Sidang terdakwa kasus suap penanganan pajak PT Bhakti Investama, James Gunaryo semakin panas. Saksi yang merupakan Komisaris Independen PT Bhakti Investama, Antonius Tonbeng menolak semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya.
Siapa saja yang terlibat skenario suap pegawai Ditjen Pajak TomÂmy Hindratno? Kali ini, pengÂungÂkapan dilakukan jaksa penuntut umum (JPU) pada KPK dengan cara memutar potongan rekaman suara hingga enam kali, serta memÂpertontonkan cuplikan reÂkaman CCTV.
Jaksa yakin, rekaman suara itu adalah suara saksi Antonius dan terdakwa James. Menurut jaksa, kesimpulan tersebut diambil setelah meminta keterangan dua saksi ahli.
Pemutaran rekaman suara itu untuk mematahkan argumen AnÂton yang bersikukuh, tak meÂngeÂnal James dan tak pernah berÂkoÂmunikasi dengan terdakwa peÂrantara suap dari PT Bhakti ke Tommy Hindratno itu. “Itu bukan suara saya,†sanggah Antonius.
Dalam rekaman suara 5 Juni 2012 itu, menurut JPU, Antonius akÂtif menyiapkan succes fee unÂtuk Tommy melalui James. ApaÂlagi, yakin jaksa, suara dalam rekaman itu menyebut satu sama lain dengan panggilan James dan Pak Anton.
Salah satu rekaman mengiÂsahÂkan bagaimana dialog orang yang diyakini JPU sebagai James deÂngan Antonius. Dialog itu meÂnyoal upaya James mendapatkan koÂmisi 10 persen dari perannya sebagai perantara suap. “Itu kan 10 persen, Saya ngomong ke soÂno Rp 330, yang 10 juta kita bagi dua aja, mau nggak pak?†ucap suara orang yang diyakini JPU sebagai James.
Menanggapi itu, orang yang diyakini JPU sebagai Antonius meÂÂnyatakan, “Kebanyakan itu, saÂya sih nggak usah.†“Nggak apa-apa, Bapak kan juga perlu,†kata James. “Harusnya lo ngamÂbil lebih geÂdean,†timpal suara miÂrip Antonius.
Pada bagian lain, jaksa meÂmuÂtar rekaman suara yang mengeÂsanÂkan bagaimana upaya James menagih janji kompensasi atas pencairan kelebihan pembayaran (restitusi) pajak PT Bhakti keÂpada Antonius.
Suara orang yang diyakini JPU sebagai Antonius mengatakan, “Saya usahakan hari ini cash.†Ucapan tersebut merupakan tangÂgapan atas pernyataan orang yang diyakini sebagai James, “Diambil cek aja juga tidak apa-apa.â€
Mendengar sanggahan dari Antonius, hakim bereaksi keras. KeÂsal. “Kita nggak mau diperÂmainÂkan,†tegas hakim AlexanÂder Marwata. Hakim Anwar pun ikut memberondong Anton deÂngan pernyataan keras. “Saksi suÂdah disumpah. Selain bertangÂgung jawab kepada Tuhan, ada juga sanksi hukum lainnya.â€
Selesai mendengar rekaman suara, jaksa memutar rekaman CCTV. Kali ini, jaksa meminta sakÂsi Aep Sulaiman memaparkan kesaksian. Rekaman CCTV itu diperoleh dari Bank BCA cabang Wahid Hasyim.
Dalam tayangan yang kurang jernih itu, tampak Aep, staf finanÂce PT Bhakti mencairkan cek Rp 340 juta tanggal 5 Juni 2012, seÂkitar pukul 14.00 WIB. Setelah cek cair, Aep memasukkan uang ke amplop coklat. Amplop itu lalu diÂmasukkan ke tas hitam. Setelah beres, Aep bergegas meningÂgalÂkan kasir bank.
Cuplikan gambar itu ditunÂjukÂkan jaksa untuk mencocokkan tas yang dipakai Aep dengan tas yang diserahkan James kepada Tommy. “Tidak ada yang mengÂgunakan tas itu selain saya,†kata Aep pada hakim.
Dalam gambar, Aep terlihat memÂbawa uang dengan sebuah tas karton (paper bag) bertuliskan ‘Lennor’ berwarna hitam. Tas ini, meÂÂnurut JPU, sama seperti saat JaÂmes ditangkap KPK. Namun, Aep menampik tas miliknya diÂpakai untuk menyerahkan uang suap. “Ini saya bawa tasnya,†katanya.
Lebih jauh, Aep mengatakan, pencairan cek diketahui direksi PT Bhakti Investama. “Sudah diÂtandatangani Direktur KeÂuangan Wandhy Wira Riyadi dan DiÂrektur Dharma Putra Wati.â€
Namun Aep mengatakan, seÂpengetahuannya, pencairan cek untuk pembayaran uang muka biaya publik ekspos. Bukan untuk keÂpentingan memberi succes fee atau suap. Tapi, dia mengaku, acaÂra publik ekspos itu batal dilakÂÂsanakan.
Sementara itu, rencana jaksa menghadirkan bos PT Bhakti Investama, Hary Tanoesoedibyo sebagai saksi bagi terdakwa James, kemarin, kandas.
Andi Simangungsong, kuasa hukum Hary menyebutkan, keÂtidakhadiran bos MNC Group itu dipicu panggilan yang terlalu menÂdadak. Dia menyatakan, suÂrat panggilan dikirim pada Jumat (21/9). Surat itu sampai ke tangan Hary pada keesokan harinya.
Andi menambahkan, melalui tim kuasa hukum, Hary telah meÂngirim surat balasan kepada jaksa. Isinya berupa pemberiÂtaÂhuan, kliennya tak bisa mengÂhaÂdiri panggilan. “Intinya pangÂgilan terlalu mendadak, sehingga belum bisa hadir,†ujarnya.
Sekalipun menilai, peÂmeÂrikÂsaan Hary sebagai saksi tidak relevan dengan perkara tersebut, toh kliennya siap memberi keÂsakÂsian pada Jumat (28/9) menÂdatang.
REKA ULANG
Tergambar Dalam Dakwaan James Gunaryo
Dalam surat dakwaan James Gunaryo tergambar, bagaimana peran Komisaris Independen PT Bhakti Investama Antonius TonÂbeng dalam kasus suap terhadap petugas Ditjen Pajak Tommy HinÂdratno ini.
Tanggal 11 Mei 2012, Kantor PeÂlayanan Pajak Perusahaan MaÂsuk Bursa (KPP PMB) meÂnerÂbitkan surat perintah membayar kelebihan pajak (SPMKP) PT Bhakti Investama. Surat itu berisi keterangan SPT Pph Badan 2010 dan SPT Ppn 2003 sampai 2010. Total keseluruhannya mencapai angka Rp 3.420.449.886.
Pada 25 Mei, Antonius mengÂhuÂbungi James. Antonius bilang, pemÂbayaran kelebihan pajak dari KPP PMB belum masuk ke reÂkening PT Bhakti. Antonius meÂngingatkan James agar kelebihan pajak itu dikirim ke rekening PT Bhakti di BCA.
Pada 5 Juni, Antonius kembali menghubungi James. Dia mengÂinÂformasikan, dana kelebihan pajak sudah diterima seluruhnya di rekening PT Bhakti nomor 4783011908 di BCA. Antonius menyampaikan, dari jumlah itu akan dikeluarkan Rp 350 juta.
Berkaitan dengan itu, staf FiÂnance PT Bhakti, Aep Sulaeman menÂcairkan cek BCA nomor AU 570649 sebesar Rp 340 juta. Cek itu ditandatangani Direktur PT Bhakti Darma Putra Wati dan DiÂrektur Keuangan PT Bhakti WanÂdhy Wira Riady. Pencairan cek dilakukan di BCA Wahid Hasyim 82, Jakarta Pusat. Cek dicairkan daÂlam uang pecahan Rp 100 ribu dan Rp 50 ribu. Uang disimpan di paper bag hitam bertuliskan “LENNORâ€.
Uang itu lalu dibawa ke kantor PT Bhakti Investama di MNC ToÂwer, Kebon Sirih, Jakarta Pusat. SeÂlebihnya, Antonius meminta JaÂmes datang ke kantor PT Bhakti. Sekitar pukul 16.00 WIB, James yang mengendarai Toyota Harrier B 8334 DW mengambil uang untuk menyerahkannya keÂpada Tommy.
Tapi, penyerahan baru dilaÂkukan 6 Juni 2012. SeÂbelum diserahkan ke Tommy, James mengambil bagian Rp 60 juta. Sisanya Rp 280 juta akan diserahkan kepada Tomy yang akan datang dari Surabaya berÂsama ayahnya, Hendi Anuranto.
Setiba di Bandara Soekarno Hatta, Tommy dan Hendi naik taksi menuju Rumah Sakit CarÂrolus untuk menemui James. Di tengah perjalanan, Tommy meÂneÂlepon James agar pertemuan diÂgeÂser ke Hotel Harris, Tebet, JaÂkarta Selatan. Namun, karena memÂpertimbangkan adanya CCTV hotel, pertemuan digeser ke Restoran Sederhana, Jalan KH Abdullah Syafii, dekat Lapangan Ros, Tebet.
Di restoran, Tommy takut meÂnerima uang tunai dari James. Ia meÂminta James menyerahkan uang kepada ayahnya. James meÂnuÂrut.
Dia meletakkan tas hitam berisi uang itu di samping kaki kiri Hendi. Tapi begitu, penyeÂrahÂan selesai, petugas KPK mengÂgeÂrebek mereka. Dari tangan para terÂsangka, petugas menyita uang Rp 280 juta.
Mangkir, Saksi Bisa Dipanggil Paksa
Daday Hudaya, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Daday Hudaya mengingatkan, hakim dan jaksa mempunyai kewenangan memanggil saksi. Pemanggilan itu tentu berkaitan dengan fakta bahwa keterangan saksi penting.
“Saksi wajib memenuhi pangÂÂgilan pengadilan. Apalagi kesaksiannya itu sangat penting dalam mengungkap perkara. Jadi, tidak mungkin pemangÂgilÂan saksi dilakukan tanpa daÂsar yang kuat,†katanya, kemarin.
Dia menegaskan, hakim dan jaksa punya kewenangan meÂmakÂsa saksi hadir dalam perÂsiÂdangan. Kewenangan tersebut, bisÂa dilaksanakan apabila saksi yang dipanggil tidak mengÂinÂdahkan permintaan hakim meÂlalui jaksa. “Ada meÂkaÂnisÂmenya, panggilan pertama, lalu panggilan kedua. Jika tetap tidak hadir, bisa dipanggil pakÂsa,†ucapnya.
Menurut Daday, terkait tidak hadirnya saksi Hary TanoeÂsoeÂdibyo, hakim bisa meÂmeÂrintahkan jaksa untuk meÂmangÂgil paksa. Intinya, proses ini daÂpat dilakukan apabila saksi tak kunjung memenuhi panggilan pengadilan.
Mengenai bantahan KomiÂsaÂris Independen PT Bhakti InÂvesÂtama Antonius Tonbeng, dia menyatakan, hal itu menjadi pekerjaan hakim dan jaksa. “Diperlukan keprofesionalan hakim dalam menelaah semua fakta yang ada,†lanjutnya.
Menurut Daday, tidak terÂtuÂtup kemungkinan status AnÂtoÂnius berubah dari saksi menÂjadi tersangka. “Banyak hal bisa terjadi. Termasuk status saksi yang berubah menjadi terÂsangka,†ucapnya.
Pada prinsipnya, bila fakta huÂkum yang ada sudah meÂmeÂnuhi syarat, hakim tidak perlu menunggu terlalu lama. “TingÂgal perintah jaksa untuk meÂningkatkan status saksi menÂjadi tersangka. Yang paling pokok, peÂrubahan status itu harus diÂdasarkan pada fakta-fakta yang tak terbantahkan.â€
Hukumannya Mesti Timbulkan Efek Jera
Bambang Widodo Umar, Dosen
Dosen Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar mengingatkan, masih terÂjadinya kasus suap kepada peÂgawai Ditjen Pajak, semestinya menjadi pemicu untuk meÂningÂkatkan pengawasan.
“Kementerian Keuangan, khuÂsusnya Ditjen Pajak, idealÂnya meningkatkan pengaÂwasan dan penindakan di internal mereka. Jangan sampai masalah perÂpajakan yang sensitif ini disaÂlahgunakan lagi,†ujarnya.
Bambang menambahkan, faktor pencegahan, pengawasan dan penindakan terhadap pegaÂwai Ditjen Pajak mesti ditingÂkatÂkan untuk memiminalisir peÂnyelewengan.
Dia mengingatkan, biasanya tindak kejahatan di sektor pajak sangat rapi. Sebab, selain dilaÂkukan orang yang profesional, juga melibatkan kelompok ekoÂnoÂmi papan atas. “Kelompok ekoÂnomi mapan,†kata penÂsiunÂan perwira tinggi Polri ini.
Dengan begitu, dia mengÂhaÂrapkan, tindakan dan sanksi keÂpada para pelaku kejahatan ini harus berat. Jangan sampai, meÂreka divonis ringan. Sebab, lanjut dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) ini, vonis hukuman menjadi tolok ukur untuk mencegah keboÂcoran pajak.
Paling tidak, vonis berat terÂseÂbut, tegasnya, membuat para peÂlaku kejahatan pajak, terÂmaÂsuk pegawai pajak jera meÂlakukan aksi kejahatan. Jadi, hal krusial yang perlu perhatian dan perÂbaikan mendesak saat ini, terang dia, juga menyangkut paÂda keberanian hakim memvonis pelaku kejahatan. Terutama, yang terkait dengan pajak.
Dia menambahkan, antipati masyarakat terhadap proses peÂneÂgakan hukum di lingkungan pajak, hendaknya menjadi peÂdoman agar penegak hukum beÂkerja maksimal. “Aspirasi maÂsyarakat ini penting dalam upaÂya membenahi sistem hukum yang ada,†ucapnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: