Atasan Dan Rekan Dhana Didakwa Peras Wajib Pajak

Selain Disebut Rugikan Keuangan Negara

Kamis, 04 Oktober 2012, 08:50 WIB
Atasan Dan Rekan Dhana Didakwa Peras Wajib Pajak
Dhana Widyatmika (DW)

rmol news logo Atasan dan rekan Dhana Widyatmika, yakni Firman dan Salman Maghfiroh menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor Jakarta, kemarin. Firman dan Salman diadili dalam sidang yang berbeda, tapi substansi dakwaannya sama.

Dalam dakwaan mereka ter­gambar upaya pemerasan yang di­lakukan Salman, Firman dan Dhana Widyatmika (DW) terha­dap PT Kornet Trans Utama (KTU). Upaya pemerasan itu, diawali ren­cana pemeriksaan khusus ter­hadap PT KTU de­ngan cara meng­gunakan data eksternal.

Padahal, menurut dakwaan jaksa penuntut umum (JPU), data eksternal itu semestinya divali­dasi (dicek kebenarannya) ter­le­bih dahulu oleh Seksi Pengolahan Data Informasi Kantor Pelayanan Pajak (KPP).

Kemudian, pada Desember 2005, Salman meminta staf aku­n­ting PT KTU Riana Juliarti da­tang ke KPP Pancoran, Jakarta. Per­mintaan itu diikuti anjuran agar Riana membawa dokumen la­poran keuangan PT KTU tahun 2002.

Saat itu, Salman menyerahkan nomor telepon genggamnya ke­pada Riana dan berpesan agar bos KTU segera menemuinya di Star­bucks Tebet Indraya Square (TIS), Jakarta Selatan. Singkat ce­rita, pertemuan akhirnya di­ge­lar di tempat yang diminta Sal­man. Tiga orang dari pihak PT KTU, yakni Direktur Utama PT KTU Lee Jung Ho, Direktur PT KTU Rudi Agustianda dan Riana menemui Salman yang di­dam­pingi Dhana.

Dalam pertemuan itu, Salman me­nyebutkan, telaah pajak me­nun­jukkan ada perbedaan data eksternal dengan laporan ke­uangan KTU yang digunakan se­ba­gai dasar pengajuan Surat Pa­jak Terhutang (SPT). Namun pi­hak KTU menanyakan, kenapa data eksternal yang diajukan se­bagai rujukan itu tidak divalidasi KPP Pancoran.

Salman dan Dhana beralasan, sebagai petugas pajak, mereka bisa menggunakan data eksternal sebagai dasar penghitungan. Nah, berdasarkan data eksternal itu, keduanya menyatakan bahwa kewajiban pajak PT KTU Rp 3 miliar. Lalu, Salman dan Dhana menawarkan bantuan untuk mengurangi nilai pajak PT KTU. Untuk urusan pengurangan pajak itu, keduanya mengajukan im­balan Rp 1 miliar.

Menanggapi hal itu, pihak PT KTU meminta waktu untuk meng­hitung ulang. Soalnya, ber­da­sar­kan hasil hitungan konsultan pa­jak PT KTU Petrus Bernardus, PPn yang harus dibayar hanya Rp 209,913 juta. Sedangkan PPh Badan dan PPh 21 nihil.

Tak kalah gesit, KPP Pratama Pancoran pun menerbitkan tiga Su­rat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPBK). Pajak kurang bayar itu meliputi PPh Badan tahun 2002  Rp 1,468 miliar, PPh 21 Rp 89,97 juta, dan PPn Rp 787,54 juta.

PT KTU kemudian memilih banding ke Pengadilan Pajak. Hasilnya, banding tersebut me­ngun­tungkan KTU. Pengadi­lan Pajak memutuskan, menga­bu­l­kan permohonan banding PT KTU dan menetapkan pajak PT KTU sesuai penghitungan kon­sultan pajak itu.

Akibatnya, menurut dakwaan JPU, negara mengalami kerugian Rp 1,2 miliar. Kerugian negara itu, terkait dengan penggunaan data eksternal yang tidak di­va­li­dasi kantor pelayanan pajak.

Dalam dakwaan tersebut, Sal­man dan Firman terancam hu­ku­man maksimal seumur hidup atau 20 tahun penjara. Kendati begitu, belum tentu JPU menuntut kedua terdakwa setinggi itu dalam si­dang pembacaan tuntutan nanti.

Firman yang menjabat sebagai supervisor, didakwa melanggar dua pasal sekaligus. Pertama, Pa­sal 2 Ayat 1 Undang Undang Ti­pikor. Pasal ini menyoal ten­tang upaya terdakwa mem­per­kaya diri sendiri dan orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara. Firman juga bisa dikenai denda minimal  Rp 200 juta. “Paling banyak Rp 1 mi­liar,” kata jaksa Novel.

Kedua, jaksa mendakwa Fir­man melanggar Pasal 2 Huruf e UU Tipikor yang mengatur ten­tang tindak pidana pemerasan. Pe­merasan ini terkait dengan pro­fesi terdakwa sebagai pe­nye­lenggara negara atau Pegawai Ne­geri Sipil (PNS).

Dakwaan terhadap Salman nya­ris tak berbeda dengan Fir­man. Sebagai anggota tim peme­riksa pajak PT KTU, Salman di­tuduh melanggar Pasal 2 Ayat 1 juncto Pasal 18, Pasal 3 juncto Pasal 18, atau Pasal 12 Huruf e ten­tang pemerasan juncto Pasal 18 subsidair Pasal 12 huruf g juncto Pasal 18 UU  Tipikor. Dak­wa­an pasal berlapis itu membuat Salman juga terancam hukuman maksimal 20 tahun atau seumur hidup, kendati tuntutan JPU nanti belum tentu seperti itu.

REKA ULANG

Kenapa Cuma 1 Miliar Sampai 2 Miliar

Upaya pemerasan terhadap wajib pajak juga tampak dalam surat dakwaan terhadap Dhana Widyatmika (DW). Aksi itu tidak dilakukan DW sendirian, tapi ber­sama rekan satu timnya, Salman Maghfiroh dan diketahui atas­an­nya, Firman.

Lantaran permintaan mereka sebesar satu miliar rupiah tidak di­penuhi PT Kornet Trans Utama (KTU), Tim Pemeriksa Pajak yang diketuai DW mengusulkan angka pajak terutang yang harus dibayar perusahaan itu.

Selanjutnya, atas surat usulan tim yang dipimpin DW, Kantor Pe­layanan Pajak (KPP) Pratama Pancoran, Jakarta mengeluarkan Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan rincian; PPN Januari-Desember 2002, jumlah yang masih harus dibayar se­be­sar Rp 787.540.398,00. April 2006, jum­lah yang harus dibayar Rp 1.468.721.600,00. Kemudian, untuk PPh Badan Tahun Pajak 2002, jumlah yang masih harus di­bayar sebesar Rp 1.468.721.600,00. PPh 21 tahun Pajak 2002, jumlah yang harus dibayar Rp 89.970.888,00.

Atas ketetapan KPP Pancoran itu, PT KTU melalui jasa kon­sul­tan pajak Petrus Bernadus meng­hitung kembali tiga SKPKB itu dan diperoleh jumlah yang harus dibayarkan adalah PPn sebesar Rp 209.913.020,00. Sedangkan untuk PPh Badan dan PPh 21 nihil. Selanjutnya PT KTU me­ngajukan banding.

Untuk mengajukan banding, sesuai ketentuan Pasal 36 Ayat 4 Undang Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, PT KTU diwajibkan membayar 50 persen dari jumlah pajak ter­utang sebagaimana SKPKB. Rin­ciannya; 50 persen dari PPn-Jum­lah Pajak Terutang Rp 787.540.389, yakni Rp 397.770.199,00.

Kemu­dian, 50 persen dari PPh Badan-Jumlah Pajak Ter­hutang Rp 1.468.721.600, yakni Rp 734.360.800,00. Se­lan­jut­nya, 50 persen dari PPh Pasal 21-Jumlah Pajak terutang Rp 89.970.888,00, yakni Rp 44.985.444. Totalnya Rp 1.177.116.443.

Singkat cerita, banding PT KTU dikabulkan Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Sehingga, jumlah yang harus dibayarkan PT KTU adalah, untuk PPh 21 nihil, untuk PPh Badan Rp 1.274.460, untuk PPn Rp 209.913.020.

Menurut dakwaan jaksa pe­nun­tut umum (JPU), akibat ulah Dha­na dkk menggunakan data eks­ter­nal, negara yang seharusnya mem­peroleh pendapatan dari sek­tor pajak yakni dari PPn, PPh Badan dan PPh Pasal 21 kh­u­sus­nya dari PT KTU, justru harus mem­bayar kompensasi Rp 920.843.519 kepada PT KTU. Sehingga, terjadi kerugian negara sebesar Rp 967.116.443, ditambah bunga sebesar Rp 241.677.040.

Secara keseluruhan, pada dak­waan kedua, Dhana dkk meru­gi­kan keuangan negara sebesar Rp 1.208.783.483, atau setidak-tidaknya sebesar Rp 241.677.047. Setelah pembacaan dakwaan, Ke­tua Majelis Hakim Herdy Agu­stin bertanya kepada DW, apa­kah mengerti dakwaan yang dibaca­kan JPU. “Saya cukup me­ngerti yang mulia,” jawab DW.

Hukuman Maksimal Untuk Efek Jera

Boyamin Saiman, Koordinator LSM MAKI

Koordinator LSM Ma­sya­rakat Anti Korupsi Indo­nesia (MAKI) Boyamin Saiman menyatakan, persidangan kasus korupsi dengan terdakwa Dhana Widyatmika atau DW Cs hendaknya diselesaikan secara cermat. Dia mengharapkan, para pihak yang terbukti terlibat, divonis hukuman maksimal.

Dia menilai, peran jaksa da­lam menyusun dakwaan pada atasan dan kolega Dhana sudah lumayan. Setidaknya, menun­juk­kan ada upaya untuk mem­berikan syok terapi kepada pe­gawai pajak lainnya. Boyamin pun berharap, jaksa mampu menghadirkan saksi-saksi se­cara optimal.

Dengan begitu, usaha para ter­dakwa untuk lolos dari jerat hu­kum bisa diminimalisir. “Atau setidaknya diantisipasi sejak dini,” katanya.

Dakwaan yang mengancam terdakwa dengan hukuman maksimal tersebut, kata dia, idealnya ditindaklanjuti dengan langkah proporsional. Soalnya, dari situ akan terlihat, apa, siapa dan bagaimana peran para ter­dakwa dalam perkara tersebut.

“Langkah jaksa hendaknya disikapi dengan langkah kon­kret hakim. Kecermatan hakim dalam menimbang materi per­kara, diharapkan mampu meng­­hasilkan putusan yang tepat,” ujarnya.

Dia sangat berharap, hakim tak menyia-nyiakan substansi dakwaan dan tuntutan jaksa. “Para hakim tinggal mendorong jaksa dan pengacara untuk menghadirkan saksi yang mem­beratkan dan meringankan ter­dakwa. Ini penting bagi ke­lan­ca­ran proses persidangan,” ucap­nya.  Dengan begitu, s­e­mua tuduhan jaksa yang me­nuntut terdakwa dengan hu­kuman berat nantinya dapat dibuktikan.

Boyamin menambahkan, rang­kaian persidangan kasus ini hendaknya dimanfaatkan seba­gai ajang menggali fakta. Apa yang masih tersembunyi dapat digali dan dapat dicarikan alat buktinya. “Akurasi fakta, nan­tinya mampu berdampak sig­ni­fikan pada munculnya efek jera di jajaran pegawai pajak,” ha­rapnya.

Tidak Sebatas Vonis Hakim

Ruhut Sitompul, Anggota Komisi III DPR

Politisi Partai Demokrat Ruhut Sitompul menyatakan, persoalan pokok dalam kasus korupsi pajak dengan terdakwa Dhana Widyatmika dkk, tidak sebatas pada vonis. Melainkan, mampu menyeret keterlibataan pihak lainnya.

“Rangkaian proses penin­da­kan hukum itu harus signifi­kan. Yang paling utama, ba­gai­mana mengungkap keter­li­ba­tan pihak lain agar kinerja ja­ja­ran pajak men­jadi lebih pro­fesional,” ujarnya.

Hakim yang menangani ka­sus ini,  tambahnya, menjadi pa­lang pintu dalam menjatuhkan sanksi serta memproses te­mu­an-temuan dalam kasus ter­se­but. Dari temuan-temuan baru itu, kemungkinan adanya pihak lain yang terlibat akan bisa digali.

Jadi, semestinya, hakim juga mengemban tugas menggali fakta-fakta atas kasus ini. Bu­kan malah membatasi atau me­lokalisir persoalan. Persoalan bagaimana proses pengem­ba­ngan­nya, kata dia, nanti bisa dikoordinasikan dengan lem­baga penegak hukum lain, se­perti ke­jaksaan atau kepolisian. “Itu bisa ditindaklanjuti dengan koordinasi dengan penyidik ataupun pe­nuntut kasus ini,” ucapnya.

Dengan kata lain, ia berharap, da­lam persidangan muncul te­muan-temuan baru yang lang­sung atau tidak langsung mem­punyai kaitan dengan pokok perkara.

Anggota Komisi III DPR ini juga mengingatkan, persoalan hu­kum yang melilit pegawai pajak hendaknya bisa dihenti­kan. Pegawai pajak yang nota bene memiliki penghasilan be­sar, idealnya telah mendapat be­r­agam pelajaran dari kasus-ka­sus mafia pajak yang ada. “Ka­sus-kasus yang ada hendaknya jadi masukan. Bukan malah sebaliknya,” ucap dia.

Untuk meningkatkan inten­sitas pengawasan, Ruhut me­minta Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan lebih cermat dalam menindak dugaan penyelewengan pada Ditjen Pa­jak. “Jika terindikasi me­la­ku­kan tindak pidana, hendaknya se­gera koordinasikan dengan pe­negak hukum. Dengan be­gitu, ke­mung­kinan adanya pe­nye­le­we­ngan yang lebih besar bisa di­mi­nimalisir sejak dini.”  [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA