Beri Cek Rp 4,9 Miliar, Saksi Bisa Tersangka

Kasus Dugaan Korupsi Alkes-Kemenkes 2007

Kamis, 20 September 2012, 08:58 WIB
Beri Cek Rp 4,9 Miliar, Saksi Bisa Tersangka
Rustam Syarifuddin Pakaya

rmol news logo Jaksa KPK menelusuri kejanggalan pengakuan saksi Masrizal Achmad Syarief. Upayanya menggelontorkan cek Rp 4,9 miliar pada terdakwa Rustam Syarifuddin Pakaya, membuat statusnya bisa berubah jadi tersangka.

Pemberian cek tersebut di­sam­paikan Dirut PT  Graha Is­ma­ya (GI), Mazrizal di Pengadilan Tipikor, Selasa (18/9). Saksi kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) Kemenkes tahun anggaran  2007 ini, mem­be­berkan, penggelontoran cek di­laksanakan atas permintaan ter­dakwa, bekas Kepala Pusat Pe­nang­gulangan Krisis Kementrian Kesehatan (KPPK-Kemenkes)  Rustam Syarifuddin Pakaya.

Di hadapan majelis hakim, saksi menyebut, pengiriman cek Rp 4,9 miliar pada Rustam, bu­kan sebagai fee kemenangan ten­d­er proyek alkes. Melainkan, se­ba­gai pinjaman. Pasalnya, ter­dak­wa pernah mengajukan per­min­taan pinjaman padanya.

“Beliau m­engatakan mau pinjam,” kata­nya. Masrizal sadar, pin­jaman ini kemungkinan tak akan kembali. Meski tahu risiko tersebut, ia toh merelakan pem­berian tersebut.

Untuk memuluskan pinjaman, saksi memerintahkan istrinya, Direktur Keuangan PT GI, Sri Wah­yuningsih alias Oning untuk membeli cek perjalanan senilai Rp 5 miliar. Oning pun melak­sa­na­kan perintah Masrizal. Cek per­jalanan itu lalu disimpan di bran­kas pribadi. Brankas tersebut, katanya, hanya bisa dibuka oleh pasangan suami istri (pasutri) ini.

Setelah waktu pencairan tiba, Masrizal dan istrinya mengirim cek perjalanan pada Rustam. Tapi total cek perjalanan yang dikirim tidak genap Rp 5 miliar. Total cek perjalanan yang dikirim Rp 4,9 miliar. Sisa uang yang Rp 1 mi­liar, diakui saksi diambil oleh is­trinya untuk kepentingan pribadi. Oning yang ikut jadi saksi untuk terdakwa mengatakan, sebe­lum­nya tidak pernah mendengar sua­minya meminjamkan uang pada terdakwa.

Mendengar keterangan saksi, Hakim Pangeran Napitupulu cu­riga. Bagaimana mungkin proses pinjam-meminjam uang dalam jumlah sangat besar dilakukan tan­pa syarat. Dia menduga, ke­te­rangan ini hanyalah alibi yang di­ciptakan saksi untuk menga­bur­kan perkara.

Apalagi tambahnya, dakwaan jaksa menyebutkan bah­wa Mas­rizal pernah menemui Rus­tam. Pertemuan ditujukan guna mem­berikan company pro­file daftar harga alkes dan spesifikasi alkes yang disediakan PT GI untuk mengikuti lelang di Kemenkes.

Atas hal itu, Pangeran ber­si­ku­kuh, pemberian cek perjalanan di­dorong oleh motivasi tertentu.  Jika berpatokan pada dakwaan jaksa, hakim menduga, pem­be­rian cek perjalanan ditujukan se­bagai imbalan atas upaya ter­dakwa meloloskan perusahaan ter­tentu dalam proyek senilai Rp 38,8 miliar tersebut.

Perusahaan yang dimaksud ada­lah PT Indofarma Global Me­dika (IGM). Pasalnya, PT IGM merupakan mitra PT GI. “PT in­dofarma membeli alat dari PT Gra­ha Ismaya Rp 33 miliar,” be­ber Pangeran. Dari keuntungan pro­­yek tersebut, terdakwa  Rus­tam pun minta jatah atau fee pada PT GI Rp 3,5 miliar. Masrizal dan istrinya lalu menyerahkan cek perjalanan yang sebelum telah disiapkan, senilai Rp 4,9 miliar.

Pangeran menilai, penjelasan Masrizal berbelit-belit. Lebih parah lagi, hakim menilai saksi tidak jujur dalam memberikan ke­terangan. Akibatnya, hakim me­rasa, saksi mempersulit per­si­da­ngan. Hakim lalu  bertanya pada jaksa, “Apakah saksi sudah di­pe­riksa dalam status sebagai ter­sang­ka?” Jaksa menjawab, “Belum yang mulia. statusnya masih saksi.”

Menanggapi hal tersebut, Karo Humas KPK, Johan Budi SP men­­jelaskan, KPK senantiasa me­nindaklanjuti fakta persi­da­ngan. Menurutnya, fakta-fakta tersebut menjadi masukan jaksa-jaksa KPK dalam menuntaskan masalah yang ada.  

“Jadi sangat ter­buka ke­mung­kinannya saksi berubah jadi ter­sangka,” katanya. Namun dia be­lum bisa memastikan, apakah jak­sa KPK telah mere­ko­men­dasikan perubahan status saksi Masrizal dan istrinya sebagai tersangka.

Dia bilang, jaksa lazimnya per­lu waktu untuk menentukan lang­kah tersebut. Soalnya, perubahan status saksi menjadi tersangka ada prosedurnya. Setidaknya, per­lu ada pemeriksaan lanjutan ter­hadap yang bersangkutan serta saksi-saksi lainnya. Jika terdapat dua alat bukti yang cukup, maka tegasnya, peru­bahan status saksi menjadi ter­sang­ka tidak perlu menunggu waktu terlalu lama.

REKA ULANG

Terdakwa Ngaku 3 Kali Ketemu Bos Graha Ismaya

Dalam sidang, terdakwa Rus­tam Pakaya mengatakan, bos PT Graha Ismaya (GI) pernah tiga kali melobi pihaknya untuk me­menangkan tender proyek Alkes 2007. Rangkaian pertemuan pada 2007 tersebut, seluruhnya dilak­sa­nakan di kantor terdakwa.

Pada pertemuan pertama, Rus­tam yang ditemui Dirut PT Graha Masrizal Achmad Syarief dan is­trinya, Direktur Keuangan Sri Wah­yuningsih alias Oning me­nga­ku, menyampaikan keluhan. Keluhan itu terkait teguran bekas Menkes Siti Fadilah Supari. “Ke­napa kamu jalan sama Gra­ha?” ujar Rustam menyitir Siti.  

Lalu sambungnya, pertemuan de­ngan PT GI berlanjut. Pada per­temuan kedua, Oning datang sen­dirian. Pada pertemuan itu, Oning menyampaikan permintaan agar Rustam memberi proyek pada PT GI. “Dia minta proyek.” Tapi Rus­tam meminta, PT GI ikut pro­ses tender.

Setelah percakapan, kata Rus­tam, Oning nyaris pingsan. Dia me­ngaku, penyakit maag wanita itu tiba-tiba kumat. Melihat kon­disi Oning kepayahan, Rustam me­mesankan teh untuk Oning. Se­lanjutnya, Rustam membe­ber­kan, pertemuan ketiga be­r­lang­sung se­kitar pukul 18.00 WIB. Kata Rus­tam, Oning kembali menemuinya.

Kali ini, Oning datang ditemani Direktur Perencanaan Kemenkes Moerdiono. Kepada Rustam, Moer­­diono menyampaikan agar terdakwa mau membantu PT GI. “Bos, tolong bantu Graha Is­ma­ya,” kata Rustam menirukan uca­pan Moerdiono.

Mendapat penjelasan demi­ki­an, saksi Oning bereaksi. Ia mem­bantah semua keterangan ter­dak­wa. Menurutnya, kedatangannya dan suaminya menemui Rustam pertama kali, bertujuan untuk me­minta konfirmasi apa benar ter­dak­wa telah memblack-list PT GI. Dia mengaku, mencari tahu apa kesalahan perusahaannya.

“Karena saya dengar, mohon maaf, Pak Rustam tidak suka de­ngan Graha. Kita mau bicara, apa kesalahan kami,” tandasnya. Tapi, menurut Oning, Rustam ha­nya mondar-mandir di mejanya.

Alhasil, Oning dan Masrizal tak mendapat jawaban me­muas­kan. Menjawab keterangan ter­dak­wa yang menyebutkan bahwa Oning pernah datang untuk kedua kalinya, dia membantah hal itu. “Tidak pernah ada pertemuan itu.” Begitu­pula dengan perte­mu­an ketiga, saksi juga mengaku ti­dak pernah menemui terdakwa dengan dite­mani salah satu pe­jabat Kemenkes.

Dalam sidang, Oning mengaku bahwa PT GI tak pernah ikut ten­der, tapi pernah melakukan tran­saksi dengan PT Indofarma Glo­bal Medika (IGM). Atas pe­me­na­ngan tender ini, KPK curiga, Rus­tam menerima suap berupa travel cek dari PT GI. Selain Rustam, be­kas  Menkes Siti Fadilah Su­pari diduga juga kecipratan aliran dana kasus ini.

Rustam menjalani sidang per­da­na pada Kamis, 9 Agustus 2012. Menurut jaksa KPK, Rus­tam melanggar Pasal 2 Ayat 1 dan Pa­sal 3 Un­dang Undang Pemb­e­ran­tasan Tin­­dak Pidana Korupsi. Ancaman hukuman maksimalnya 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Da­lam dakwaan, jaksa pe­nuntut umum (JPU) Agus Salim dkk menyebut Rustam memp­er­kaya diri sendiri sebesar Rp 2,47 mi­liar, bekas Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari Rp 1,275 miliar.

Selanjutnya, ELS Mangundap Rp 850 juta, Amir Syamsuddin Is­hak Rp 100 juta, Mediana Hu­to­mo dan Gunadi Soekemi Rp 100 juta, Tan Suhartono Rp 150 juta, Tengku Luckman Sinar Rp 25 juta, PT Indofarma Global Me­dika Rp 1,763 miliar dan PT Gra­ha Ismaya Rp 15,226 miliar.

Saat dikonfirmasi, bekas Men­teri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengaku tidak pernah menerima uang terkait kasus itu.

Agar Statusnya Jadi Lebih Jelas

Andi Rio Idris Padjalangi, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Andi Rio Idris Padjalangi me­minta KPK, kepolisian dan ke­jaksaan professional dalam me­ngusut  kasus dugaan korupsi alat-alat kesehatan di Kemen­kes.  Koordinasi intensif antar lembaga penegak hukum terse­but, diharapkan mampu mem­perjelas status bekas Menkes dan pihak lainnya.

Politisi Golkar ini memasti­kan, penegak hukum perlu koor­dinasi lebih intensif.  Masa­lah­nya, kasus dugaan korupsi alkes di Kemenkes saat ini terpecah menjadi beberapa bagian.

“Ada yang ditangani KPK, kepolisian dan kejaksaan,” kata­nya.  Untuk itu, koordinasi antar lembaga itu harus lebih konkrit dan transparan. “Apa dan bagaimana hasilnya.”

Dia menambahkan, fakta-fak­ta yang terungkap di per­si­da­ngan juga tidak boleh diabai­kan begitu saja. Fakta-fakta yang terungkap di sidang, hen­daknya menjadi masukan bagi penyidik kasus tersebut. Di­ha­rap­kan, fakta-fakta tersebut memotivasi penyidik dalam me­ngungkap pihak-pihak yang sama sekali belum tersentuh.

Lebih penting lagi, sebut dia, status bekas Menkes Siti Fadi­lah Supari hendaknya bisa di­per­jelas. Dia mengatakan, ke­ti­dakpastian status hukum bekas pentolan Kemenkes ini, jelas merugikan yang bersangkutan.

“Kalau memang ada bukti-bukti yang kuat, mestinya d­i­tin­dak. Tapi sebaliknya, bila tak ter­bukti, ya harus dihentikan pe­ngusutannya,” tegasnya.

Dijelaskan, pengusutan kasus dugaan korupsi di Kemenkes ini sudah makan waktu yang pan­jang. Berlarutnya waktu pe­ngusutan, menunjukan bahwa penyidik kurang optimal dalam mengusut perkara. Selain itu, juga menunjukan ketidak pro­fesionalan.

“Semua upaya pembuktian harus dilakukan secara serius. Dan pastikan, keterlibatan se­tiap orang diusut. Jangan hanya bagian bawah dan pelaku seke­las pejabat level bawah saja yang diusut. Ini harus menjadi per­hatian bersama,” ucapnya.

Kemauan Penyidik Sangat Menentukan

Marsudhi Hanafi, Bekas Karo-Renmin Bareskrim

Bekas Kepala Biro Peren­ca­na­an dan Administrasi (Karo-Renmin) Bareskrim Polri Brig­jen (Purn) Marsudhi Hanafi me­nilai, kasus dugaan korupsi al­kes Kemenkes masuk kategori kejahatan korporasi. Keber­ha­si­lan dalam mengungkapkan ka­sus ini, sepenuhnya sangat ber­gantung pada kemampuan penyidik dalam mengungkap dan menggali fakta-fakta.

“Untuk kasus-kasus korporat, pasti tidak bergerak sendiri,” katanya. Oleh sebab itu,  pe­ngem­bangannya sangat tergan­tung pada kemampuan penyidik  atau hakim dalam menggali fak­ta dari terdakwa.

Secara umum, perkara-per­kara korupsi melibatkan ke­lom­pok terorganisir serta pro­f­esio­nal. Tidak jarang, para pelaku mempertahankan argumennya serta kerap pasang badan dalam menutupi kejahatannya. Hal-hal seperti itulah yang idealnya di­pa­hami betul oleh penyidik ka­sus korupsi.

“Jarang di sini, pelakunya pe­cah kongsi. Biasanya, mereka pasang badan dan siap jadi tum­bal apabila kasus korupsi­nya me­libatkan atasan mereka,” tandasnya.

Selain, kemampuan penyi­dik, faktor kemauan di­ya­ki­ni­nya, menentukan keberhasilan dalam mengusut kasus korupsi be­sar. Faktor kemauan ini, sam­bungnya, seringkali juga di­­­pe­nga­ruhi oleh berbagai se­bab. Se­bab-sebab itu bisa da­tang dari inter­nal maupun eks­ternal pe­nyidik.

“Pada dasarnya, tiap penyidik punya kemampuan mengusut perkara. Tapi tidak semuanya memiliki kemauan untuk me­nyelesaikan perkara secara pro­fesional atau adil. Ini semua ba­nyak dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu baik dari luar diri penyidik atau dari dalam diri pe­nyidik,” tuturnya.

Oleh sebab itu, dia mengi­ngat­kan agar tiap pimpinan lem­baga penegak hukum, se­nan­tiasa mau mengevaluasi personilnya. Dari situ, akan ter­lihat siapa yang memiliki kre­dibilitas menangani kasus ko­rupsi dan siapa yang tidak.

De­ngan modal tersebut, dih­a­rap­kannya, pengusutan kasus-ka­sus korupsi bejalan lebih ce­pat. “Tidak perlu ditangani da­lam waktu yang tidak menentu atau digantung pengu­sutan­nya.”  [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA