Kejagung Tetapkan Dua Tersangka Pembobol BRI

Ada Yang Buron, Dilacak Lewat Account Officer

Jumat, 21 September 2012, 09:53 WIB
Kejagung Tetapkan Dua Tersangka Pembobol BRI
Adi M Toegarisman

rmol news logo Kejagung menetapkan dua tersangka kasus dugaan pembobolan BRI.  Selain menahan tersangka Dirut PT First International Gloves, jaksa melacak jejak Account  Officer pada Divisi Agribisnis BRI yang buron.

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung (Ka­pus­penkum-Kejagung) Adi M Toegarisman menjelaskan, pena­hanan tersangka Dirut PT First International Gloves (FIG) dila­ku­kan Rabu (19/9) malam.

Pene­tapan status tersangka di­ambil setelah jaksa mengantongi bukti-bukti kasus dugaan pem­bobolan BRI. Adi belum me­nye­butkan iden­titas tersangka secara lengkap. Dia hanya meng­in­for­ma­sikan, Dirut PT FIG yang di­tahan berinisial H. Tersangka di­duga berperan sebagai pihak yang membobol kas BRI.

Upaya pembobolan dilakukan dengan cara mengajukan kredit senilai 18 juta Dolar Amerika. Tapi setelah dana cair, dana ter­sebut dialokasikan untuk ke­pen­tingan lain. “Dalam dokumen usulan pengajuan kredit, dana dari BRI tersebut rencananya dipakai untuk membangun pabrik sarung tangan karet di Pelaihari, Tanah Laut, Kalsel,” katanya.

Namun setelah dicek, pabrik ter­sebut tidak jelas alias fiktif. Me­nurutnya, jaksa juga sudah mengecek dokumen kredit dan agunan yang dijadikan garansi kredit ke BRI. “Rupanya, agu­nan­nya juga diduga fiktif.”

Dia menyimpulkan, penyidik me­rasa yakin bahwa di sini ter­da­pat serangkaian tindak pidana. Kejagung pun memutuskan un­tuk menelusuri kasus ini lebih in­tensif. Penelitian jaksa me­ne­mu­kan dugaan kerjasama antara ter­sangka dengan orang dalam bank. Artinya, dugaan penyidik seputar adanya konspirasi dalam pen­cai­ran kredit ini, benar.

“Nominal kredit yang begitu besar tidak mungkin bisa cair dengan mudah. Di sini saja sudah mencurigakan,” tuturnya. Namun sayang, Adi  belum bisa mengu­rai­kan kronologi penanganan ka­sus ini secara lengkap. Ia juga tak mau menyebutkan, kapan peris­tiwa pembobolan terjadi, serta bagaimana proses pengajuan kredit dilakukan.

Dia bilang, hal tersebut masih di­kembangkan. Dia meminta pe­nyidik kejaksaan diberi ke­sem­patan lebih dulu men­gem­bang­kan fakta-fakta yang ada.

Yang jelas, bekas Kajati Kepri ini meyakini, bukti-bukti adanya du­gaan tindak pidana korupsi da­lam pemberian dan penggunaan investasi dari BRI pada PT FIG su­dah cukup.  Maka itu, jaksa me­mutuskan untuk meningkatkan sta­tus penanganan perkara ke ta­hap penyidikan. “Sudah ada dua tersangka. Satu tersangka Dirut PT FIG langsung ditahan,” tegasnya.

Adi menyebutkan, H resmi me­nyandang status tersangka pada Rabu malam. Begitu ada pe­ne­tapan status tersangka, H pun di­ta­han di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba. Pertimbangan jaksa me­nahan H, antara lain untuk memudahkan penyidikan kasus ini. Pertimbangan lainnya, sebut dia,  untuk menjaga agar ter­sang­ka tidak melarikan diri serta meng­hilangkan barang bukti.  

Ketegasan penyidik, harapnya, tidak disalah artikan. Pasalnya, tersangka lainnya, yakni RBW, Account Officer pada Divisi Ag­ribisnis Kantor BRI Pusat sudah le­bih dulu buron. Tersangka RBW diduga buron saat penyidik mulai intensif memeriksa doku­men dan saksi-saksi kasus ini. “Saat ini masih kita lacak je­jak­nya,” ujarnya.

Bekas Asintel Kejati DKI ini memastikan, tim penyidik telah berkoordinasi dengan jajaran intel kejaksaan. Sebagai tindak lan­jut atas buronnya satu ter­sang­ka di sini, Intel Kejagung juga su­dah memasukan nama RBW da­lam daftar pencarian orang (DPO).

Untuk kepentingan mem­buru tersangka, jaksa telah menyam­paikan permintaan cekal pada Di­rektorat Jenderal (Ditjen) Imig­rasi. Langkah-langkah itu, di­upa­yakan guna menangkal kaburnya pihak-pihak yang diduga terkait kasus ini.

Dengan kata lain, Adi meng­in­formasikan, Kejagung sudah me­ngantongi beberapa nama yang diduga tersangkut perkara ini. Karenanya, intel kejaksaan kini meningkatkan intensitas pe­nga­wasan pada mereka-mereka yang dicurigai. Menjawab pertanyaan, apakah penyidik tengah me­ngem­bangkan penyidikan ke pejabat di atas tersangka RBW, ia menolak memberi penjelasan.

“Siapapun yang terlibat akan kita proses,” tegasnya. Sementara Dirut BRI Sofyan Basir yang di­konfirmasi mengenai kasus ter­sebut, kemarin petang, belum mau mengomentari hal ini. Dia me­nyatakan akan meminta in­formasi lebih dulu pada staf yang menangani kasus ini.

REKA ULANG

Bobol Dana Nasabah, Yudi Kartolo Buron

Selain mengusut kasus du­gaan pembobolan oleh PT First Inter­na­tional Gloves, Kejaksaan Agung (Kejagung) juga mengu­sut perkara sejenis lainnya. Ka­sus yang dita­ngani itu antara lain, pembobolan uang nasabah Bank Rakyat In­donesia (BRI) tahun 2003-2004 dan kasus du­gaan pengucuran kredit fiktif di Bank Bukopin.

Jaksa Agung Basrief Arief me­nyatakan, dalam kasus pem­bo­bolan dana nasabah tahun 2003-2004, Kejagung memasukan nama Yudi Kartolo dalam daftar pencarian orang (DPO). Nama Yudi masuk DPO karena setelah vonis pengadilan, keberadaanya tak dietahui. “Statusnya sudah ter­pidana. Yudi Kartolo masih bu­ron dan kami bergerak terus men­carinya,” ujar dia akhir bulan lalu.

Dipastikan, pengejaran Yudi ma­sih berlangsung. Dia juga meng­informasikan, perburuan terhadap para buronan Kejagung, tidak akan dihentikan. Selebih­nya, kejaksaan juga menangani dugaan korupsi pengucuran kredit pengadaan alat pengering gabah atau drying cen­ter di Bank Bukopin 2004.  

Berkenaan denga kasus ini, Ka­puspenkum Kejagung Adi M Toegarisman menyatakan, semua kasus terkait pengucuran kredit di bank tersebut masih ditangani. Dia mengatakan, kasus Bukopin yang masuk sejak 2004 sudah mulai ditindaklanjuti pada 2008. Pengu­sutan kasus ini diakui agak rumit.

Pasalnya, dugaan korupsi di sini diduga melibatkan beberapa Divisi Regional Bulog di daerah-daerah. Daerah yang dimaksud ada­lah, Jawa Timur, Jawa Te­ngah, Bali, Nusa Tengara Barat, dan Sulawesi Selatan. Dalam kasus ini, penyidik kejaksaan memperkirakan, jumlah kerugian negara mencapai Rp 76,24 miliar.

“Kita jalan terus, tidak ada per­kara yang dibiarkan berhenti. Kasus Bukopin sedang kita usut,” tambah Jaksa Agung Muda bi­dang Pidana Khusus (Jampidsus) Andhi Nirwanto, Senin (3/9).

Dia memastikan, pengusutan ka­sus baru berhenti bila masuk masa kadaluarsa. “Ya, semes­ti­nya, kalau batas limitatif yang maksi­mal adalah sampai kasus itu ke­da­luwarsa, tetapi kita juga pu­nya aturan-aturan main, se­perti KUHAP, seperti di SOP. Pe­nyidik se­dang mendalami un­tuk me­ngam­bil langkah-langkah yang jelas untuk tindakan lebih lanjut,” ujarnya.

Menurutnya,  kelambanan pro­ses penyidikan kasus Bukopin di­picu belum diterimanya hasil au­dit  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tentang kepemilikan sa­ham pemerintah di bawah 50 per­sen yang dianggap tidak me­ngan­dung kerugian negara. Sekalipun begitu, Kejagung telah me­ne­tap­kan 10 tersangka dari Bukopin dan satu tersangka dari PT Agung Pratama Lestari (APL) selaku debitur berinisial GN.

Secara terpisah, Bekas Direk­tur Utama Bank Bukopin Sofyan Basir menyampaikan, sewaktu kasus ini merebak, pihaknya su­dah memberikan klarifikasi ke­pada aparat penegak hukum. Me­nurut pria yang kini menjabat Di­rut BRI ini, dalam kasus ini tidak ada kerugian negara.

“Sebab, waktu itu Bukopin bu­kan BUMN. Dan di sana ke­pe­milikan saham negara hanya 18 persen, kepemilikan saham pe­me­rintah sebesar 22 persen. Sisa­nya swasta. Artinya tidak ada ne­gara di rugikan,” ujar Sofyan ke­tika dihubungi Rakyat Merdeka.

Dengan posisi Bukopin yang bukan dikategorikan sebagai BUMN waktu itu,  aneh bila dise­but ada kerugian negara. “Ke­cuali anggarannya dari APBN, nyatanya bukan,” ujar dia. Dia ber­harap, proses hukum yang ter­jadi tetap menjunjung asas ke­adilan.

Perlu SDM Yang Handal

Yahdil Abdi Harahap, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Yahdil Abdi Harahap menyam­paikan, proses perkreditan In­donesia memang cukup men­jan­jikan. Selain bisa mening­katkan iklim persaingan dunia usaha, juga akan menyehatkan dunia per-bankan Indonesia.

Namun, kata Yahdil, kenapa ma­sih sering terjadi penan­ga­nan perkara perkreditan yang ti­dak tepat. Akibat  ketak-tepatan penanganan tersebut membuat sebuah kejahatan perbankan yang dikategorikan tindak pi­dana korupsi, bisa dengan mu­dah diakali hanya menjadi ka­sus Perdata biasa.

“Penegak hukum kita harus serius.  Lembaga penegak hu­kum idealnya menyiapkan sum­ber daya manusia yang ahli da­lam dunia per-bankan dan bi­dang akuntansi. Selain itu, sikap mental yang anti korupsi juga harus dimiliki penyidik kita,” ujar Yahdil, kemarin.

Politisi PAN itu me­nyam­pai­kan, saat ini, sumber daya ma­nu­sia di kejaksaan masih se­ringkali kurang menguasai per­soalan perbankan. Maka itu, ia menyarankan agar kejaksaan berpikir lebih serius dalam m­e­lakukan rekrutmen calon jaksa. Maksud dia, perekrutan dan pe­nempatan jaksa-jaksa hen­dak­nya disesuaikan dengan ke­mampuannya.

Jangan sampai, sumber daya yang menguasai bidang aku­tan­si justru ditempatkan di bagian perpustakaan dan tenaga-tenaga yang tidak utama dalam pe­nyi­dikan.  “Mestinya, jika mereka diberikan kesempatan, mereka akan bisa menjadi penyidik yang efektif,” jelasnya.

Dengan sendirinya, p­e­ngu­su­tan kasus-kasus perbankan yang seringkali terkendala, akan mam­pu diselesaikan Ke­jaksaan Agung.  Lebih jauh lagi, dia mengi­ngat­kan penyidik dan penuntut ke­jaksaan agar tidak bermain-main dalam mengusut perkara.

“Setiap penyidik hendaknya me­masang target waktu dalam me­ngusut perkara. Dari target ter­sebut, kejaksaan diharap­kan­nya mampu meminimalisir adanya penanganan kasus yang  berlarut.”

Untuk itu dia mengingatkan, fungsi pengawasan di kejak­saan juga diefektifkan.  “Baik pengawasan internal, Komisi Kejaksaan dan semua unsur masyarakat harus melakukan pengawasan secara efektif,” ujarnya.

Selalu Libatkan Orang Dalam

Yenti Garnasih, Dosen Universitas Trisakti

Pakar Hukum Yenti Garnasih menyampaikan, kasus kredit bermasalah kerap jadi modus ke­jahatan untuk merampok uang negara sejak dulu.

Karena itu, bank pemerintah atau bank negara hendaknya melakukan upaya lebih serius untuk meng­hindari kemung­kinan buruk tersebut. Dia ber­harap, penegak hukum sigap dan cermat dalam mengusut per­kara perbankan.

“Banyak kejahatan per­ban­kan dengan modus pemberian kredit fiktif. Kredit yang tidak sesuai peruntukannya. Jika mo­dus pembobolan ini terjadi di bank negara seperti BRI,  tentu bisa diklasifikasikan ke dalam kejahatan tindak pidana  ko­rupsi,” jelasnya.

Dijelaskan dosen Universitas Trisakti itu,  mestinya pihak bank berhati-hati dalam men­cair­kan kredit model ini. Jika dalam analisisnya, kreditor di­nilai tidak layak mendapat kre­dit, kenapa seringkali hal ter­se­but terabaikan. Akibat pe­mak­saan atau penyimpangan ter­se­but, lanjutnya, pada umumnya kredit pun berakhir macet.

Dia meminta, penindakan le­bih kongkrit juga dilakukan pada pihak bank. Sebab per­soa­lannya, hampir semua ke­ja­ha­tan pembobolan bank pasti me­libatkan orang dalam bank itu sendiri. Hal itu katanya, perlu mendapat perhatian serius.

Menurut dia, kejaksaan tidak bo­leh lamban mengusut per­kara yang terkait dengan keterlibatan orang dalam bank. Hal ini di­per­lukan untuk meng­hindari hal-hal yang tak di­inginkan da­lam proses pe­nyi­dikan. “Seperti buron dan se­jenisnya,” ujarnya.

Potensi keterlibatan orang da­lam bank, kata Yenti, sangat besar.  Hal itu terjadi lantaran men­talitas pegawai bank ren­dah. Di luar itu, pengawasan bank terhadap para pegawainya juga minim. Kelonggaran-ke­longgaran tersebut, kata dia, menjadi pintu masuk terjadinya kejahatan. Serangkaian kasus-kasus perbankan ini, hendaknya menjadi bahan pelajaran bagi penyelenggara jasa perbankan dan Bank Indonesia (BI). [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA