KPK Respons Keterangan Wa Ode Soal Priyo Budi

Setelah Bergulir Di Pengadilan Tipikor Jakarta

Kamis, 27 September 2012, 09:41 WIB
KPK Respons Keterangan Wa Ode Soal Priyo Budi
Priyo Budi Santoso

rmol news logo Kasus suap pembahasan Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) makin panas. Terdakwa Wa Ode Nurhayati menyebut, tersangka Fahd A Rafiq adalah staf pribadi Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso.

Menanggapi pengakuan Wa Ode itu, Kepala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo menyatakan, jaksa penuntut umum (JPU) pada KPK me­res­pon semua keterangan terdakwa dan saksi yang terpapar dalam si­dang. Termasuk keterangan Wa Ode mengenai Priyo.   

Namun, menurut Johan, KPK belum menentukan langkah pe­manggilan terhadap Priyo setelah Wa Ode memberikan keterangan itu di hadapan majelis hakim Pe­ngadilan Tipikor Jakarta. Baik itu pemanggilan kepada Priyo se­ba­gai saksi untuk hadir dalam si­dang, maupun untuk pemeriksaan saksi di Gedung KPK. “Sampai hari ini belum. Tapi, jika dirasa di­butuhkan, tentu akan dipang­gil,” katanya, kemarin.

Ketika dikonfirmasi, Priyo me­ngakui dirinya mengenal Fahd. “Saya kenal Fahd, karena sama-sama di organisasi. Tapi, dia bu­kan staf khusus saya,” tampiknya.

Priyo dan Fahd sama-sama kader Partai Golkar yang berasal dari unsur Musyawarah Keke­luar­­gaan dan Gotong Royong (MKGR). Tapi, Priyo mengaku tidak tahu sama sekali mengenai per­kara suap pembahasan ang­garan DPPID yang telah mem­buat Fahd berstatus tersangka itu. “Jadi, aneh kalau saya disebut me­merintahkan Fahd mengenai dana-dana dalam kasus ini. Meski beg­itu, saya siap memberikan ke­saksian jika diperlukan,” katanya.

Sedangkan terhadap terdakwa Wa Ode, Priyo mengaku sama se­kali tidak mengenalnya, apalagi berkomunikasi dengan politisi PAN yang pernah menjadi an­g­gota Badan Anggaran (Banggar) DPR itu. “Saya tidak pernah ber­temu sekalipun atau be­r­ko­mu­ni­kasi dengan Ibu Wa Ode,” katanya.

Priyo berharap, Wa Ode di­be­ri­kan ketabahan untuk mem­be­ri­kan pengakuan yang sebenar-be­narnya, tanpa harus menyangkut-pautkan pihak-pihak lain. “Apa­lagi, tanpa didukung fakta yang kuat,” ujarnya.

 Dalam sidang pada Selasa lalu (25/9), Wa Ode menyebut nama Priyo. Wa Ode mengenal Fahd se­­bagai asisten pribadi Priyo. Lan­­taran itu, Wa Ode me­ngem­ba­likan uang yang jumlahnya sesuai permintaan Fahd. Apalagi, sam­bungnya, konteks pe­ngem­ba­lian uang dilatari adanya pe­r­min­taan pimpinan fraksinya.

Wa Ode juga beranggapan, pe­ngembalian uang dilakukan un­tuk menghormati Priyo. “Ter­kait pengembalian, saya hanya atas nama menghormati, karena ba­ha­sa dari fraksi dan DPP itu, ’kita ini menghormati Pak Priyo. Eng­gak enak, karena ini staf kh­u­sus­nya’,” kata Wa Ode menirukan uca­pan rekan separtainya.

Rekan separtainya itu, menurut Wa Ode adalah Hafiz Tohir. Pada pertemuan Fraksi PAN, kata Wa Ode, Hafiz menyarankan agar Wa Ode mengembalikan uang sesuai permintaan Fahd. Saran itu, me­nurut Wa Ode, disampaikan ko­leganya setelah ditelepon Priyo.

Dalam perbincangan telepon itu, katanya, Priyo sempat ber­tanya kepada Hafiz mengenai uang setoran Fahd yang belum di­kembalikan Wa Ode. “Sudahlah, De, demi masa depan kamu, ka­re­na ini juga stafnya wakil ketua, ke­mbalikan,” ujar Wa Ode me­ni­ru­kan pernyataan Hafiz.

Wa Ode mengisahkan, pe­ngem­balian uang dilakukan se­te­lah Fahd mengajukan per­mi­n­taan. Fahd meminta agar Wa Ode mengem­ba­li­kan uang Rp 4 miliar. Padahal, uang yang diterima Wa Ode dari Fahd melalui Haris Surahman, ha­nya Rp 2,5 miliar. Uang Rp 2,5 mi­liar itu pun, me­nurutnya, sudah di­kembalikan kepada Haris.

REKA ULANG

Proyek Tak Tembus, Fahd Minta Uang Dikembalikan

Jaksa Penuntut Umum (JPU) men­dakwa Wa Ode Nurhayati me­nerima uang Rp 6,25 miliar dari Fahd A Rafiq, Paul Nelwan serta Abram Noch Mambu. Uang tersebut diduga diberikan melalui Haris Surahman.

Pemberian uang itu terkait pe­ngurusan alokasi Dana Per­ce­pa­tan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) untuk tiga ka­bu­paten di Aceh dan Kabupaten Minahasa. Karena proyek yang diorder ke Wa Ode tidak masuk dal­am daftar penerima DPPID, Fahd meminta uang yang di­se­rahkannya melalui Haris itu di­kembalikan.

Kata Wa Ode, Fahd dan Haris me­laporkannya ke Fraksi PAN DPR. Atas laporan Fahd dan de­sakan fraksi, Wa Ode mengaku mengembalikan uang sebanyak Rp 4 miliar ke Fahd, setelah se­be­lumnya mengembalikan Rp 2,25 miliar ke Haris.

Mendengar pernyataan Wa Ode yang mengembalikan Rp 4 miliar kepada Fahd, tapi tidak mengakui menikmati uang te­rse­but, anggota majelis hakim Hen­dra Yosfin heran. Makanya, Hen­dra mencecar Wa Ode.

“Mengapa kembalikan uang dua kali lipat, yang menurut saudara, tidak sau­dara terima?” kata Hendra.

Wa Ode mengaku terpaksa me­ngembalikan uang atas desakan fraksinya yang menghormati Wakil Ketua DPR Priyo Budi San­toso. Soalnya, dia mengenal Fahd sebagai staf pribadi Priyo. Dia juga mengatakan, fraksinya pernah diminta Fraksi Golkar agar Wa Ode mundur dari ke­anggotaan DPR.

Dalam kasus suap ini, KPK juga sudah menetapkan Fahd se­bagai tersangka. Adapun Haris ma­sih berstatus sebagai saksi.  

Seusai diperiksa sebagai saksi ka­sus korupsi pembahasan ang­ga­ran dan pengadaan Alquran di Ge­dung KPK, kemarin, Fahd mem­bantah semua keterangan Wa Ode. “Wa Ode itu, omongan­nya banyakan ngelantur,” tegasnya.

Fahd juga membantah ke­ter­li­batan Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso dalam kasus DPPID. “Nggak ada kaitannya,” kata Ke­tua Gema MKGR ini.

Sementara itu, dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Selasa (25/9), Yusril Izra Ma­hendra hadir mendampingi Wa Ode Nurhayati sebagai kuasa hu­kum. Kehadiran Yusril cukup menarik perhatian, soalnya baru kali itu dia muncul dalam sidang terdakwa Wa Ode.

Yusril dihadirkan tim kuasa hu­kum terdakwa untuk mem­a­tah­kan dakwaan jaksa perihal peng­gabungan tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang dalam satu berkas perkara.

Respons KPK Mesti Cepat Dan Benar

Hidzfil Alim, Peneliti Pukat UGM

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Hidzfil Alim meminta KPK cepat me­respon semua hal yang ter­ung­kap di persidangan. Hal ini pen­­ting untuk memberi ke­pas­tian hukum dalam pengusutan kasus ini.

Dia menggarisbawahi, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi perlu memanggil dan meme­rik­sa para pihak yang disebut dalam kasus Wa Ode Nurhayati.

“Memanggil dan memintai ke­terangan saksi tambahan itu pen­ting, mengingat kasus ini te­rus bergulir dan menyenggol se­jumlah nama penting,” katanya.

Hal itu ditujukan agar perkara suap pembahasan anggaran Dana Percepatan Pembangunan In­frastruktur Daerah (DPPID) ini menjadi jelas. Jadi, sam­bung­nya, semangat untuk mem­perjelas persoalan ini sangat tergantung pada tindakan yang diambil KPK.

Dengan kata lain, KPK harus optimal merespon hal tersebut. Akan tetapi, respon itu harus dilandasi pedoman hukum yang benar. Jangan sampai, hanya bermodalkan pengakuan Wa Ode, KPK lantas melakukan penetapan tersangka.

“Penetapan status tersangka, hendaknya dilakukan setelah ada bukti-bukti yang cukup. Bukan hanya berdasarkan ke­te­rangan terdakwa,” katanya.

Dia menggarisbawahi, di sini­lah kecermatan hakim mau­pun jaksa menguji semua fakta secara profesional. Jangan sam­pai, keterangan yang me­ngan­dung fakta diabaikan. Atau jus­tru mengaburkan fakta-fakta yang idealnya berhubungan de­ngan substansi persoalan.

Minta Jaksa Hadirkan Saksi Yang Disebut

Ruhut Sitompul, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Ruhut Sitompul menyatakan, apa yang terpapar dalam per­sidangan, idealnya dibuktikan. Untuk itu, jaksa maupun hakim bisa menghadirkan saksi yang namanya disebut terdakwa Wa Ode Nurhayati ke persidangan.

“Bisa langsung dipanggil un­tuk dihadirkan di persi­dangan. Hal itu diatur dan di­jamin kons­titusi,” kata anggota DPR dari Partai Demokrat ini.

Menurutnya, keterangan ter­dakwa di hadapan majelis ha­kim harus dibuktikan. Dari situ, bisa ditarik kesimpulan apakah keterangannya benar atau tidak. Seandainya keterangan terdak­w­a didukung alat bukti yang cukup, dia meminta jaksa dan hakim tegas menangani hal ini.

Setidaknya, harus ada proses hukum bagi siapa pun yang diduga bersalah. Namun apa­bila keterangan terdakwa tak bisa dibuktikan, pengadilan ideal­nya memberi penjelasan bah­wa pihak yang diduga ter­kait masalah ini, bersih.

“Itu di­laksanakan supaya tidak terjadi pencemaran nama baik,” tandasnya.

Selanjutnya, pengakuan ter­dakwa yang tidak bisa di­buk­tikan tersebut, bisa menjadi per­timbangan hakim untuk m­em­perberat masa hukuman.

Hal-hal seperti ini kerap ter­jadi di dunia peradilan. Lantara itu, prinsip penegakan hukum yang benar-benar menjunjung azas keadilan tidak boleh di­tang­galkan. Siapa pun pihak yang diduga terkait pelanggaran hukum, semestinya ditindak sesuai porsinya. Anggota DPR sekalipun, tidak ada yang kebal hukum.  [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA