Apakah Jaksa Lain Terlibat Kasus Pemerasan 2,5 Miliar

Jumat, 12 Oktober 2012, 09:38 WIB
Apakah Jaksa Lain Terlibat Kasus Pemerasan 2,5 Miliar
Marwan Effendy

rmol news logo Dua jaksa yang disangka melakukan pemerasan akan diberhentikan dari Korps Adhyaksa. Hal itu disampaikan Jaksa Agung Muda Pengawasan Marwan Effendy di sela-sela acara Komisi Kejaksaan di Jakarta, kemarin.

“Dengan ditahannya mereka, maka dalam tempo satu bulan, saya usulkan kepada Jaksa Agung agar diberhentikan sementara. Nanti, kalau sudah berkekuatan hu­kum tetap, akan dipecat,” katanya.

Menurut Marwan, tersangka DP yang ditangkap Tim Satgas Jam­was, mengaku dibekingi jak­sa dalam melakukan pemerasan. “Untunglah pengusaha yang hen­dak diperas itu kenal jaksa di Pe­nga­wasan, kalau tidak, akan ha­bis-habisan diperas. Pengu­sa­ha­nya melapor ke Bidang Pe­nga­wa­san, dan kami bergerak,” ujarnya.

Jaksa yang ditangkap dalam ka­sus ini, lanjut Marwan, me­mang memiliki track record bu­ruk. Sebab, beberapa kali sudah pernah diberikan sanksi atas pelanggaran yang mereka la­ku­kan. “Sebelum ini, jaksa tersebut sudah pernah bermasalah, pernah dijatuhi sanksi administratif,” ujarnya.

Marwan menegaskan, tidak tertutup kemungkinan ada jaksa lain yang terlibat kasus tersebut. “Makanya, kami masih melaku­kan pendalaman,” kata bekas Jak­sa Agung Muda Pidana Khusus ini.

Saat ini, kasus jaksa memeras itu sudah diserahkan ke bagian Pi­dana Khusus Kejaksaan Agung. “Tadinya mau kami sidik sen­diri. Tapi, karena ada kai­tan­nya dengan pihak luar, kami se­rah­kan ke Pidsus saja. Biar ber­kas­nya disatukan,” ujar Marwan.

Tim Satgas Jamwas me­nang­kap empat pelaku pemerasan ter­ha­dap seorang pengusaha dari PT Budiindah Muliamandiri (BIM). PT BIM adalah perusahaan yang bergerak di bidang jasa kons­truk­si. Perusahaan itu menangani pro­yek dermaga, jalan, jembatan di Sumatera Barat, Kalimantan Ti­mur dan Papua.

Sementara ini, dua jaksa di­duga menjadi otak pemerasan se­nilai Rp 2,5 miliar tersebut. Dua jaksa itu sudah ditetapkan sebagai tersangka. Dua jaksa yang baru diangkat pada 2011 itu, bertugas di Kejaksaan Agung. Tepatnya sebagai jaksa pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun).

Mereka adalah jaksa Andri Fer­nando Pasaribu dan jaksa Arief Budi Harianto. Selain kedua jak­sa itu, seorang pegawai tata usaha di Datun bernama Sutarna di­sang­ka turut terlibat. Mereka di­sangka bekerjasama dengan Dede Prihantono, seseorang yang me­ngaku-ngaku sebagai jaksa untuk melakukan aksi pemerasan itu.

“Sebagai kelanjutan dari pe­nangkapan dan pemeriksaan se­orang yang mengaku-ngaku se­ba­gai jaksa, yakni DP, ditemukan fakta bahwa ada keterlibatan pi­hak lain, yaitu  AFP, A dan S da­lam dugaan tindak pidana yang me­reka lakukan,” kata Kepala Pu­sat Penerangan Hukum Ke­jak­saan Agung Adi Toegarisman.

Dengan demikian, lanjut Adi, sementara ada empat orang yang terlibat dalam kasus pemerasan ini. “Dari hasil investigasi Bidang Pengawasan, ditemukan alat buk­ti yang cukup. Selanjutnya, pe­na­nganannya diserahkan ke Pidsus. Sebab, ada indikasi tindak pidana korupsi,” jelasnya.

Menurut Adi, dalam peme­rik­saan sehari semalam, sejak pe­nang­kapan Dede Pri­han­to­no pada Senin lalu (8/10), di­ke­ta­hui bahwa para pelaku meminta uang kepada pihak perusahaan sebesar Rp 2,5 miliar. “Namun ketika penangkapan itu, di dalam tas isinya 50 juta rupiah,” ujar dia.

Para pelaku, kata Adi, dise­rah­kan ke penyidik Pidsus pada Se­lasa lalu (9/10) pada pukul dua siang. “Dilimpahkan ke Pidsus. Sudah ditingkatkan pe­na­nga­nan­nya ke penyidikan,” ujarnya. Ar­ti­nya, para pelaku sudah dite­tap­kan sebagai tersangka. “Sudah ada bukti yang cukup,” lanjutnya.

Seusai diperiksa penyidik Pid­sus, para pelaku dibawa ke rumah ta­hanan. Mereka ditempatkan di Ru­mah Tahanan Salemba cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Dari hasil penyelidikan, me­nu­rut Adi, semula Dede membawa data dugaan penyimpangan pro­yek yang dikerjakan PT BIM. Perusahaan ini memenangi tender pengerjaan pembangunan pe­la­bu­han di Sangata, Kalimantan Ti­mur. “Proyek itu dibiayai APBN dan dimulai pengerjaannya pada 2012. Jadi, masih baru berjalan,” ujar Adi.

Data itu, lanjut Adi, disam­pai­kan Dede ke Sutarna, sebab me­re­­ka berdua saling kenal. Tapi, yang menjalin komunikasi lang­sung de­ngan pihak perusahaan ada­lah Dede. “Data itu kemudian di­­sampaikan ke A dan AFP. Dari situ me­reka bertemu,” katanya.

REKA ULANG

Ditangkap Di Pelataran Parkir Citos

Tim Satgas Jaksa Agung Muda Pengawasan menangkap tiga pegawai Kejaksaan Agung yang disangka terlibat kasus peme­ra­san PT Budiindah Muliamandiri (BIM) pada Senin lalu (8/10).

Dua diantaranya adalah jaksa berinisial AFP (Andri Fernando Pa­saribu) dan A (Arif Budi Ha­rianto). Satu orang lagi adalah staf tata usaha berinisial S (Sutarna).

Sebelumnya, tim itu menang­kap seseorang yang mengaku-ngaku sebagai jaksa. Lelaki ber­inisial DP (Dede Prihantono) itu, mengaku bisa mengurus perkara di Korps Adhyaksa dan meminta uang Rp 2,5 miliar kepada kor­ban. Terakhir, DP diketahui be­kerja pada sebuah lembaga swa­daya masyarakat atau LSM.

Satgas Pengawasan membekuk DP di pelataran parkir Cilandak Town Square (Citos), Jakarta Se­latan pada Senin itu, sekitar pukul 12 siang.

Menurut Kepala Pusat Pene­ra­ngan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, kepada kor­ban­nya, DP mengaku jaksa yang bertugas di Gedung Bundar Ke­jagung. DP kemudian meng­hu­bu­ngi dan menyerahkan data korban kepada staf tata usaha Kejagung berinisial S. Selanjutnya, S me­nye­rahkan data tersebut kepada jaksa AFP dan jaksa A. DP me­min­ta korban menyerahkan Rp 2,5 miliar agar perkara tersebut bisa dipetieskan.

Tapi, korban melapor ke Ba­gian Pengawasan Kejaksaan Agung. Satgas Pengawasan ke­mudian memantau DP beberapa hari. Satgas membekuk DP se­te­lah melakukan transaksi dengan kor­ban pada Senin lalu (8/10). Dia ditangkap bersama barang buk­ti berupa uang sebesar Rp 50 juta.

Kasus ini kemudian dilim­pah­kan dari Jaksa Agung Muda Pe­ngawasan ke Jaksa Agung Muda Pi­dana Khusus karena ada in­dikasi tindak pidana korupsi. Kepada penyidik, DP men­je­las­kan, dalam melakukan aksinya, dia bekerja­sama dengan AFP, A dan S.

Dari hasil sementara p­e­nyi­di­kan terhadap DP, terjalinnya ker­jasama antara DP dengan dua jak­sa dan seorang staf tata usaha ini, terkait dugaan sakit hati salah satu karyawan yang dipecat PT BIM. “Lalu, keluarlah informasi yang kurang baik mengenai PT BIM, dan informasi itu sampai kepada S. Kemudian, S mengajak jaksa A dan AFP untuk mencari ke­pentingan pribadi,” kata Adi.

Lalu, kata Adi, oknum jaksa itu membuat surat panggilan ter­tanggal 25 September, dan me­min­ta pihak PT BIM untuk da­tang pada 28 September. “Ter­nyata, mereka tidak datang dan oknum jaksa mendatangi dan mempertanyakan itu.”

Selanjutnya, pembicaraan terjadi antara pihak PT BIM dan DP. Disepakati DP dan pihak PT BIM untuk bertemu di Pelataran Citos. “Utusan PT BIM, Budi ber­temu dan menyerahkan uang dalam tas sebesar Rp 50 juta kepada DP,” tandasnya.

Prosesnya Mesti Tuntas Dan Bikin Efek Jera

Achmad Basarah, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Achmad Basarah meng­ap­re­siasi langkah Bagian Penga­wa­san Kejaksaan Agung me­nang­kap jaksa yang diduga me­la­ku­kan pemerasan terhadap se­orang pengusaha.

“Langkah ini, saya pandang efektif, mengingat Timwas Ke­jaksaan Agung adalah unsur in­ternal yang dapat melakukan pengawasan melekat dari dalam institusi kejaksaan secara lang­sung,” ujar Basarah.

Dia pun mengingatkan, pe­nang­kapan jaksa dan aktivis LSM yang mengaku-ngaku se­bagai jaksa dalam kasus ini, harus ditindaklanjuti proses hu­kum yang tuntas dan sanksi hu­kum yang setimpal. “Agar da­pat menimbulkan efek jera,” ujar politisi PDIP ini.

Menurut Basarah, oknum-oknum LSM yang bekerja sama dengan oknum-oknum aparat penegak hukum untuk memeras pengusaha dan pejabat publik, khususnya di daerah, sudah me­resahkan masyarakat.

“Panja Mafia Hukum yang dibentuk Komisi III DPR juga harus memberikan perhatian atas aksi-aksi pemerasan yang dilakukan orang-orang yang me­ngaku aktivis LSM dan me­ngaku bekerja sama dengan apa­rat penegak hukum. Ini harus mendapat perhatian, agar kredibilitas institusi penegak hukum dapat kita jaga bersama sama,” urainya.

Pola kerjasama oknum aparat penegak hukum dengan oknum yang mengaku aktifis LSM untuk memeras di berbagai dae­rah seperti pada kasus ini, m­e­nu­rut Basarah, merupakan mo­del sindikasi yang harus segera diputus mata rantainya.

Tidak Cukup Hanya Pemecatan

Poltak Agustinus Sinaga, Ketua PBHI Jakarta

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Jakarta Poltak Agustinus Sinaga menilai, banyaknya jaksa me­nandakan bahwa penegakan hu­kum lemah.

“Negara kita yang berb­a­sis­kan hukum, nyaris tinggal jar­gon dan slogan. Buktinya, hu­kum sangat tidak berwibawa. Semestinya hukum sebagai pang­lima,” kata Poltak.

Lembaga-lembaga penegak hu­kum yang seharusnya me­mi­liki tugas dan tanggung jawab menengakkan hukum, lanjut Poltak, malah diragukan kese­riu­sannya melakukan tugas ter­sebut. Padahal, dia me­ngi­ngat­kan, aparat penegak hukum di­gaji pakai uang rakyat untuk me­lakukan penegakan hukum.

“Malah terlihat sebagai pe­main-pemain yang lihai dalam melakukan penelikungan, dan memanipulasi hukum untuk kepentingan pihak-pihak ter­tentu yang bisa menguntungkan mereka,” ujarnya.

Sehingga, menurut Poltak, tidak heran kalau sampai hari ini di lembaga penegak hukum, masih banyak ditemukan pe­langgaran yang merugikan dan mengerdilkan wibawa hukum. “Bukan hanya di tubuh kejak­saan yang marak kasus seperti ini,” ujar dia.

Kejadian seperti ini semakin diperparah tidak adanya efek jera dari sanksi yang diberikan. “Hukumannya sangat rendah di­banding kasus-kasus yang se­ring dialami masyarakat biasa,” tegasnya.

Poltak mengusulkan, untuk menimbulkan efek jera, bila ada aparat penegak hukum terbukti nakal, semua asetnya disita dan dihukum seberat-beratnya. “Lalu dipertontonkan kepada ma­syarakat, semoga masih ada kemungkinan untuk menye­lamatkan wibawa hukum yang sedang sakit parah,” tuturnya.

Kalau hanya pemecatan, me­nu­rut dia, tidak efektif untuk menimbulkan efek jera. “Pe­me­catan itu memang harus, tapi akan terulang. Soalnya, pe­me­catan tidak memberikan efek jera. Pelaku-pelaku dari ins­ti­tusi negara yang curang dan ko­rup, harus mendapatkan hu­ku­man yang represif.

D­i­mis­kin­kan, dipenjara, di­permalukan di hadapan publik, karena yang mereka lakukan termasuk ke­jahatan yang ke­jam,” urainya.  [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA