekas staf keuangan Permai Grup ini membeberkan, hubungan Angie dan Nazar dekat. Kedekatan itu disimpulkan lewat penjelasan bahwa dirinya pernah melihat Angie menghadiri ulang tahun Nazaruddin pada Agustus 2010.

Hakim Sudjatmiko lantas me­na­­­nyakan Octarina, bagaimana dirinya mengenali Angie. “Dia kan artis, Yang Mulia,” tegas Oc­ta­rina.  Selain artis, Octarina juga mengenal Angie karena masuk dalam daftar tim suport yang ke­bagian jatah dari Permai Group.

Data tersebut, sambungnya, diperoleh berdasarkan laporan sup­port yang diajukan tim mar­ke­ting di bawah kendali Direktur PT Anak Negeri, Rosa Manulang. PT Anak Negeri merupakan anak perusahaan Permai Grup. Dalam formulir untuk tagihan keluar tertulis keterangan inisial AS.

Langkah KPK Perlu Diapresiasi

Didi Irawadi Syamsudin, Anggota Komisi III DPR

Politisi Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsudin me­nya­takan, langkah KPK me­nin­daklanjuti kasus ini perlu men­da­patkan apresiasi apabila me­ka­nismenya sudah sesuai un­dang-undang yang berlaku. Dia pun meminta semua pihak me­ngawasi dan mencermati pengu­sutan kasus ini secara obyektif.

Menurutnya, sikap KPK yang ti­dak langsung mengambil lang­kah tegas menanggapi ke­saksian Yulianis, harus disikapi secara arif. Artinya, kehati-ha­tian penyidik dalam menyikapi persoalan tersebut menjadi hal yang perlu dikawal secara ketat.

“Idealnya, KPK tidak boleh buru-buru dalam menanggapi per­soalan ini. Harus ada data pendukung yang menguatkan kesaksian Yulianis. Jika tidak, akibat hukum dari kesaksian Yulianis ini sangat besar dan berat,” katanya.

Menurutnya, substansi per­soa­lan ini sangat kompleks. Ka­renanya, kehati-hatian penyidik menangani persoalan menjadi hal yang krusial. Tapi, dia me­nolak untuk menilai, apa mo­ti­vasi Yulianis membeberkan du­gaan keterlibatan sederet nama elit politik dalam kasus  te­r­se­but.“Itu bukan wewenang saya untuk menilainya. Biar pe­nyi­dik KPK yang mencari tahu ke­benaran keterangan tersebut.”

Usaha KPK memverifikasi mau­pun memvalidasi kete­ra­ngan saksi Yulianis, lanjut Didi, sangat penting. Hal itu juga ber­kaitan dengan nasib orang-orang yang namanya dise­but­kan dalam persidangan.

Jika hasil verifikasi atas kete­rangan Yulianis ini menunjukan arah yang benar atau tepat, maka penyidik harus segera me­nindaklanjutinya secara op­timal. “Jangan sampai kesak­sian yang bersifat premature justru dijadikan alat bagi KPK untuk membongkar kasus ini. Nantinya bisa jadi blunder buat KPK sendiri.”

Keterangan Saksi Mesti Dibuktikan

Ferdinand T  Andi Lolo, Kriminolog Universitas Indonesia

Dosen Kriminologi Uni­ver­sitas Indonesia Ferdinan T Andi Lolo menilai, kesaksian Yu­lia­nis belum bisa dikatakan se­ba­gai suatu fakta hukum. Harus ada alat bukti lain yang sesuai de­ngan keterangan yang ber­sangkutan. Fakta hukum itu ha­rus diperoleh  dengan cara-cara sesuai dengan prosedur hukum.

“Prinsip yang dianut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Indonesia adalah Unus Testis Nullus Testis. Artinya, satu saksi bukan saksi,” kata­nya. Dengan kata lain,  ke­sak­sian Yulianis masih di­ka­te­go­ri­kan sebagai dalil.  

“Ini harus dibuktikan dulu.” Jika tidak, pernyataannya di per­sidangan bisa menjadi keterangan palsu.

Hal lain yang dianggap meng­ganjal terkait upaya hakim yang harus bisa memastikan identitas saksi. Hal ini ditujukan untuk menghindari salah orang (error in persona). “Apa yang dilakukan hakim dalam konteks Yulianis, belum sepenuhnya memastikan bahwa orang yang bercadar adalah Yulianis. Soal­nya, yang mengidentifikasi Yu­lianis di ruang tertutup hanya penuntut umum dan pihak ter­dakwa,” jabarnya.

Ditambahkan, jika hanya mendengar pernyataan dari penuntut umum dan terdakwa,  hal itu tidak serta merta men­justifikasi hakim untuk me­nyatakan bahwa saksi adalah saksi yang sesuai.

Dia juga menilai, posisi Yu­lianis menimbulkan per­ta­nya­an. Apakah ia seorang whistle blower atau seorang justice collaborator?

Jika whistleblower, dia ha­ruslah orang yang tahu ada ke­ja­hatan dan siapa pelaku keja­hatan, namun tidak terlibat da­lam kejahatan itu. Ketika me­reka bekerjasama dengan ot­o­ritas hukum, mereka menjadi whistleblower. Motivasinya bisa untuk membantu otoritas hukum atau untuk meng­hin­dar­kan dirinya sendiri dari t­untutan hukum karena menghalangi hu­kum dengan cara ikut me­la­ku­kan kejahatan secara pasif.

Dia berpendapat, melihat kro­nologi kasus ini, Yulianis bu­kan whistleblower karena ia masuk atau menjadi bagian dari tindak pidana yang dilakukan Nazarudin, Mindo Rosalina Ma­nulang dan Angelina Son­dakh. Yulianis juga bukan se­orang justice collaborator, ka­rena sampai saat ini Yulianis tidak ditetapkan sebagai te­r­sangka.   [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA