Bekas Direktur IT Perpajakan Segera Duduki Kursi Terdakwa

Perkara Korupsi Pengadaan Sistem Informasi Ditjen Pajak

Minggu, 14 Oktober 2012, 10:22 WIB
Bekas Direktur IT Perpajakan Segera Duduki Kursi Terdakwa
ilustrasi

rmol news logo Berkas perkara korupsi pengadaan sistem informasi manajemen Direktorat Jenderal Pajak dengan tersangka bekas Direktur IT Perpajakan Kanwil Jakarta Khusus Riza Noor Karim telah dilimpahkan ke tahap penuntutan.

Tim jaksa penuntut umum (JPU) se­dang menyiapkan surat dak­wa­an terhadap Riza Noor Karim (RNK). “Pelimpahan tahap dua ini, diserahkan ke Kejaksaan Ne­geri Jakarta Selatan. Sudah di­lim­pahkan Senin, 8 Oktober lalu,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman di Gedung Ke­jak­sa­an Agung, Jalan Sultan Ha­sa­nud­din, Jakarta Selatan.

Setelah pelimpahan berkas ter­se­but, lanjut Adi, berarti RNK tidak lama lagi akan memasuki masa persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. “Kami menunggu jadwal si­dangnya nanti, setelah jaksa pe­nuntut umum selesai menyusun su­rat dakwaan,” ujar Adi.

Riza disangka merekayasa pro­ses lelang dengan cara me­me­nang­kan PT Berca Hardaya Per­kasa (PT BHP) milik Murdaya Poo, suami pengusaha Siti Hartati Murdaya. Gara-gara perkara du­gaan korupsi ini, Murdaya pernah diperiksa sebagai saksi oleh pe­nyidik pidana khusus di Gedung Bundar Kejaksaan Agung.

Dalam perkembangan pen­yi­di­kan, ditemukan sebagian barang yang diduga fiktif. Sebagian ba­rang lainnya tidak sesuai sp­e­si­fikasi yang telah ditentukan da­lam proses lelang tersebut.

Lantaran itu, Riza akan di­dak­wa dengan dakwaan primair Pa­sal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) b Undang Undang Nomor 31 ta­hun 1999 tentang Tindak Pidana Ko­rupsi, junto Undang Undang No­mor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Dakwaan sub­si­diair, Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) b Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pi­dana Ko­rupsi jo UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Berkas tersangka RNK sudah dinyatakan lengkap (P21) dengan Nomor B-46/F.3/Ft.1/09/2012, tetanggal 21 September 2012.

Kejaksaan Agung telah me­ne­tapkan enam tersangka kasus ini, yakni Ketua Panitia Lelang Ba­har, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pulung Sukarno, Direktur IT Perpajakan Kanwil Jakarta Khusus Riza Noor Karim, Direk­tur PT Berca Hardaya Perkasa Liem Wendra Halingkar, bekas Sek­retaris Ditjen Pajak Ahmad Sja­rifudin Alsjah dan Direktur Techni­cal Support PT Berca Hardaya Per­kasa Michael Surya Gunawan.

Dua diantara enam tersangka itu, yakni Bahar dan Pulung Su­karno telah divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Bahar dijatuhi hukuman tiga tahun penjara dipotong masa tahanan. Pu­lung dijatuhi huku­man dua ta­hun penjara dipotong masa ta­ha­nan. Keduanya hanya didenda Rp 50 juga subsider kurungan 3 bulan.

Majelis hakim menilai, kedua­nya secara sah dan menyakinkan, karena kedudukan dan kewe­nan­gannya menguntungkan orang lain, sehingga merugikan ke­uangan negara.

Keduanya secara sah dan me­nyakinkan, melakukan tindak pi­dana korupsi sebagaimana dak­waan subsider Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 55 Ayat 1 ke 1 Kitab Undang Undang Hukum Pidana. “Kedua terdakwa karena kedudukan dan kewenangannya, memberikan keuntungan kepada orang lain,” kata Ketua Majelis Hakim Suhartoyo saat mem­ba­ca­kan putusan di Pengadilan Ti­pi­kor Jakarta pada Jumat (21/9).

Kasus ini bermula ketika Ba­dan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan kejanggalan Rp 12 miliar dalam proyek pengadaan sis­tem informasi yang menelan anggaran Rp 43 miliar. Dalam pro­ses pelaksanaan proyek, ter­jadi kecurangan berupa per­ub­a­han spesifikasi teknis. Perubahan tersebut menyesuaikan pena­wa­ran dari salah satu peserta lelang, ya­itu PT Berca Hardaya.

Jaksa menuntut agar majelis hakim menyatakan terdakwa Ba­har dan Pulung Sukarno te­rbukti bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama. Jaksa, me­nilai Bahar dan Pulung me­l­a­ku­kan perbuatan yang dinyatakan da­lam dakwaan ke satu primer, yang menjerat keduanya dengan Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 huruf b jo Undang-Undang Pem­be­ran­ta­san Tindak Pidana Korupsi Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab UU Hukum Pi­dana. “Atas tuntutan primer, kedua terdakwa dinyatakan tidak bersalah,” kata Suhartoyo.

Dalam pertimbangannya, ma­je­lis hakim tidak menggunakan ha­sil audit BPK sebagaimana yang di­ajukan JPU, tetapi Lapo­ran Pe­me­riksaan Atas Tindak Lanjut Ter­hadap Hasil Pe­me­rik­saan BPK No­mor 43/LHP/XV/02/2009 Ten­tang Hasil Pem­e­ri­k­sa­an Aset Te­tap dan Kegiatan Be­lanja Tahun ang­garan 2005 dan 2006 pada kan­tor pusat Ditjen Pajak.

Berdasarkan audit fisik, di­temukan kerugian negara bukan Rp 12 miliar, tapi Rp 256 juta yang disebabkan kelalaian pe­ng­guna dan hilang saat pengiriman.

REKA ULANG

Jadi Tersangka Sejak 29 Maret

Kejaksaan Agung menetap­kan Direktur IT Perpajakan Kan­wil Jakarta Khusus Riza Noor Ka­rim sebagai tersangka perkara ko­rupsi pengadaan Sistem In­fo­­r­masi (Sisinfo) Direktorat Jen­deral Pajak Kementerian K­e­uangan Tahun Anggaran 2006.

“Tim penyidik menemukan fakta hukum, bahwa dalam per­kara itu ada satu orang lagi yang terlibat dan telah ditetapkan seba­gai tersangka, inisialnya RNK,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi M Toegarisman di Gedung Kejak­sa­an Agung, Jakarta.

Menurut Adi, dalam konteks ka­sus ini, RNK adalah salah se­orang Direktur di Direktorat ­Jenderal Pajak. “Dia Direktur In­for­masi Pajak. Kalau jabatannya sekarang, saya kurang tahu,” ka­tanya. Dia menambahkan, RNK ditetapkan sebagai tersangka pada 29 Maret 2012.

Setelah penetapan status ter­sang­ka itu, Kejaksaan Agung kemudian mengajukan kepada Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM agar mencegah RNK ke luar ne­geri. Soalnya, saat penetapan ter­sangka itu RNK belum ditahan. “Tersangka belum ditahan, tapi dicegah sejak 30 Maret,” katanya.

Penetapan status cegah ter­ha­dap RNK berdasarkan Surat Ke­putusan Jaksa Agung Nomor 073. “Dicegah ke luar negeri untuk enam bulan ke depan,” ujar bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Kepu­lauan Riau ini.

Dalam kasus ini, jelas Adi, RNK berperan dalam proses pe­le­langan dan keseluruhan proses pe­ngadaan barang. Pengadaan di­lakukan PT Berca Hardaya Perka­sa (PT BHP) sebagai pe­me­nang le­lang. “PT Berca Hardaya me­nang lelang karena ada peru­ba­han spesifikasi yang dis­e­suaikan de­ngan penawaran PT Berca Har­daya. Itu perannya,” tandas dia.

Kejaksaan Agung juga me­ne­tap­kan bekas Sekretaris Direk­to­rat Jenderal Pajak Ahmad Sja­ri­fu­din Alsjah (ASA) sebagai ter­sang­ka kasus korupsi pengadaan Sisinfo di Direktorat Jenderal Pa­jak Kementerian Keuangan Tahun Anggaran 2006.

“Tim penyidik mengem­ba­ng­kan perkara dugaan korupsi itu, dan ditetapkan satu tersangka lagi, yakni ASA yang saat itu men­jabat sebagai Kuasa Pengguna Anggaran pada 2006,” kata Adi.

Dia menambahkan, penetapan tersangka baru itu berdasarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprin­dik) Nomor 41 tanggal 24 April 2012. Akan tetapi, Kejaksaan Agung belum menahan ASA. “Belum ditahan, tapi sudah di­cegah,” katanya.

Dugaan korupsi pengadaan Sis­tem Informasi di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan 2006 diketahui setelah ada temuan kejanggalan senilai Rp 12 miliar dari nilai proyek Rp 43 miliar oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasil temuan BPK, penyimpangan itu berupa tidak sesuainya perangkat di­banding spesifikasi dalam kon­trak awal.

Mesti Dikejar Sampai Otaknya

Sandi Ebenezer Situngkir, Majelis Pertimbangan PBHI

Anggota Majelis Per­ti­m­ba­ngan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Sandi Ebenezer Situngkir me­nya­m­pai­kan, dalam pengusutan se­buah perkara dugaan korupsi, penyidik seharusnya mengejar hingga ke para pelaku yang menjadi otaknya.

Kasus korupsi, termasuk per­kara pengadaan Sistem In­for­masi Manajemen Direktorat Jen­deral Pajak (SIDJP) ini, lan­jut Sandi, hendaknya ditangani se­cara profesional. “Sepanjang yang bersangkutan sudah dite­tap­­kan sebagai tersangka, tidak se­harusnya dicicil prosesnya de­ngan tersangka lainnya,” ujar dia.

Karena, lanjut Ketua Majelis Organisasi Indonesia Public Services Wacth ini, ketika sese­orang dinyatakan sebagai ter­sang­ka, berarti penyidik sudah memiliki dua alat bukti yang sah. “Dua alat bukti yang sah sudah cukup untuk membawa kasus tersebut ke pengadilan,” ujarnya.

Jika proses itu tidak segera di­lakukan, lanjut Sandi, status tersangkanya dapat diartikan ti­dak jelas dan tidak sesuai un­dang undang. “Harusnya Ke­ja­gung sudah bisa langsung pro­ses, se­bab kalau sudah di­te­tapkan status tersangka, berarti dia ada bukti.”

Jika, penyidik menetapkan se­seorang sebagai tersangka, namun dibiarkan begitu saja, ti­dak ada peningkatan status, hal itu menjadi pertanyaan se­rius. “Jangan-jangan ada tarik ulur dengan tersangka,” ujarnya.

Apalagi di Kejaksaan Agung, penyidik dan penuntut adalah pihak yang sama. “Ya dia-dia juga, harusnya penanganan ka­sus tersebut dikoreksi Jaksa Agung,” kata Sandi.

Bagi Sandi, dalam kasus se­perti ini, pengusutan mestinya sampai ke atasan. Sebab, lanjut dia, yang diduga terjadi adalah kebijakan perusahaan criminal corporation system. Karena dalam kasus seperti ini patut diduga terjadi suap. “Itu harus ditelisik oleh jaksa, sejauh mana kewenangan anak buah memutuskan pemberian suap kalau bukan perintah atasannya. Harusnya jaksa fokus menelisik di tingkat pengambilan kepu­tu­san, yaitu dirut dan ko­mi­sa­ri­s­nya,” jelas Sandi.

Bukan Tidak Mungkin Dakwaan Dilemahkan

Nudirman Munir, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Nu­dirman Munir me­ngi­ngat­kan, jaksa penuntut umum mes­ti bekerja maksimal dalam me­nutut para terdakwa kasus ko­rup­si pengadaan sistem infor­masi Ditjen Pajak. Sebab, kata Nudirman, bila jaksa lemah me­nyusun dakwaan, kecurigaan bah­wa mereka tidak bekerja se­cara profesional akan merebak.

“Bahkan dugaan permainan untuk melemahkan dakwaan pun bisa terjadi. Ini tidak boleh terjadi. Komitmen mem­beran­tas korupsi mesti selaras dan se­jalan dengan tindakan pe­nun­tu­tan juga,” ujarnya.

Politisi Golkar itu pun me­na­ruh curiga terhadap proses pe­na­nganan kasus ini. “Dari awal, saya menduga ada hal-hal yang tidak beres dan sangat tertutup. Ibaratnya ini bagai operasi se­nyap. Ini harus dijelaskan oleh Kejaksaan Agung,” ujar dia.

Nudirman tidak menutup ke­mungkinan, dalam penyusunan dakwaan pun orang bisa ber­main. “Sehingga ada sejumlah kelemahan di dakwaan, itu bisa saja permainan,” ujarnya.

Karena itu, dia mengi­ngat­kan, semua proses pe­m­be­ran­ta­san korupsi, seperti pen­g­usutan kasus ini, harus didasari niat baik dan ketulusan. “Itu ter­gan­tung niat baik kita. Walaupun hakim ada niat baik, tapi kalau sudah ada permainan mafia mi­salnya, ya susah jadinya. Sebab, mafia bermain bukan hanya di kejaksaan, bisa sampai ke pe­ngadilan bahkan bisa sampai ke Makamah Agung,” ujar dia.

Makanya, Nudirman me­nyam­paikan, perlu ada tindakan dan sanksi tegas bagi aparat pe­negak hukum yang melanggar hukum. “Tidak ada yang kebal hu­kum. Solusinya, Undang Undang Kejaksaan, Undang Un­dang MA, Undang Undang Kepolisian juga harus mem­be­ri­kan sanksi tegas bagi jaksa, ha­kim dan polisi yang mel­a­ku­kan pelanggaran,” katanya.

Selama ini, lanjutnya, aparat pe­negak hukum seolah-olah ha­rus benar terus. Masyarakat gampang dijadikan korban dan di­salahkan.

“Mereka dibuai, bahwa pene­gak hukum yang bersalah dapat sanksi ringan. Me­reka merasa, aparat hukum selalu benar. Saya katakan, se­tiap pelanggar un­dang undang pasti ada sanksi­nya, demikian juga bagi para apa­ratur hukum.”  [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA