Komisaris Bhakti Investama Bikin Kesal Hakim Tipikor

Sanggah Rekaman Yang Diajukan Penuntut Umum

Selasa, 25 September 2012, 09:55 WIB
Komisaris Bhakti Investama Bikin Kesal Hakim Tipikor
James Gunaryo

rmol news logo Sidang terdakwa kasus suap penanganan pajak PT Bhakti Investama, James Gunaryo semakin panas. Saksi yang merupakan Komisaris Independen PT Bhakti Investama, Antonius Tonbeng menolak semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya.

Siapa saja yang terlibat skenario suap pegawai Ditjen Pajak Tom­my Hindratno? Kali ini, peng­ung­kapan dilakukan jaksa penuntut umum (JPU) pada KPK dengan cara memutar potongan rekaman suara hingga enam kali, serta mem­pertontonkan cuplikan re­kaman CCTV.

Jaksa yakin, rekaman suara itu adalah suara saksi Antonius dan terdakwa James. Menurut jaksa, kesimpulan tersebut diambil setelah meminta keterangan dua saksi ahli.

Pemutaran rekaman suara itu untuk mematahkan argumen An­ton yang bersikukuh, tak me­nge­nal James dan tak pernah ber­ko­munikasi dengan terdakwa pe­rantara suap dari PT Bhakti ke Tommy Hindratno itu. “Itu bukan suara saya,” sanggah Antonius.

Dalam rekaman suara 5 Juni 2012 itu, menurut JPU, Antonius ak­tif menyiapkan succes fee un­tuk Tommy melalui James. Apa­lagi, yakin jaksa, suara dalam rekaman itu menyebut satu sama lain dengan panggilan James dan Pak Anton.

Salah satu rekaman mengi­sah­kan bagaimana dialog orang yang diyakini JPU sebagai James de­ngan Antonius. Dialog  itu me­nyoal upaya James mendapatkan ko­misi 10 persen dari perannya sebagai perantara suap. “Itu kan 10 persen, Saya ngomong ke so­no Rp 330, yang 10 juta kita bagi dua aja, mau nggak pak?” ucap suara orang yang diyakini JPU sebagai James.

Menanggapi itu, orang yang diyakini JPU sebagai Antonius me­­nyatakan, “Kebanyakan itu, sa­ya sih nggak usah.” “Nggak apa-apa, Bapak kan juga perlu,” kata James. “Harusnya lo ngam­bil lebih ge­dean,” timpal suara mi­rip Antonius.

Pada bagian lain, jaksa me­mu­tar rekaman suara yang menge­san­kan bagaimana upaya James menagih janji kompensasi atas pencairan kelebihan pembayaran (restitusi) pajak PT Bhakti ke­pada Antonius.

Suara orang yang diyakini JPU sebagai Antonius mengatakan, “Saya usahakan hari ini cash.” Ucapan tersebut merupakan tang­gapan atas pernyataan orang yang diyakini sebagai James, “Diambil cek aja juga tidak apa-apa.”

Mendengar sanggahan dari Antonius, hakim bereaksi keras. Ke­sal. “Kita nggak mau diper­main­kan,” tegas hakim Alexan­der Marwata. Hakim Anwar pun ikut memberondong Anton de­ngan pernyataan keras. “Saksi su­dah disumpah. Selain bertang­gung jawab kepada Tuhan, ada juga sanksi hukum lainnya.”

Selesai mendengar rekaman suara, jaksa memutar rekaman CCTV. Kali ini, jaksa meminta sak­si Aep Sulaiman memaparkan kesaksian.  Rekaman CCTV itu diperoleh dari  Bank BCA cabang Wahid Hasyim.

Dalam tayangan yang kurang jernih itu, tampak Aep, staf finan­ce PT Bhakti mencairkan cek Rp 340 juta tanggal 5 Juni 2012,  se­kitar pukul 14.00 WIB. Setelah cek cair, Aep memasukkan uang ke amplop coklat. Amplop itu lalu di­masukkan ke tas hitam. Setelah beres, Aep bergegas mening­gal­kan kasir bank.

Cuplikan gambar itu ditun­juk­kan jaksa untuk mencocokkan tas yang dipakai Aep dengan tas yang diserahkan James kepada Tommy. “Tidak ada yang meng­gunakan tas itu selain saya,” kata Aep pada hakim.

Dalam gambar, Aep terlihat mem­bawa uang dengan sebuah tas karton (paper bag) bertuliskan ‘Lennor’ berwarna hitam. Tas ini, me­­nurut JPU, sama seperti saat Ja­mes ditangkap KPK. Namun, Aep menampik tas miliknya di­pakai untuk menyerahkan uang suap. “Ini saya bawa tasnya,” katanya.

Lebih jauh, Aep mengatakan, pencairan cek diketahui direksi PT Bhakti Investama. “Sudah di­tandatangani Direktur Ke­uangan Wandhy Wira Riyadi dan Di­rektur Dharma Putra Wati.”

Namun Aep mengatakan, se­pengetahuannya, pencairan cek untuk pembayaran uang muka biaya publik ekspos. Bukan untuk ke­pentingan memberi succes fee atau suap. Tapi, dia mengaku, aca­ra publik ekspos itu batal dilak­­sanakan.

Sementara itu, rencana jaksa menghadirkan bos PT Bhakti Investama, Hary Tanoesoedibyo sebagai saksi bagi terdakwa James, kemarin, kandas.

Andi Simangungsong, kuasa hukum Hary menyebutkan, ke­tidakhadiran bos MNC Group itu dipicu panggilan yang terlalu men­dadak. Dia menyatakan, su­rat panggilan dikirim pada Jumat (21/9). Surat itu sampai ke tangan Hary pada keesokan harinya.

Andi menambahkan, melalui tim kuasa hukum, Hary telah me­ngirim surat balasan kepada jaksa. Isinya berupa pemberi­ta­huan, kliennya tak bisa meng­ha­diri panggilan. “Intinya pang­gilan terlalu mendadak, sehingga belum bisa hadir,” ujarnya.

Sekalipun menilai, pe­me­rik­saan Hary sebagai saksi tidak relevan dengan perkara tersebut, toh kliennya siap memberi ke­sak­sian pada Jumat (28/9) men­datang.

REKA ULANG

Tergambar Dalam Dakwaan James Gunaryo

Dalam surat dakwaan James Gunaryo tergambar, bagaimana peran Komisaris Independen PT Bhakti Investama Antonius Ton­beng dalam kasus suap terhadap petugas Ditjen Pajak Tommy Hin­dratno ini.

Tanggal 11 Mei 2012, Kantor Pe­layanan Pajak Perusahaan Ma­suk Bursa (KPP PMB) me­ner­bitkan surat perintah membayar kelebihan pajak (SPMKP) PT Bhakti Investama. Surat itu berisi keterangan SPT Pph Badan 2010 dan SPT Ppn 2003 sampai 2010. Total keseluruhannya mencapai angka Rp 3.420.449.886.

Pada 25 Mei, Antonius meng­hu­bungi James. Antonius bilang, pem­bayaran kelebihan pajak dari KPP PMB belum masuk ke re­kening PT Bhakti. Antonius me­ngingatkan James agar kelebihan pajak itu dikirim ke rekening PT Bhakti di BCA.

Pada 5 Juni, Antonius kembali menghubungi James. Dia meng­in­formasikan, dana kelebihan pajak sudah diterima seluruhnya di rekening PT Bhakti nomor 4783011908 di BCA. Antonius menyampaikan, dari jumlah itu akan dikeluarkan Rp 350 juta.

Berkaitan dengan itu, staf Fi­nance PT Bhakti, Aep Sulaeman men­cairkan cek BCA nomor AU 570649 sebesar Rp 340 juta. Cek itu ditandatangani Direktur PT Bhakti Darma Putra Wati dan Di­rektur Keuangan PT Bhakti Wan­dhy Wira Riady. Pencairan cek dilakukan di BCA Wahid Hasyim 82, Jakarta Pusat. Cek dicairkan da­lam uang pecahan Rp 100 ribu dan Rp 50 ribu. Uang disimpan di paper bag hitam bertuliskan “LENNOR”.

Uang itu lalu dibawa ke kantor PT Bhakti Investama di MNC To­wer, Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Se­lebihnya, Antonius meminta Ja­mes datang ke kantor PT Bhakti. Sekitar pukul 16.00 WIB, James yang mengendarai Toyota Harrier B 8334 DW mengambil uang untuk menyerahkannya ke­pada Tommy.

Tapi, penyerahan baru dila­kukan 6 Juni 2012. Se­belum diserahkan ke Tommy, James mengambil bagian Rp 60 juta. Sisanya Rp 280 juta akan diserahkan kepada Tomy yang akan datang dari Surabaya ber­sama ayahnya, Hendi Anuranto.

Setiba di Bandara Soekarno Hatta, Tommy dan Hendi naik taksi menuju Rumah Sakit Car­rolus untuk menemui James.  Di tengah perjalanan, Tommy me­ne­lepon James agar pertemuan di­ge­ser ke Hotel Harris, Tebet, Ja­karta Selatan. Namun, karena mem­pertimbangkan adanya CCTV hotel, pertemuan digeser ke Restoran Sederhana, Jalan KH Abdullah Syafii, dekat Lapangan Ros, Tebet.

Di restoran, Tommy takut me­nerima uang tunai dari James. Ia me­minta James menyerahkan uang kepada ayahnya. James me­nu­rut.

Dia meletakkan tas hitam berisi uang itu di samping kaki kiri Hendi. Tapi begitu, penye­rah­an selesai, petugas KPK meng­ge­rebek mereka. Dari tangan para ter­sangka, petugas menyita uang Rp 280 juta.

Mangkir, Saksi Bisa Dipanggil Paksa

Daday Hudaya, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Daday Hudaya mengingatkan, hakim dan jaksa mempunyai kewenangan memanggil saksi. Pemanggilan itu tentu berkaitan dengan fakta bahwa keterangan saksi penting.

“Saksi wajib memenuhi pang­­gilan pengadilan. Apalagi kesaksiannya itu sangat penting dalam mengungkap perkara. Jadi, tidak mungkin pemang­gil­an saksi dilakukan tanpa da­sar yang kuat,” katanya, kemarin.

Dia menegaskan, hakim dan jaksa punya kewenangan me­mak­sa saksi hadir dalam per­si­dangan. Kewenangan tersebut, bis­a dilaksanakan apabila saksi yang dipanggil tidak meng­in­dahkan permintaan hakim me­lalui jaksa. “Ada me­ka­nis­menya, panggilan pertama, lalu panggilan kedua. Jika tetap tidak hadir, bisa dipanggil pak­sa,” ucapnya.

Menurut Daday, terkait tidak hadirnya saksi Hary Tanoe­soe­dibyo, hakim bisa me­me­rintahkan jaksa untuk me­mang­gil paksa. Intinya, proses ini da­pat dilakukan apabila saksi tak kunjung memenuhi panggilan pengadilan.

Mengenai bantahan Komi­sa­ris Independen PT Bhakti In­ves­tama Antonius Tonbeng, dia menyatakan, hal itu menjadi pekerjaan hakim dan jaksa. “Diperlukan keprofesionalan hakim dalam menelaah semua fakta yang ada,” lanjutnya.

Menurut Daday, tidak ter­tu­tup kemungkinan status An­to­nius berubah dari saksi men­jadi tersangka. “Banyak hal bisa terjadi. Termasuk status saksi yang berubah menjadi ter­sangka,” ucapnya.

Pada prinsipnya, bila fakta hu­kum yang ada sudah me­me­nuhi syarat, hakim tidak perlu menunggu terlalu lama. “Ting­gal perintah jaksa untuk me­ningkatkan status saksi men­jadi tersangka. Yang paling pokok, pe­rubahan status itu harus di­dasarkan pada fakta-fakta yang tak terbantahkan.”

Hukumannya Mesti Timbulkan Efek Jera

Bambang Widodo Umar, Dosen

Dosen Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar mengingatkan, masih ter­jadinya kasus suap kepada pe­gawai Ditjen Pajak, semestinya menjadi pemicu untuk me­ning­katkan pengawasan.

“Kementerian Keuangan, khu­susnya Ditjen Pajak, ideal­nya meningkatkan penga­wasan dan penindakan di internal mereka. Jangan sampai masalah per­pajakan yang sensitif ini disa­lahgunakan lagi,” ujarnya.

Bambang menambahkan, faktor pencegahan, pengawasan dan penindakan terhadap pega­wai Ditjen Pajak mesti diting­kat­kan untuk memiminalisir pe­nyelewengan.

Dia mengingatkan, biasanya tindak kejahatan di sektor pajak sangat rapi. Sebab, selain dila­kukan orang yang profesional, juga melibatkan kelompok eko­no­mi papan atas. “Kelompok eko­nomi mapan,” kata pen­siun­an perwira tinggi Polri ini.

Dengan begitu, dia meng­ha­rapkan, tindakan dan sanksi ke­pada para pelaku kejahatan ini harus berat. Jangan sampai, me­reka divonis ringan. Sebab, lanjut dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) ini, vonis hukuman menjadi tolok ukur untuk mencegah kebo­coran pajak.

Paling tidak, vonis berat ter­se­but, tegasnya, membuat para pe­laku kejahatan pajak, ter­ma­suk pegawai pajak jera me­lakukan aksi kejahatan. Jadi, hal krusial yang perlu perhatian dan per­baikan mendesak saat ini, terang dia, juga menyangkut pa­da keberanian hakim memvonis pelaku kejahatan. Terutama, yang terkait dengan pajak.

Dia menambahkan, antipati masyarakat terhadap proses pe­ne­gakan hukum di lingkungan pajak, hendaknya menjadi pe­doman agar penegak hukum be­kerja maksimal. “Aspirasi ma­syarakat ini penting dalam upa­ya membenahi sistem hukum yang ada,” ucapnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA