Berkas perkara korupsi pengadaan sistem informasi manajemen Direktorat Jenderal Pajak dengan tersangka bekas Direktur IT Perpajakan Kanwil Jakarta Khusus Riza Noor Karim telah dilimpahkan ke tahap penuntutan.
Tim jaksa penuntut umum (JPU) seÂdang menyiapkan surat dakÂwaÂan terhadap Riza Noor Karim (RNK). “Pelimpahan tahap dua ini, diserahkan ke Kejaksaan NeÂgeri Jakarta Selatan. Sudah diÂlimÂpahkan Senin, 8 Oktober lalu,†kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman di Gedung KeÂjakÂsaÂan Agung, Jalan Sultan HaÂsaÂnudÂdin, Jakarta Selatan.
Setelah pelimpahan berkas terÂseÂbut, lanjut Adi, berarti RNK tidak lama lagi akan memasuki masa persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. “Kami menunggu jadwal siÂdangnya nanti, setelah jaksa peÂnuntut umum selesai menyusun suÂrat dakwaan,†ujar Adi.
Riza disangka merekayasa proÂses lelang dengan cara meÂmeÂnangÂkan PT Berca Hardaya PerÂkasa (PT BHP) milik Murdaya Poo, suami pengusaha Siti Hartati Murdaya. Gara-gara perkara duÂgaan korupsi ini, Murdaya pernah diperiksa sebagai saksi oleh peÂnyidik pidana khusus di Gedung Bundar Kejaksaan Agung.
Dalam perkembangan penÂyiÂdiÂkan, ditemukan sebagian barang yang diduga fiktif. Sebagian baÂrang lainnya tidak sesuai spÂeÂsiÂfikasi yang telah ditentukan daÂlam proses lelang tersebut.
Lantaran itu, Riza akan diÂdakÂwa dengan dakwaan primair PaÂsal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) b Undang Undang Nomor 31 taÂhun 1999 tentang Tindak Pidana KoÂrupsi, junto Undang Undang NoÂmor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Dakwaan subÂsiÂdiair, Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) b Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak PiÂdana KoÂrupsi jo UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Berkas tersangka RNK sudah dinyatakan lengkap (P21) dengan Nomor B-46/F.3/Ft.1/09/2012, tetanggal 21 September 2012.
Kejaksaan Agung telah meÂneÂtapkan enam tersangka kasus ini, yakni Ketua Panitia Lelang BaÂhar, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pulung Sukarno, Direktur IT Perpajakan Kanwil Jakarta Khusus Riza Noor Karim, DirekÂtur PT Berca Hardaya Perkasa Liem Wendra Halingkar, bekas SekÂretaris Ditjen Pajak Ahmad SjaÂrifudin Alsjah dan Direktur TechniÂcal Support PT Berca Hardaya PerÂkasa Michael Surya Gunawan.
Dua diantara enam tersangka itu, yakni Bahar dan Pulung SuÂkarno telah divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Bahar dijatuhi hukuman tiga tahun penjara dipotong masa tahanan. PuÂlung dijatuhi hukuÂman dua taÂhun penjara dipotong masa taÂhaÂnan. Keduanya hanya didenda Rp 50 juga subsider kurungan 3 bulan.
Majelis hakim menilai, keduaÂnya secara sah dan menyakinkan, karena kedudukan dan keweÂnanÂgannya menguntungkan orang lain, sehingga merugikan keÂuangan negara.
Keduanya secara sah dan meÂnyakinkan, melakukan tindak piÂdana korupsi sebagaimana dakÂwaan subsider Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 55 Ayat 1 ke 1 Kitab Undang Undang Hukum Pidana. “Kedua terdakwa karena kedudukan dan kewenangannya, memberikan keuntungan kepada orang lain,†kata Ketua Majelis Hakim Suhartoyo saat memÂbaÂcaÂkan putusan di Pengadilan TiÂpiÂkor Jakarta pada Jumat (21/9).
Kasus ini bermula ketika BaÂdan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan kejanggalan Rp 12 miliar dalam proyek pengadaan sisÂtem informasi yang menelan anggaran Rp 43 miliar. Dalam proÂses pelaksanaan proyek, terÂjadi kecurangan berupa perÂubÂaÂhan spesifikasi teknis. Perubahan tersebut menyesuaikan penaÂwaÂran dari salah satu peserta lelang, yaÂitu PT Berca Hardaya.
Jaksa menuntut agar majelis hakim menyatakan terdakwa BaÂhar dan Pulung Sukarno teÂrbukti bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama. Jaksa, meÂnilai Bahar dan Pulung meÂlÂaÂkuÂkan perbuatan yang dinyatakan daÂlam dakwaan ke satu primer, yang menjerat keduanya dengan Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 huruf b jo Undang-Undang PemÂbeÂranÂtaÂsan Tindak Pidana Korupsi Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab UU Hukum PiÂdana. “Atas tuntutan primer, kedua terdakwa dinyatakan tidak bersalah,†kata Suhartoyo.
Dalam pertimbangannya, maÂjeÂlis hakim tidak menggunakan haÂsil audit BPK sebagaimana yang diÂajukan JPU, tetapi LapoÂran PeÂmeÂriksaan Atas Tindak Lanjut TerÂhadap Hasil PeÂmeÂrikÂsaan BPK NoÂmor 43/LHP/XV/02/2009 TenÂtang Hasil PemÂeÂriÂkÂsaÂan Aset TeÂtap dan Kegiatan BeÂlanja Tahun angÂgaran 2005 dan 2006 pada kanÂtor pusat Ditjen Pajak.
Berdasarkan audit fisik, diÂtemukan kerugian negara bukan Rp 12 miliar, tapi Rp 256 juta yang disebabkan kelalaian peÂngÂguna dan hilang saat pengiriman.
REKA ULANG
Jadi Tersangka Sejak 29 Maret
Kejaksaan Agung menetapÂkan Direktur IT Perpajakan KanÂwil Jakarta Khusus Riza Noor KaÂrim sebagai tersangka perkara koÂrupsi pengadaan Sistem InÂfoÂÂrÂmasi (Sisinfo) Direktorat JenÂderal Pajak Kementerian KÂeÂuangan Tahun Anggaran 2006.
“Tim penyidik menemukan fakta hukum, bahwa dalam perÂkara itu ada satu orang lagi yang terlibat dan telah ditetapkan sebaÂgai tersangka, inisialnya RNK,†kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi M Toegarisman di Gedung KejakÂsaÂan Agung, Jakarta.
Menurut Adi, dalam konteks kaÂsus ini, RNK adalah salah seÂorang Direktur di Direktorat ÂJenderal Pajak. “Dia Direktur InÂforÂmasi Pajak. Kalau jabatannya sekarang, saya kurang tahu,†kaÂtanya. Dia menambahkan, RNK ditetapkan sebagai tersangka pada 29 Maret 2012.
Setelah penetapan status terÂsangÂka itu, Kejaksaan Agung kemudian mengajukan kepada Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM agar mencegah RNK ke luar neÂgeri. Soalnya, saat penetapan terÂsangka itu RNK belum ditahan. “Tersangka belum ditahan, tapi dicegah sejak 30 Maret,†katanya.
Penetapan status cegah terÂhaÂdap RNK berdasarkan Surat KeÂputusan Jaksa Agung Nomor 073. “Dicegah ke luar negeri untuk enam bulan ke depan,†ujar bekas Kepala Kejaksaan Tinggi KepuÂlauan Riau ini.
Dalam kasus ini, jelas Adi, RNK berperan dalam proses peÂleÂlangan dan keseluruhan proses peÂngadaan barang. Pengadaan diÂlakukan PT Berca Hardaya PerkaÂsa (PT BHP) sebagai peÂmeÂnang leÂlang. “PT Berca Hardaya meÂnang lelang karena ada peruÂbaÂhan spesifikasi yang disÂeÂsuaikan deÂngan penawaran PT Berca HarÂdaya. Itu perannya,†tandas dia.
Kejaksaan Agung juga meÂneÂtapÂkan bekas Sekretaris DirekÂtoÂrat Jenderal Pajak Ahmad SjaÂriÂfuÂdin Alsjah (ASA) sebagai terÂsangÂka kasus korupsi pengadaan Sisinfo di Direktorat Jenderal PaÂjak Kementerian Keuangan Tahun Anggaran 2006.
“Tim penyidik mengemÂbaÂngÂkan perkara dugaan korupsi itu, dan ditetapkan satu tersangka lagi, yakni ASA yang saat itu menÂjabat sebagai Kuasa Pengguna Anggaran pada 2006,†kata Adi.
Dia menambahkan, penetapan tersangka baru itu berdasarkan Surat Perintah Penyidikan (SprinÂdik) Nomor 41 tanggal 24 April 2012. Akan tetapi, Kejaksaan Agung belum menahan ASA. “Belum ditahan, tapi sudah diÂcegah,†katanya.
Dugaan korupsi pengadaan SisÂtem Informasi di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan 2006 diketahui setelah ada temuan kejanggalan senilai Rp 12 miliar dari nilai proyek Rp 43 miliar oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasil temuan BPK, penyimpangan itu berupa tidak sesuainya perangkat diÂbanding spesifikasi dalam konÂtrak awal.
Mesti Dikejar Sampai Otaknya
Sandi Ebenezer Situngkir, Majelis Pertimbangan PBHI
Anggota Majelis PerÂtiÂmÂbaÂngan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Sandi Ebenezer Situngkir meÂnyaÂmÂpaiÂkan, dalam pengusutan seÂbuah perkara dugaan korupsi, penyidik seharusnya mengejar hingga ke para pelaku yang menjadi otaknya.
Kasus korupsi, termasuk perÂkara pengadaan Sistem InÂforÂmasi Manajemen Direktorat JenÂderal Pajak (SIDJP) ini, lanÂjut Sandi, hendaknya ditangani seÂcara profesional. “Sepanjang yang bersangkutan sudah diteÂtapÂÂkan sebagai tersangka, tidak seÂharusnya dicicil prosesnya deÂngan tersangka lainnya,†ujar dia.
Karena, lanjut Ketua Majelis Organisasi Indonesia Public Services Wacth ini, ketika seseÂorang dinyatakan sebagai terÂsangÂka, berarti penyidik sudah memiliki dua alat bukti yang sah. “Dua alat bukti yang sah sudah cukup untuk membawa kasus tersebut ke pengadilan,†ujarnya.
Jika proses itu tidak segera diÂlakukan, lanjut Sandi, status tersangkanya dapat diartikan tiÂdak jelas dan tidak sesuai unÂdang undang. “Harusnya KeÂjaÂgung sudah bisa langsung proÂses, seÂbab kalau sudah diÂteÂtapkan status tersangka, berarti dia ada bukti.â€
Jika, penyidik menetapkan seÂseorang sebagai tersangka, namun dibiarkan begitu saja, tiÂdak ada peningkatan status, hal itu menjadi pertanyaan seÂrius. “Jangan-jangan ada tarik ulur dengan tersangka,†ujarnya.
Apalagi di Kejaksaan Agung, penyidik dan penuntut adalah pihak yang sama. “Ya dia-dia juga, harusnya penanganan kaÂsus tersebut dikoreksi Jaksa Agung,†kata Sandi.
Bagi Sandi, dalam kasus seÂperti ini, pengusutan mestinya sampai ke atasan. Sebab, lanjut dia, yang diduga terjadi adalah kebijakan perusahaan criminal corporation system. Karena dalam kasus seperti ini patut diduga terjadi suap. “Itu harus ditelisik oleh jaksa, sejauh mana kewenangan anak buah memutuskan pemberian suap kalau bukan perintah atasannya. Harusnya jaksa fokus menelisik di tingkat pengambilan kepuÂtuÂsan, yaitu dirut dan koÂmiÂsaÂriÂsÂnya,†jelas Sandi.
Bukan Tidak Mungkin Dakwaan Dilemahkan
Nudirman Munir, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR NuÂdirman Munir meÂngiÂngatÂkan, jaksa penuntut umum mesÂti bekerja maksimal dalam meÂnutut para terdakwa kasus koÂrupÂsi pengadaan sistem inforÂmasi Ditjen Pajak. Sebab, kata Nudirman, bila jaksa lemah meÂnyusun dakwaan, kecurigaan bahÂwa mereka tidak bekerja seÂcara profesional akan merebak.
“Bahkan dugaan permainan untuk melemahkan dakwaan pun bisa terjadi. Ini tidak boleh terjadi. Komitmen memÂberanÂtas korupsi mesti selaras dan seÂjalan dengan tindakan peÂnunÂtuÂtan juga,†ujarnya.
Politisi Golkar itu pun meÂnaÂruh curiga terhadap proses peÂnaÂnganan kasus ini. “Dari awal, saya menduga ada hal-hal yang tidak beres dan sangat tertutup. Ibaratnya ini bagai operasi seÂnyap. Ini harus dijelaskan oleh Kejaksaan Agung,†ujar dia.
Nudirman tidak menutup keÂmungkinan, dalam penyusunan dakwaan pun orang bisa berÂmain. “Sehingga ada sejumlah kelemahan di dakwaan, itu bisa saja permainan,†ujarnya.
Karena itu, dia mengiÂngatÂkan, semua proses peÂmÂbeÂranÂtaÂsan korupsi, seperti penÂgÂusutan kasus ini, harus didasari niat baik dan ketulusan. “Itu terÂganÂtung niat baik kita. Walaupun hakim ada niat baik, tapi kalau sudah ada permainan mafia miÂsalnya, ya susah jadinya. Sebab, mafia bermain bukan hanya di kejaksaan, bisa sampai ke peÂngadilan bahkan bisa sampai ke Makamah Agung,†ujar dia.
Makanya, Nudirman meÂnyamÂpaikan, perlu ada tindakan dan sanksi tegas bagi aparat peÂnegak hukum yang melanggar hukum. “Tidak ada yang kebal huÂkum. Solusinya, Undang Undang Kejaksaan, Undang UnÂdang MA, Undang Undang Kepolisian juga harus memÂbeÂriÂkan sanksi tegas bagi jaksa, haÂkim dan polisi yang melÂaÂkuÂkan pelanggaran,†katanya.
Selama ini, lanjutnya, aparat peÂnegak hukum seolah-olah haÂrus benar terus. Masyarakat gampang dijadikan korban dan diÂsalahkan.
“Mereka dibuai, bahwa peneÂgak hukum yang bersalah dapat sanksi ringan. MeÂreka merasa, aparat hukum selalu benar. Saya katakan, seÂtiap pelanggar unÂdang undang pasti ada sanksiÂnya, demikian juga bagi para apaÂratur hukum.†[Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: