Kejagung menetapkan dua tersangka kasus dugaan pembobolan BRI. Selain menahan tersangka Dirut PT First International Gloves, jaksa melacak jejak Account Officer pada Divisi Agribisnis BRI yang buron.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung (KaÂpusÂpenkum-Kejagung) Adi M Toegarisman menjelaskan, penaÂhanan tersangka Dirut PT First International Gloves (FIG) dilaÂkuÂkan Rabu (19/9) malam.
PeneÂtapan status tersangka diÂambil setelah jaksa mengantongi bukti-bukti kasus dugaan pemÂbobolan BRI. Adi belum meÂnyeÂbutkan idenÂtitas tersangka secara lengkap. Dia hanya mengÂinÂforÂmaÂsikan, Dirut PT FIG yang diÂtahan berinisial H. Tersangka diÂduga berperan sebagai pihak yang membobol kas BRI.
Upaya pembobolan dilakukan dengan cara mengajukan kredit senilai 18 juta Dolar Amerika. Tapi setelah dana cair, dana terÂsebut dialokasikan untuk keÂpenÂtingan lain. “Dalam dokumen usulan pengajuan kredit, dana dari BRI tersebut rencananya dipakai untuk membangun pabrik sarung tangan karet di Pelaihari, Tanah Laut, Kalsel,†katanya.
Namun setelah dicek, pabrik terÂsebut tidak jelas alias fiktif. MeÂnurutnya, jaksa juga sudah mengecek dokumen kredit dan agunan yang dijadikan garansi kredit ke BRI. “Rupanya, aguÂnanÂnya juga diduga fiktif.â€
Dia menyimpulkan, penyidik meÂrasa yakin bahwa di sini terÂdaÂpat serangkaian tindak pidana. Kejagung pun memutuskan unÂtuk menelusuri kasus ini lebih inÂtensif. Penelitian jaksa meÂneÂmuÂkan dugaan kerjasama antara terÂsangka dengan orang dalam bank. Artinya, dugaan penyidik seputar adanya konspirasi dalam penÂcaiÂran kredit ini, benar.
“Nominal kredit yang begitu besar tidak mungkin bisa cair dengan mudah. Di sini saja sudah mencurigakan,†tuturnya. Namun sayang, Adi belum bisa menguÂraiÂkan kronologi penanganan kaÂsus ini secara lengkap. Ia juga tak mau menyebutkan, kapan perisÂtiwa pembobolan terjadi, serta bagaimana proses pengajuan kredit dilakukan.
Dia bilang, hal tersebut masih diÂkembangkan. Dia meminta peÂnyidik kejaksaan diberi keÂsemÂpatan lebih dulu menÂgemÂbangÂkan fakta-fakta yang ada.
Yang jelas, bekas Kajati Kepri ini meyakini, bukti-bukti adanya duÂgaan tindak pidana korupsi daÂlam pemberian dan penggunaan investasi dari BRI pada PT FIG suÂdah cukup. Maka itu, jaksa meÂmutuskan untuk meningkatkan staÂtus penanganan perkara ke taÂhap penyidikan. “Sudah ada dua tersangka. Satu tersangka Dirut PT FIG langsung ditahan,†tegasnya.
Adi menyebutkan, H resmi meÂnyandang status tersangka pada Rabu malam. Begitu ada peÂneÂtapan status tersangka, H pun diÂtaÂhan di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba. Pertimbangan jaksa meÂnahan H, antara lain untuk memudahkan penyidikan kasus ini. Pertimbangan lainnya, sebut dia, untuk menjaga agar terÂsangÂka tidak melarikan diri serta mengÂhilangkan barang bukti.
Ketegasan penyidik, harapnya, tidak disalah artikan. Pasalnya, tersangka lainnya, yakni RBW, Account Officer pada Divisi AgÂribisnis Kantor BRI Pusat sudah leÂbih dulu buron. Tersangka RBW diduga buron saat penyidik mulai intensif memeriksa dokuÂmen dan saksi-saksi kasus ini. “Saat ini masih kita lacak jeÂjakÂnya,†ujarnya.
Bekas Asintel Kejati DKI ini memastikan, tim penyidik telah berkoordinasi dengan jajaran intel kejaksaan. Sebagai tindak lanÂjut atas buronnya satu terÂsangÂka di sini, Intel Kejagung juga suÂdah memasukan nama RBW daÂlam daftar pencarian orang (DPO).
Untuk kepentingan memÂburu tersangka, jaksa telah menyamÂpaikan permintaan cekal pada DiÂrektorat Jenderal (Ditjen) ImigÂrasi. Langkah-langkah itu, diÂupaÂyakan guna menangkal kaburnya pihak-pihak yang diduga terkait kasus ini.
Dengan kata lain, Adi mengÂinÂformasikan, Kejagung sudah meÂngantongi beberapa nama yang diduga tersangkut perkara ini. Karenanya, intel kejaksaan kini meningkatkan intensitas peÂngaÂwasan pada mereka-mereka yang dicurigai. Menjawab pertanyaan, apakah penyidik tengah meÂngemÂbangkan penyidikan ke pejabat di atas tersangka RBW, ia menolak memberi penjelasan.
“Siapapun yang terlibat akan kita proses,†tegasnya. Sementara Dirut BRI Sofyan Basir yang diÂkonfirmasi mengenai kasus terÂsebut, kemarin petang, belum mau mengomentari hal ini. Dia meÂnyatakan akan meminta inÂformasi lebih dulu pada staf yang menangani kasus ini.
REKA ULANG
Bobol Dana Nasabah, Yudi Kartolo Buron
Selain mengusut kasus duÂgaan pembobolan oleh PT First InterÂnaÂtional Gloves, Kejaksaan Agung (Kejagung) juga menguÂsut perkara sejenis lainnya. KaÂsus yang ditaÂngani itu antara lain, pembobolan uang nasabah Bank Rakyat InÂdonesia (BRI) tahun 2003-2004 dan kasus duÂgaan pengucuran kredit fiktif di Bank Bukopin.
Jaksa Agung Basrief Arief meÂnyatakan, dalam kasus pemÂboÂbolan dana nasabah tahun 2003-2004, Kejagung memasukan nama Yudi Kartolo dalam daftar pencarian orang (DPO). Nama Yudi masuk DPO karena setelah vonis pengadilan, keberadaanya tak dietahui. “Statusnya sudah terÂpidana. Yudi Kartolo masih buÂron dan kami bergerak terus menÂcarinya,†ujar dia akhir bulan lalu.
Dipastikan, pengejaran Yudi maÂsih berlangsung. Dia juga mengÂinformasikan, perburuan terhadap para buronan Kejagung, tidak akan dihentikan. SelebihÂnya, kejaksaan juga menangani dugaan korupsi pengucuran kredit pengadaan alat pengering gabah atau drying cenÂter di Bank Bukopin 2004.
Berkenaan denga kasus ini, KaÂpuspenkum Kejagung Adi M Toegarisman menyatakan, semua kasus terkait pengucuran kredit di bank tersebut masih ditangani. Dia mengatakan, kasus Bukopin yang masuk sejak 2004 sudah mulai ditindaklanjuti pada 2008. PenguÂsutan kasus ini diakui agak rumit.
Pasalnya, dugaan korupsi di sini diduga melibatkan beberapa Divisi Regional Bulog di daerah-daerah. Daerah yang dimaksud adaÂlah, Jawa Timur, Jawa TeÂngah, Bali, Nusa Tengara Barat, dan Sulawesi Selatan. Dalam kasus ini, penyidik kejaksaan memperkirakan, jumlah kerugian negara mencapai Rp 76,24 miliar.
“Kita jalan terus, tidak ada perÂkara yang dibiarkan berhenti. Kasus Bukopin sedang kita usut,†tambah Jaksa Agung Muda biÂdang Pidana Khusus (Jampidsus) Andhi Nirwanto, Senin (3/9).
Dia memastikan, pengusutan kaÂsus baru berhenti bila masuk masa kadaluarsa. “Ya, semesÂtiÂnya, kalau batas limitatif yang maksiÂmal adalah sampai kasus itu keÂdaÂluwarsa, tetapi kita juga puÂnya aturan-aturan main, seÂperti KUHAP, seperti di SOP. PeÂnyidik seÂdang mendalami unÂtuk meÂngamÂbil langkah-langkah yang jelas untuk tindakan lebih lanjut,†ujarnya.
Menurutnya, kelambanan proÂses penyidikan kasus Bukopin diÂpicu belum diterimanya hasil auÂdit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tentang kepemilikan saÂham pemerintah di bawah 50 perÂsen yang dianggap tidak meÂnganÂdung kerugian negara. Sekalipun begitu, Kejagung telah meÂneÂtapÂkan 10 tersangka dari Bukopin dan satu tersangka dari PT Agung Pratama Lestari (APL) selaku debitur berinisial GN.
Secara terpisah, Bekas DirekÂtur Utama Bank Bukopin Sofyan Basir menyampaikan, sewaktu kasus ini merebak, pihaknya suÂdah memberikan klarifikasi keÂpada aparat penegak hukum. MeÂnurut pria yang kini menjabat DiÂrut BRI ini, dalam kasus ini tidak ada kerugian negara.
“Sebab, waktu itu Bukopin buÂkan BUMN. Dan di sana keÂpeÂmilikan saham negara hanya 18 persen, kepemilikan saham peÂmeÂrintah sebesar 22 persen. SisaÂnya swasta. Artinya tidak ada neÂgara di rugikan,†ujar Sofyan keÂtika dihubungi Rakyat Merdeka.
Dengan posisi Bukopin yang bukan dikategorikan sebagai BUMN waktu itu, aneh bila diseÂbut ada kerugian negara. “KeÂcuali anggarannya dari APBN, nyatanya bukan,†ujar dia. Dia berÂharap, proses hukum yang terÂjadi tetap menjunjung asas keÂadilan.
Perlu SDM Yang Handal
Yahdil Abdi Harahap, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Yahdil Abdi Harahap menyamÂpaikan, proses perkreditan InÂdonesia memang cukup menÂjanÂjikan. Selain bisa meningÂkatkan iklim persaingan dunia usaha, juga akan menyehatkan dunia per-bankan Indonesia.
Namun, kata Yahdil, kenapa maÂsih sering terjadi penanÂgaÂnan perkara perkreditan yang tiÂdak tepat. Akibat ketak-tepatan penanganan tersebut membuat sebuah kejahatan perbankan yang dikategorikan tindak piÂdana korupsi, bisa dengan muÂdah diakali hanya menjadi kaÂsus Perdata biasa.
“Penegak hukum kita harus serius. Lembaga penegak huÂkum idealnya menyiapkan sumÂber daya manusia yang ahli daÂlam dunia per-bankan dan biÂdang akuntansi. Selain itu, sikap mental yang anti korupsi juga harus dimiliki penyidik kita,†ujar Yahdil, kemarin.
Politisi PAN itu meÂnyamÂpaiÂkan, saat ini, sumber daya maÂnuÂsia di kejaksaan masih seÂringkali kurang menguasai perÂsoalan perbankan. Maka itu, ia menyarankan agar kejaksaan berpikir lebih serius dalam mÂeÂlakukan rekrutmen calon jaksa. Maksud dia, perekrutan dan peÂnempatan jaksa-jaksa henÂdakÂnya disesuaikan dengan keÂmampuannya.
Jangan sampai, sumber daya yang menguasai bidang akuÂtanÂsi justru ditempatkan di bagian perpustakaan dan tenaga-tenaga yang tidak utama dalam peÂnyiÂdikan. “Mestinya, jika mereka diberikan kesempatan, mereka akan bisa menjadi penyidik yang efektif,†jelasnya.
Dengan sendirinya, pÂeÂnguÂsuÂtan kasus-kasus perbankan yang seringkali terkendala, akan mamÂpu diselesaikan KeÂjaksaan Agung. Lebih jauh lagi, dia mengiÂngatÂkan penyidik dan penuntut keÂjaksaan agar tidak bermain-main dalam mengusut perkara.
“Setiap penyidik hendaknya meÂmasang target waktu dalam meÂngusut perkara. Dari target terÂsebut, kejaksaan diharapÂkanÂnya mampu meminimalisir adanya penanganan kasus yang berlarut.â€
Untuk itu dia mengingatkan, fungsi pengawasan di kejakÂsaan juga diefektifkan. “Baik pengawasan internal, Komisi Kejaksaan dan semua unsur masyarakat harus melakukan pengawasan secara efektif,†ujarnya.
Selalu Libatkan Orang Dalam
Yenti Garnasih, Dosen Universitas Trisakti
Pakar Hukum Yenti Garnasih menyampaikan, kasus kredit bermasalah kerap jadi modus keÂjahatan untuk merampok uang negara sejak dulu.
Karena itu, bank pemerintah atau bank negara hendaknya melakukan upaya lebih serius untuk mengÂhindari kemungÂkinan buruk tersebut. Dia berÂharap, penegak hukum sigap dan cermat dalam mengusut perÂkara perbankan.
“Banyak kejahatan perÂbanÂkan dengan modus pemberian kredit fiktif. Kredit yang tidak sesuai peruntukannya. Jika moÂdus pembobolan ini terjadi di bank negara seperti BRI, tentu bisa diklasifikasikan ke dalam kejahatan tindak pidana koÂrupsi,†jelasnya.
Dijelaskan dosen Universitas Trisakti itu, mestinya pihak bank berhati-hati dalam menÂcairÂkan kredit model ini. Jika dalam analisisnya, kreditor diÂnilai tidak layak mendapat kreÂdit, kenapa seringkali hal terÂseÂbut terabaikan. Akibat peÂmakÂsaan atau penyimpangan terÂseÂbut, lanjutnya, pada umumnya kredit pun berakhir macet.
Dia meminta, penindakan leÂbih kongkrit juga dilakukan pada pihak bank. Sebab perÂsoaÂlannya, hampir semua keÂjaÂhaÂtan pembobolan bank pasti meÂlibatkan orang dalam bank itu sendiri. Hal itu katanya, perlu mendapat perhatian serius.
Menurut dia, kejaksaan tidak boÂleh lamban mengusut perÂkara yang terkait dengan keterlibatan orang dalam bank. Hal ini diÂperÂlukan untuk mengÂhindari hal-hal yang tak diÂinginkan daÂlam proses peÂnyiÂdikan. “Seperti buron dan seÂjenisnya,†ujarnya.
Potensi keterlibatan orang daÂlam bank, kata Yenti, sangat besar. Hal itu terjadi lantaran menÂtalitas pegawai bank renÂdah. Di luar itu, pengawasan bank terhadap para pegawainya juga minim. Kelonggaran-keÂlonggaran tersebut, kata dia, menjadi pintu masuk terjadinya kejahatan. Serangkaian kasus-kasus perbankan ini, hendaknya menjadi bahan pelajaran bagi penyelenggara jasa perbankan dan Bank Indonesia (BI). [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: