Siti & Bekas Bawahannya Ngotot Saling Berbantah

Soal Sumbangan Rp 500 Juta

Rabu, 10 Oktober 2012, 10:00 WIB
Siti & Bekas Bawahannya Ngotot Saling Berbantah
Siti Fadilah Su­pari

rmol news logo Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta berang menanggapi keterangan para saksi kasus korupsi pengadaan alat kesehatan tahun anggaran 2007. Soalnya, para saksi ngotot saling berbantahan.

Saksi yang dihadirkan dalam sidang kemarin adalah bekas Men­teri Kesehatan Siti Fadilah Su­pari dan bekas Sekjen Kemen­terian Kesehatan Syafii Achmad. Kedua bekas petinggi Kemenkes itu, bersikukuh tak terlibat kasus yang melilit terdakwa bekas Ke­pala Pusat Penanggulangan Kri­sis Kemenkes Rustam Sya­ri­fu­d­din Pakaya

Pada sidang kali ini, hakim me­nyoal tiga substansi perkara. Per­tama, Siti diminta men­je­las­kan se­putar dugaan menerima cek Rp 1,27 miliar dari Rustam. Kedua, tentang dugaan investasi perkebunan kelapa sawit Rp 3 miliar. Ketiga, soal dugaan mem­beri sumbangan Rp 500 juta ke Yayasan Orbit.

Tensi sidang meninggi mana­kala hakim meminta Siti men­je­laskan sumbangan ke Yayasan Orbit sebesar Rp 500 juta. Kali ini Siti sempat emosional. “Saya be­rani sumpah tidak pernah mem­beri,” tepisnya.

Siti mengisahkan, yayasan per­nah mengajukan proposal per­mintaan bantuan. Proposal ini di­teruskan Siti ke Setjen Ke­men­kes. Tujuannya, agar di­dis­tri­bu­si­kan ke perusahaan farmasi. Langkah itu dilakukan lantaran Ya­yasan Orbit pernah minta to­long mengedarkan sumbangan ke pabrik-pabrik obat.

Tapi pernyataan itu dilawan sak­si Syafii Achmad. Bekas anak buah Siti ini menegaskan, Siti memberi sumbangan Rp 500 juta. “Saya hanya bawa map. Yang berikan uang, Bu Siti,” sergahnya.

Dia tak mau kalah galak de­ngan bekas atasannya,  “Saya te­tap pada ke­terangan, saya berani bersum­pah. Demi Allah,” tegasnya.

Hakim pun tak kuasa menahan emosinya. Menanggapi sengketa ket­erangan saksi ini, hakim I Made Hendra meminta saksi ju­jur. “Sebetulnya, memberikan sumbangan adalah ibadah. Ke­napa nggak mau ngaku sih?” katanya dengan nada tinggi.

Sebelum masuk perkara sum­bangan ke Yayasan Orbit, jaksa penuntut umum (JPU) KPK me­nyoal Siti tentang dugaan me­ne­ri­ma cek dari Rustam dan mem­berikan cek perjalanan itu kepada adiknya, Rosida Endang. “Tidak pernah,” tampik Siti.

Siti mengatakan pernah me­min­ta adiknya mengelola uang ta­bungannya. Tujuannya untuk me­menuhi kebutuhan rumah tangga. Sebagai menteri, dia mengaku tak mau disibukkan urusan biaya ru­mah tangga seperti bayar satpam, bayar listrik dan sebagainya.

 Siti juga menolak bahwa diri­nya pernah menggunakan uang hasil korupsi alkes untuk ber­in­vestasi di perkebunan kelapa sa­wit. Saat jaksa menanyakan ada­nya investasi Siti melalui manajer investasi PT Samara Mutiara In­donesia, Jefri Nedy, dia men­ja­wab, “Tidak pernah.”

Saksi menceritakan, pernah bertemu Jefri di rumah dinasnya. Kedatangan Jefri pun bukan atas undangannya. Melainkan, atas inisiatif sendiri. Pada pertemuan yang dihadiri Rosida dan suami­nya Priyadi, Jefri menawarkan sa­ham. Karena tak mengerti uru­san saham serta tidak tertarik, Siti meminta bantuan adiknya.

“You dengerin, nanti pertim­ba­ngannya bagaimana,” pintanya pada Rosida. Ketika itu, Siti juga mengaku tidak punya uang yang cukup untuk investasi itu, se­hingga tidak pernah melakukan bisnis dengan Jefri.

Padahal dalam kesaksiannya pada pekan lalu, Jefri mengaku, uang yang diinvestasikan untuk perkebunan kelapa sawit me­ru­pa­kan milik Siti. Hanya, investasi ter­sebut menggunakan nama Ro­sida. Dia juga menyebut, ide in­vestasi sawit muncul dari Priyadi. “Ibu Siti nanya, bagaimana in­ves­tasi Pak Priyadi di perusahaan kita,” ungkap Jefri. Tapi Siti ber­sikukuh, sama sekali tidak pernah berinvestasi di bidang pe­r­ke­bu­nan kelapa sawit.

REKA ULANG

Sang Adik Ditanya Soal Cek Rp 1,2 Miliar

Adik bekas Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, Rosida En­dang menjadi saksi kasus pe­nga­daan alat kesehatan yang nilai kerugian negaranya sekitar Rp 22 miliar ini, di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Selasa, 25 Sep­tem­ber lalu.

Dalam sidang itu, Jaksa Pe­nuntut Umum pada Komisi Pem­berantasan Korupsi (JPU KPK) meminta majelis hakim me­ne­tap­kan bahwa Rosida memberikan keterangan palsu, sehingga dapat dijadikan tersangka. Soalnya, JPU Kiki A Yani dkk menilai, kesaksian Rosida tidak konsisten.

Majelis hakim yang diketuai Pa­ngeran Napitupulu pun mem­per­timbangkan permintaan JPU tersebut. “Saksi, beri kesaksian yang benar. Penuntut umum su­dah memohon, dan kami me­m­per­tim­bangkannya,” tegas Pa­ngeran. “Siap yang mulia,” balas Rosida.

Majelis hakim pun melihat, Rosida yang hadir sebagai saksi bagi terdakwa bekas Kepala Pu­sat Penanggulangan Krisis De­par­temen Kesehatan Rustam Sya­rifuddin Pakaya, keter­a­ngan­nya memang berubah-ubah. Ti­dak sesuai dengan apa yang telah diberkas dalam Berita Acara Pe­meriksaan (BAP).

Menurut JPU Yani, dugaan ke­saksian palsu itu mencuat lewat pernyataan Rosida yang berubah-ubah mengenai pemberian cek perjalanan dari Siti kepada adik­nya itu. Dalam BAP, Rosida me­ngaku menerima cek perjalanan Rp 1,2 miliar dalam amplop.  

Amplop itu kemudian dise­rah­kan Rosida ke tangan Jeffry Nedi, manajer investasi. Namun, saat hakim menanyakan isi amplop, Ro­sida mengaku tidak tahu.

Dalam BAP, Rosida menye­but­kan, pernah menerima amplop pu­tih dari Siti di kediaman dinas Me­nteri Kesehatan di Jalan Den­pasar, Kuningan, Jakarta Selatan. Tapi, saat dimintai kesaksiannya, Rosida bersikukuh tidak me­nge­tahui isi amplop itu. Alasannya, dia sama sekali tidak membuka amplop tersebut.

Padahal, merujuk pada BAP Ro­sida, cecar anggota majelis ha­kim I Made Hendra,  waktu pe­nyerahan amplop, Siti menya­ta­kan secara jelas bahwa isinya ada­lah travellers cheque. “Ini tra­veller’s cheque sejumlah Rp 1,2 mi­liar,” kata Made menirukan keterangan Rosida di dalam BAP.

Penyerahan amplop berisi cek perjalanan itu, sambung Hendra, di­ikuti bukti tandatangan penye­ra­han cek perjalanan. Tanda­ta­ngan itu pun diakui Rosida adalah tanda tangannya. Tapi, Rosida tetap ngotot. “Saya nggak pernah bi­lang ada TC,” ujarnya.

Hakim kemudian menun­juk­kan tanda tangan Rosida dalam BAP yang memaparkan perihal amplop berisi TC Rp 1,2 miliar itu. Lagi-lagi, Rosida berkelit. Dia mengaku kepepet, sehingga me­nandatangani BAP itu. “Mung­kin saya lagi kacau,” ucapnya.

Jawaban Rosida itu, bikin ha­kim Hendra geregetan. “Bila se­dang kacau, idealnya tidak me­ne­ken paraf atau tandatangan. Apa­lagi, tandatangan itu terkait do­kumen penting,” tandas Hendra.  

Mendengar ucapan hakim itu, Rosida mohon dimaklumi. Soal­nya, dia mengaku awam me­na­ngani masalah seperti ini. “Saya orang awam,” katanya.

Alih-alih dimaklumi, per­nya­ta­an Rosida itu malah membuat ha­kim Pangeran bereaksi keras. Dia mengancam, penjelasan Rosida akan dikroscek dengan kete­ra­ngan saksi lain. Jika ke­te­ra­ngan­nya tidak benar, palsu atau bo­hong, Rosida bisa ditetapkan te­lah memberi kesaksian palsu. “Ja­ngan macam-macam, nanti bisa dikroscek, kena sumpah pal­su,” ancam Pangeran.

Bekas Kepala Pusat Pen­an­g­gu­langan Krisis Departemen K­e­sehatan Rustam Syarifuddin Pakaya menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Kamis, 9 Agustus.

Rustam didakwa memperkaya diri sendiri Rp 2,47 miliar, PT Gra­ha Ismaya Rp 15,226 miliar, Men­kes Siti Fadilah Supari Rp 1,275 miliar, PT Indofarma Glo­bal Medika Rp 1,763 miliar, ELS Mangundap Rp 850 juta, Amir Syamsuddin Ishak Rp 100 juta, Mediana Hutomo dan Gunadi Soekemi Rp 100 juta, Tan Suhartono Rp 150 juta, Tengku Luckman Sinar Rp 25 juta.

Yang Jujur Akan Dapat Keringanan

Hifdzil Alim, Aktivis Pukat UGM

Aktivis Pusat Kajian Anti Ko­rupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Hifdzil Alim menilai, pernyataan saksi seringkali berbeda dengan apa yang terangkum dalam berkas acara pemeriksaan (BAP).

Upaya tersebut, duganya, ke­rap dilaksanakan agar para saksi lolos dari ancaman hu­ku­man yang bisa menjerat me­reka. “Hal itu sebagai hal yang lazim ter­jadi. Kita harus sadar bahwa setiap saksi punya hak ingkar,” katanya. Karena itu, saksi-saksi yang diduga punya peran do­mi­nan dalam suatu perkara, umum­nya memilih un­tuk ingkar.

Upaya mengingkari ketera­ngan tersebut, nantinya akan diukur oleh hakim. Parameter ha­kim menilai kesaksian, di­lakukan dengan mem­ban­ding­kan keterangan saksi lain, kete­rangan terdakwa dan alat bukti.

“Dari situ akan terlihat jelas, apakah kesaksian tersebut benar atau bohong,” ucapnya. Yang jelas, dalam upaya me­ning­kat­kan semangat pemberantasan ko­rupsi, dia meminta semua pi­hak memberikan keterangan yang benar.

Pemberian keterangan yang be­nar ini, toh nantinya juga memberikan keuntungan bagi siapa pun. Termasuk saksi yang bersangkutan. Menurut dia, bila kelak status saksi ditingkatkan menjadi tersangka, tentu kesak­siannya akan memudahkan pro­ses pengusutan perkara.

De­ngan begitu, penuntasan kasus korupsi menjadi lebih mu­dah. “Ini lebih efisien, ke­tim­bang harus ingkar dan se­je­nisnya,” ucapnya.

Dari situ, majelis hakim pun memiliki pertimbangan untuk meringankan hukuman. “Ka­re­na sangat membantu meny­e­le­saikan perkara korupsi, maka akan mendapat pertimbangan yang meringankan. Hal ini mut­lak,” tandasnya.

Jika Berbohong Ada Akibat Hukumnya

Yahdil Abdi Harahap, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Yahdil Abdi Harahap me­nya­takan, hal paling prinsip dalam menilai kebenaran keterangan saksi sangat tergantung pada ke­yakinan hakim.

Akan tetapi, dia juga me­nya­rankan agar hakim tidak mudah emosional menanggapi silang sengketa keterangan saksi mau­pun terdakwa.

“Hakim punya standar dalam menilai keterangan saksi. Me­reka memiliki kemampuan un­tuk menggali fakta-fakta dan bukti-bukti yang diperlukan. Ke­yakinan hakim dalam me­nim­bang suatu persoalan harus dikedepankan,” katanya.

Menurut Yahdil, keterangan saksi yang tidak sesuai dengan berkas acara pemeriksaan (BAP) kerap terjadi dalam persidangan. Hal itu seringkali dilakukan saksi-saksi yang berusaha lolos dari dugaan keterlibatan dalam kasus tertentu.

“Alibi-alibi itu hal lumrah. Ha­kim tinggal mengkros cek hal ini dengan keterangan ter­dakwa dan saksi-saksi lain. Se­telah menimbang semua fakta yang ada, hakim tinggal me­ru­muskan putusan,” kata anggota DPR dari PAN ini.

Jadi, sambungnya, hakim tidak perlu emosi. Menurutnya, sikap emosional hakim justru dikhawatirkan memunculkan putusan yang tidak tepat.

Dia menggarisbawahi, apa­pun yang disampaikan saksi dan terdakwa di persidangan me­miliki konsekuensi hukum. Dengan asumsi ini, maka siapa pun yang menjadi terdakwa atau saksi, hendaknya me­nyam­paikan hal yang benar dan jujur. “Mereka kan sudah diambil sum­pahnya. Jika berbohong, ten­tu ada akibat hukum yang dit­imbulkan,” tuturnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA